Sudah Luruh

Bayangan sejuknya hari saat gelap memanjang seperti payung yang melingkupi bumi hingga menggelayuti mata dan memohon-mohon pada otak untuk segera beristirahat.
             “sebentar lagi, sayang…” katamu. “sebentar lagi jam sepuluh, jangan putus harapan menunggu…”           
 Gelap menghampar. Bulan pun tidak tampak sementara hari yang sejuk seperti membekaskan air yang menghambur dan tumpah dari jari-jari langit. Kaki dan tangan sudah cukup lelah terdiam dalam gerakan yang konstan dan seperti ingin mencari akar baru yang lebih manusiawi dan berguna untuk sebuah perubahan.            
Tapi kaki tetap berdiri. Melangkah, mondar mandir hingga ratusan senti dan tangan terus memacu jemari untuk tak pernah berhenti. Ayo, ayo dan ayo, jangan berhenti hingga dia muncul...            
Kegelisahan sudah begitu tajam menguar dan kemelut hati yang khawatir diingkari lagi seperti banyak hari yang telah terlewati. Ada rindu yang membuat perasaan itu bertahan gigih untuk terus percaya bahwa setitik air susu pun bisa merusak sebelanga tuba.            
Hingga akhirnya ia terlihat, melangkah dari kejauhan di antara gelap malam yang sedemikian rapat tanpa lampu jalanan. Ia terlihat, menyapa perlahan dan masuk tergopoh-gopoh menghindari lecet hujan yang melukai tanah. Mata itu melihatnya dan segera berbalik, berlari memasuki ruang tersendiri untuk menata hati seraya berbisik,“dia lebih kurus....“            
Dan sosok itu hanya terdiam, tidak ingin menyapa lebih dahulu, membiarkan dia menumpahkan segenap keinginan perjalanan yang terasa begitu panjang dan hati-hati untuk mencapai ini semua. Sebuah akhir yang mungkin jadi akhir atau justru karena dari sini berawal maka menjadi suatu tempat yang seharusnya disinggahi terlebih dahulu.             Hingga dia membuka tirai, tersenyum dan menyapa ‘ hai, hallo….’ Seraya tertawa. Lebar.             Batas itu sudah luruh perlahan, lalu saat tangan menyambut uluran tangannya, menciumnya perlahan dengan canggung. Lalu ada kata yang terucap,“hai juga....“             Obrolan singkat. Selanjutnya dia beranjak, mengambil kotak ajaib yang benar-benar mampu meluruhkan lagi batas itu. Membuka kotak itu bersama-sama, duduk berdekatan dalam haru dan sinyal yang terasa begitu kuat.            
Lalu sebuah amplop coklat disodorkan. “ini…”            
“phone strapnya mana?”            
“oh iya…”            
Benda mungil dalam kotak bulat yang cantik itu makin meluruhkan segala batas. Benda cantik, mungil dan lucu.            
Hingga di akhir, meskipun tidak banyak kata yang terucap dan begitu banyak waktu yang seharusnya berharga menjadi tampak sia-sia. Tidak apa-apa. Ketika malam semakin menengah dan merayap sepi, ia menjabat tangannya sekali lagi dan mencoba memeluknya. Ia diam saja, bahkan menyandarkan kepalanya di kepala yang lain. Seperti senyumnya yang diwarnai rasa bersalah, maka ada yang harus diketahui bahwa diapun merasakan bahwa ada hal-hal yang seharusnya luar biasa menjadi tampak biasa saja. Yang biasa pun jadi luar biasa.            
Pelukan canggung itu, yang terjadi karena sama-sama tak biasa, menyiratkan banyak hal. Bahwa memang ada hal yang harus dibagi, tidak ditanggung sendirian, beban-beban itu, perasaan itu, hingga sampai pada keputusan akhir, bagilah beban itu meski hanya dengan menyandarkan kepalamu di bahu yang lain….            
Hingga dia beranjak pergi. Tersenyum lagi, mengangguk-anggukkan kepala.            
Lalu di kemudian hari, pesan itu datang,“ just landed. Alive and sound.”            
Ada senyum yang perlahan membayang.            
Sudah luruh. Hampir semuanya.            
Setidaknya untuk saat ini.  
(jangan memaksa mengerti untuk tulisan ini. Daripada gila…(^_^))

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer