Mal Untuk Siapa?

Kaget juga ketika menyusuri jalanan kota Jogja, saya dan suami menemukan beberapa tempat yang akan dijadikan center point. Rada terpana juga dengan rencana pembangunan tersebut yang tentu saja meningkatkan jumlah kawasan lifestyle mal di Jogja. Saya jadi ingat ketika kami berada di Surabaya dan terkaget-kaget dengan adanya tiga buah mal besar yang berada dalam satu kawasan. Masing-masing jaraknya antara satu hingga dua kilometer. Untuk apa tiga buah mal dibangun berada dalam satu kawasan? Apakah satu mal saja tidak cukup untuk menampung jumlah pengunjung ataukah lagi-lagi ini persoalan bisnis semata?

"Berapa UMK Jogja tahun ini?" tanya suami saya.
Saya tidak tahu persis. Tapi sepertinya kurang dari 900ribu.
"Mal-mal itu, tentu tidak dibangun untuk mereka," kata suami saya.

Jangan sewot dulu. Memangnya, jika kita punya gaji 900ribu, kita tidak mampu datang ke mal? Tentu saja mampu, lha wong anak SMP atau SMA saja sudah mampu jajan di food court mal kok. Tapi, yang benar saja kalau kita mau menjadikan mal sebagai bagian besar dari hidup kita. Dengan gaji segitu, apakah kita bisa setiap hari makan di food court mal? Apakah kita juga mau belanja sayuran, buah dan kebutuhan lainnya di supermarket yang ada di mal? Lihat juga harga-harga sepatu, tas dan baju branded di counter-counter mal, sungguh saya sendiri sering ngilu dan jiper duluan untuk masuk ke fashion outlet di mal. Harganya boookkk, gak nahan dan ketika pegang barcode harga, saya seperti sedang tidak berada di Jogja. Saya sering dengan udiknya tidak percaya bahwa para outlet branded berani-beraninya buka lapak di mal Jogja. 

Ketika menginjakkan kaki di mal, saya seperti hidup di dua dunia. Kalau ditraktir suami nonton bioskop, dengan harga 70 ribu berdua sekali nonton, tiba-tiba saja saya jadi mengkalkulasikan uang 70 ribu yang bisa digunakan untuk beli ayam sekilo serta buah beraneka ragam di pasar Prambanan. Bisa juga untuk uang makan selama sepekan, tapi habis dalam durasi dua jam di mal.

Kalau ditraktir makan di food court, sekitar 50an ribu bisa melayang di sana untuk sekali makan. Tapi kalo beli bakmi Jawa di deket terminal, bisa dapat dua porsi dan masih ada sisa kembalian 30rebu. Belum lagi kalau ngeliat harga sepatu mencapai angka duaratus ribu, dan sehelai baju seharga hampir setengah juta, harga tas mahal(saya kurang tau berapa karena tidak suka ngubek tas feminin, tapi tentu saja mahal, hihihi), sebenarnya siapa sih yang jadi pembeli utama dari barang-barang tersebut?

Tapi, tetap saja mal ramai. Entah untuk siapa mal dibangun. Entah siapa pula yang mendatanginya. Apakah anak-anak SMP dan SMA yang masih nodong duit ortu buat hangout ke mal? Apakah warga Jogja asli yang datang sekedar liat-liat atau refreshing? Apakah warga Jogja yang memang berduit untuk menghabiskan sekian rupiah di mal? Apakah pendatang dari luar Jogja yang bisa mendapatkan uang saku berlebih dari orangtuanya? Ataukah orang-orang yang sedang berwisata di Jogja dan menjadikan mal sebagai salah satu destinasi wisatanya?

Baru beberapa hari yang lalu pula, ketika saya naik transjogja, saya bertemu dengan bule Prancis bernama Cristi. Dia mencari kantor imigrasi tetapi terbawa hingga Prambanan. Kebetulan di dalam bus yang saya tumpangi sedang banyak bulenya, dua duduk di belakang, Cristi di tengah, dan sepasang bule dari Inggris. Yang menarik di sini adalah para penumpang tertarik sekali mengajak bule bule ini ngobrol, apalagi Cristi bisa sedikit berbahasa Indonesia. Bahkan Cristi merelakan tempat duduknya untuk dipake seorang ibu yang mengeluh kakinya sakit. Sang ibu tersebut langsung curhat penyebab sakit di kakinya, sementara Cristi terkadang menanyakan apa maksud perkataan ibunya.

Sang Ibu sempat berkata, "Di sini negaranya miskin. Orang harus kerja buat makan."

Nah lho? Pemuda di sebelah saya kebingungan menjelaskan apa maksud sang ibu kepada Cristi. Indonesia negara miskin? Siapa yang miskin siapa yang kaya? Siapa yang bangun mal dan untuk siapa mal dibangun?

Entahlah. 


Komentar

Postingan Populer