Demi Waktu


Aku membuka mata, menatap kaca dan mendapati kedua telinga masih berada di tempatnya.
Lama sekali, mungkin sudah berselang dua tahun silam, sejak aku memutuskan untuk menghadapi dengan caraku sendiri. Bukan apa-apa, hanya mencoba membersihkan jarum yang menikam-nikam selama empat tahun sebelumnya, hingga kudapati hatiku tak lagi sama seperti dulu.

Enam tahun yang lalu, segalanya dimulai, berjalan selama empat tahun dan selama itulah, tidak terhitung berapa kali aku harus memerasnya. Spon yang setiap hari dibasahi hingga sedemikian mudah terjatuh ketika tersenggol. Aku harus mengeringkannya, karena kalau tidak, mungkin tak dapat menampung lagi. Aku harus duduk di kursi tersebut, mau tidak mau meskipun aku tak menginginkannya. Hingga ketika kursi tersebut berubah semakin panas, aku ingin menarik orang lain untuk menggantikanku mendudukinya.

Lalu dua tahun lalu, aku bangkit sendiri dari kursi itu. Mungkin aku tidak sadar, bahwa kursi itupun terbawa kemanapun aku pergi dan ketika aku kembali, aku baru sadar, bahwa tidak pernah  ada yang benar-benar menggantikanku di sana.

Mereka memilih menjauh, memilih tidak menjadinya, hingga kudapati sebuah hati biru lebam memar-memar yang sendirian saja. Hingga kudapati hatiku pun membiru diam-diam. Aku bilang tak apa, toh aku terlalu percaya diri bahwa aku lebih kuat dari yang dulu. Hingga kuterjunkan diriku ke dalamnya, hingga terjerambad. 

Baru kurasakan sakitnya pertama kali, setelah hampir enam tahun berselang, setelah dua tahun yang lalu, setelah aku sedemikian sibuknya melintasi bianglala yang menawarkan senja berwarna oranye menyala, hujan dan angin yang menyemaikan kebunku serta pagi yang begitu berlinang-linang oleh kegembiraan. Semuanya sekejap sejenak terlupa, ketika tiba-tiba saja rutinitas memeras dan duduk di kursi panas itu pun kembali lagi.

Suatu waktu, aku ingin berteriak, jangan lakukan itu lagi. Berhentilah, tapi sungguh aku tidak sampai hati membuat hati yang sudah lebam menjadi pecah berantakan hingga tak pernah utuh lagi. Tapi, tetapi, jarum-jarum kembali merintik seperti desingan gerimis di musim penghujan. 

Demi waktu.

Komentar

Postingan Populer