Catatan Abu-abu

    Mungkin memang bukan siapa-siapa yang tahu. Ketika aroma rindu itu terkubur bersama tanah yang menaunginya delapan belas tahun yang lalu dan ditimpa hujan yang tercurah beratus-ratus hari.          
11 november 1991.          
Kala itu aku masih mengeja makna di setiap kata yang kuterima, masih tersenyum dengan bahasa cinta yang tercurah dan menangis dengan sebab yang belum kumengerti artinya. Malam entah menderu ataukah panas menghempas, yang jelas, pintu rumah itu telah dimasuki tanpa permisi. Dan tamu itu memang berhak masuk kapanpun, sama seperti angin yang berhak bertiup kapanpun.          
Aku tidak melihatnya. Hanya melihat hal yang tersisa dalam ingatan kecilku, otak seorang balita yang begitu pesat berkembang di masa golden age tapi justru kehilangan banyak memori masa kecil. Siapa yang masih ingat kenangannya sendiri kala itu? Tidak ada yang sanggup mengingat bagaimana rasanya berjalan pertama kali, mengucap kata pertama ataukah sakitnya terjatuh saat kita masih girang-girangnya berlari tanpa tahu cara berhenti.           Maka, air mata itulah yang bermakna. Air mata yang keluar bersama sedan kehilangan. Aku belum tahu maknanya tapi baru merasakan sakitnya bertahun-tahun kemudian. Ketika sosok itu dipeluk, ditangisi, dan diguncang, dan aku dibawa pergi dengan air mataku yang belum selesai kutumpahkan.         
 Setelah itu, tidak ada kenangan yang teringat lagi. Bagaimana diriku, dimana diriku dan apa yang kulakukan di hari selasa, 12 november, tidak ada yang mampu kuingat. Aku kehilangan hari itu. Semua waktu di hari itu. Dan anehnya, hanya peristiwa sebelas november itu yang kuingat bahkan sampai saat ini.        
  Hari-hari yang berlanjut setelah itu pun tidak ada yang mampu kuingat lebih kecuali sampai tiba waktunya aku telah mampu menyimpan memori itu dengan baik. Seperti gelapnya malam dan terangnya siang, benar-benar merasa aneh ketika cerita itu bergulir, bertahun-tahun saat aku telah mampu mencernanya.          
Mereka bilang, aku berlari mencari ketika menangis meraung. Berlari mencari hanya karena orang-orang di sekitarku berkata, “sebentar ya sayang..” ketika aku meminta. Aku benar-benar menangis berlari ke arahnya, padahal tidak ada apa-apa di sana kecuali tanah. Mereka bilang, mereka sampai harus mengejar dan menangkapku sebelum aku sampai tujuan.          
Hingga aku mulai bertanya kenapa, dan jawaban-jawaban itu muncul dengan sendirinya. Jawaban-jawaban itulah yang membuatku tahu bahwa ada yang telah hilang, bagian yang turut menjadikan aku apa, telah pergi. Tetapi sesuatu yang tidaklah lengkap bukan berarti tak berharga dan tidak ingin terus ada. Ketidaklengkapan itulah yang terus membuat bertahan. Bertahan mencari sesuatu untuk melengkapinya meskipun sampai kapanpun tidak akan bisa menggantikannya.         
 Karena ketika telah siap memiliki maka seharusnya kita siap kehilangan. Sama halnya ketika kita hanya boleh mengikat calon hak kita tetapi tidak bisa menggenggamnya. Karena sesuatu itu tidak selamanya ada bersama kita, melekat pada kita dan menjadi bagian kita. Karena kita juga mereka, kita juga dia, akan ada hal yang tetap sama menjadi satu ataukah terpisah tanpa kita sadari.         
 Dan kue pukis, kangkung, pelet, rel kereta api, kereta api serta pelukan itu sendiri seperti krayon yang mewarnai kanvas. Kata kunci untuk terus menjaganya, menjaga sesuatu agar tetap ada, tidak terlupakan, menjadi benda berharga bahkan menjadikan sesuatu itu tampak nyata meski kini telah maya.         
 Meskipun sebenarnya, darah itulah yang tetap menjadikan ikatan itu tidak terputus, karena memang tidak akan pernah terputus seperti sebuah ketetapan yang tidak bisa diingkari. Ada darah yang sama di antara kami bertiga, ikatan itulah yang tidak akan mampu diputuskan bahkan oleh kebencian seluas samudera sekalipun. Itulah, itulah, dan itulah seperti inilah inilah dan inilah yang membuat kita berjalan pada realita bahwa yang telah pergi memang tidak mungkin kembali secara sama persis tetapi tidak akan hilang seutuhnya. Seperti sejarah yang berulang.          
Delapan belas tahun sejak itu,ketika hanya ada segumpal gambar yang mampu tercecer, dipandangi dengan hati sunyi seperti galaksi. Adakah yang mampu menafsirkannya, betapa berharganya sesuatu itu setelah lari dari hadapan kita? Tetapi bukan itu yang harus dikenali, tapi rentang masa dulu hingga sekarang yang disebut proses yang campur aduk dengan keyakinan yang didominasi harapan dan kenyataan.          
Itulah yang mempengaruhiku. Bahwa air mata itu akan tetap ada selama maknanya pun berupa fakta. Bahwa senyum itu akan tetap ada selama masih bahagia sewajarnya. Bahwa  ketidakpastian bisa jadi adalah kepastian itu sendiri. Bahwa rindu itu biasanya kelabu dan abu-abu karena tidak tahu apa sebenarnya diinginkan kalbu.         
 Dan hanya tanah, hanya batu, hanya bunga-bunga, hanya ukiran nama yang membawa harapan itu pada kenyataan. Lihat ini, Nung. Lihat itu, Nung. Ketika panggilan sayang itu digemakan yang sampai saat ini tak kutahu maknanya dan rindu mendengar kata itu terucap. Aku lupa rasanya. Lupa rasanya dan nyaris lupa bahwa nama itulah yang disematkan dengan begitu sayang padaku. Bahwa nama itulah mungkin yang jadi pemberian terbaik setelah kenangan akan cinta yang begitu luar biasa.         
 Untuk seorang laki-laki yang mampu menyemai kesabaran pada istrinya, putra-putrinya, saudara-saudaranya. Laki-laki yang senyumnya tidak mampu kuingat.        
  Laki-laki pendiam yang mempunyai cinta yang lebih banyak dari kata yang mampu diucapkannya.        
  Ayah, usiaku sudah bertambah.          
Jika tiba saatnya kelak, relakanlah ketika laki-laki lainlah yang menyerahkan tanggungjawab itu kepada seorang laki-laki yang lain lagi.  
Solo, rentang waktu antara 11-14 November’09

Komentar

  1. wah teman untung aku gak baca ini di depanmu,,
    walhasil aku baca di rumah,, air mataku tumpah seketika,,

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer