Tahaddu Tahabbu

Pada pagi itu, aku menantimu dengan hati yang gamang. Entah. Aku ingin menjumpaimu di sana tempat pertama kali engkau menjejakkan kaki di tanah setelah mengudara selama dua jam. Mungkin hanya sekedar melihatmu dari atas, tanpa keinginan menggebu untuk menyapamu. Kemudian aku akan kirimkan pesan ketika kamu sudah berada di dalam taksi dan aku duduk di angkutan umum, " I see a man with his father...bla bla bla..."

Kemudian berharap kamu akan menengok ke belakang atau mungkin mencari-cari dalam hati darimana aku berada.

Tapi memang Tuhan mempunyai rencana manis yang lebih manis dari rencana manis yang sudah disusun manusia. Kala itu aku malah termangu menatap jadwal kereta yang menambah satu lagi kekuatan untuk tidak sepenuhnya mempercayai informasi yang berasal dari internet. Kamu tahu kenapa? Aku tertinggal kereta hanya lima menit dan harus menunggu tiga jam lagi untuk kereta berikutnya.

Singkat cerita, aku sudah berada di dalam bis. Tersenyum menimang-nimang bungkusan kado yang rencananya akan kuberikan kepadamu. Kamu pasti kaget melihatku tumben-tumben memberikan kado meskipun harganya tidak mahal, tapi itu kado yang lucu. Lalu kemudian apa yang harus kukatakan kepadamu setelahnya? Ah, aku selalu salah tingkah menghadapi pertemuan pertama kita setelah berjeda. Bahkan setelah aku turun dari bis, menghirup udara tanah kelahiran kita, aku masih tetap saja terkikik-kikik membayangkan apa yang harus kukatakan padamu setelah lama tak bertemu.

Cekikikan pertama di jalan menuju rumah. Menghela nafas panjang. Menarik nafas. Hembus lagi. Cekikikan kedua hingga mencapai batas pagar dan suaramu dari dalam rumah menyapu pendengaranku. Tiba-tiba saja hatiku huru hara. Kadang-kadang aku tak percaya kamu begitu dekat dan aku bisa menyentuhmu.

Kita bertemu, tersenyum canggung. Aku menyukai momen-momen semacam ini. Saat-saat dimana kita seperti remaja tanggung yang tengah jatuh cinta dan berdebar ketika berdekatan pertama kali. Lalu-lalu-lalu apa?

Aku meletakkan dua buah kado. Kamu bertanya untuk siapa. Aku bilang untuk teman. Katamu, banyak banget.

Entah kenapa nyaliku untuk memberikan hadiah mendadak kabur. Nanti sajalah.

Tapi kamu memegang bahuku dan memintaku memejamkan mata. Katamu, ada hadiah untukku. Aku yang terlalu paranoid berkali-kali bertanya ada apa ini, ada apa ini.

Coba balik badan ke belakang, katamu.

Aku memunggungimu, tapi tetap waspada dengan segala kemungkinan yang ada.

Naahh, ada hadiah buat kamuuu, katamu sambil mengambil dan menyodorkan satu kadoku yang tadi kubawa. Kado untuk kamu.

Ah, aku bersungut. Lagi-lagi dikerjai. Bermenit-menit kemudian, aku baru menyadari kalau kamu mempunyai kecanggungan yang sama denganku dalam memberikan hadiah. Susah payah merancang rencana pemberian hadiah agar sedramatis mungkin sembari berharap akan mendapatkan respon mengharukan dari pasangan, tetapi yah, ternyata kita sama-sama payah dalam melakukan eksekusi. 

Dan akhirnya, kamu ambil sesuatu dari tasmu begitu saja. Datar. Nyaris tanpa ekspresi dramatis dan menyodorkan kepadaku. Aku terpana melihatnya. Hampir tak percaya. Apa-apaan kamu ini? Kan aku yang duluan berencana mengejutkanmu dengan hadiahku, tapi kamu membungkamku dengan kejutan hadiahmu.

Kita ini apa? Seumur-umur menjalani pisah fisik-berjeda-bertemu lagi, dan selama ini tidak pernah memberikan hadiah sama sekali dalam momen pertemuan. Dan kini ketika aku ingin memberikan hadiah pada momen pertemuan kita, kamu juga memberikan hadiah. Tanpa perjanjian, tanpa kesepakatan untuk saling memberikan hadiah dan tanpa masing-masing tahu bahwa akan mendapat hadiah. Tahu-tahu saja, kami sama-sama membawa hadiah di tangan...

Inilah rencana Tuhan yang begitu manis :-).

Aku terdiam menerima hadiahmu. Ingin memelukmu karena kegirangan, tetapi aku lebih terpana pada cara kerja semesta untuk menggerakkan hati-hati kita untuk saling memberi hadiah tanpa kesepakatan. Lalu hadiahmu membuatku terbungkam, malu karena hadiahku tak seberapa. Kepalang basah, kusodorkan hadiahku kepadamu. Dan kamu seperti tak percaya aku sedang memberimu hadiah.

Kamu membukanya dengan riang, tampak tidak terlalu peduli dengan harga maupun wujud hadiahnya. Sementara aku malah sibuk menerima telepon. Dramatisasi pemberian hadiah gagal dilakukan. Telepon berhenti, kamu selesai membuka hadiah.

Kamu mendekatiku, menciumku pelan seraya berbisik, maafin ya kalau sering bikin nangis, maafin ya kalau belum bisa menjadi suami idaman...

Rasanya waktu itu, pengen meluk kenceng terus nggak mau dilepas-lepas lagi. Kita ingat bahwa sehari dua hari sebelum ini, tensi kita sedang tinggi. 

Tapi akhirnya tetap memeluk dengan kalem. Tidak ingin menangis. Hanya bilang dalam hati, maafkan saya juga, belum jadi istri yang baik, ahh kita sama-sama masih belajar. Ah kalau seperti ini, tidak penting apakah kamu sering membuatku menangis atau tidak, yang penting kamu sehat, ceria, tetap cinta saya, tetap menjadi lelaki yang selalu bergerak untuk sholat lima waktu di masjid, mengaji selepas shubuh, tidak merokok, dan selalu mau belajar....

Sesederhana itu. Dan maafkan saya ketika sedang lupa kesederhanaan semacam itu....

Sesederhana tahaddu tahabbu, saling memberi hadiahlah kalian maka kalian akan saling mencintai...

Kenapa saya menuliskan ini? Iya, membekukan kenangan. Agar kelak ketika keadaan sedang sulit atau jalanan tengah bergelombang, kita punya kenangan-kenangan yang membuat kita masih bisa tersenyum ketika mengingatnya :-).

Komentar

Postingan Populer