JedagJedug

 Sabtu kemarin, saya senang. Selain karena gajian (^o^)/, murid-murid saya nurut dan manis-manis banget. Biasalah awal-awal pelajaran. Meskipun kadang celotehan mereka membuat saya ketawa, juga kadang jengkel, tetapi entah kenapa suasana hati saya kala itu sedang baik.

---Miss, udah punya suami belom?---

---belum---

---Sama guru ekstra robotic aja Miss, cakep lhoo---

Saya ketawa. Dari pekan kemarin, anak-anak ribut soal guru ekstra robotic yang katanya cakep. Bahkan kadangkala mereka berceloteh ribut mengajak saya ke kelas Mushab buat ngeliat guru robotic. Duilehhh…

Saya juga belum tahu gurunya yang mana meskipun kami sama-sama guru ekstra. Selesai ngajar biasanya saya langsung ke hall, minum, makan, ngeliat anak-anak yang latihan taekwondo atau karate lalu pulang. Berhubung kami para guru ekstra belum dikasih ruangan sendiri, maka interaksi kami terbatas, kami semua Cuma ketemu tatap muka dalam satu ruangan kala rapat di awal tahun ajaran atau evaluasi di akhir semester. Lagipula, ikhwanophobia saya rada kumat kalo berada di lingkungan SDII. Jadi ya jarang tolahtoleh ke sana kemari, lurus aja kalo jalan. Mana saya sering banget kepleset lidah, menyebut coordinator guru ekstra yang notabene adalah ikhwan dengan sebutan Miss…

Lalu pulang ke kosan.

lima puluh meter menuju tempat kost, saya baru inget kalo tetangga sebelah, benar-benar tetangga sebelah karena tembok kami nempel, bahkan dapur tetangga nempel dengan kamar temen saya hingga kalo tetangga lagi manggang roti, tembok kamar temen saya ikutan panas, lagi nikahan (kalimatnya kacau). Dan asyiknya lagi, speakernya, menghadap langsung ke kamar temen saya. Asyiknya lagi, suaranya kuenceng benjet. Yang nyanyi bapak-bapak, suaranya (-_-). Asyiknya lagi, lagu yang dinyanyiin adalah Dua Cincin-nya Hello yang diaransemen jadi keroncong.

---lagunya diulang-ulang, kagak ganti-ganti--- kata temen saya.

Kami berdua langsung kayak orang seteres akut. Suara speaker yang kenceng banget bikin tembok kamar bergetar-getar, jedagjedug, kami pun harus bicara dengan saling teriak. Apalagi sepaham kami, dangdutan nikahan ala kampung sini bisa semalam suntuk karena banyak banget yang nyumbang lagu. Bahkan tadi pagi ketika saya berangkat ngajar, secara tidak sengaja saya mendengar kalo nanti malam bakalan ada reog juga.

Hah? Reog?

Kamipun jadi kayak orang dongdong. Mau nonton tipi nggak kedengeran, mau ngobrol jadinya capek karena kudu teriak-teriak, mau tidur radarada susah, mau kabur keluar nggak tau mau kemana, mau mengerjakan sesuatu di lappy nggak bisa konsen karena jadi paranoid, tembok yang getergeter kan rada bikin parno, berasa mau rubuh aja.

Mana pas adzan dzuhur, musiknya tetep kuencang gitu. Hih, mbok ya dimatiin dulu kenapa sih? /sebel/

Sore-sore kemudian, saya denger musik reog.

Eh reognya udah mulai. Tapi hanya sebentar dan kami yang udah teracuni suara segala macam music, sejak siang jadi semakin tak peduli dan meneruskan kegiatan sore dengan sikap sok cuek.

Jam 4an, music berhenti. Kami pun tak peduli.

Eh, malem-malem, temen saya cerita mengenai cerita ibu kost. Katanya acara nikahan tetangga sebelah dihentikan karena mempelai prianya kesurupan. Lhah? Jadi pas reognya dimulai, ceritanya kan mempelai prianya mau dinaikin ke kepala reog-nya, eh malah jadi kesurupan, tingkahnya kayak macan. Langsung deh para tetamu kabur. Acara bubar.

Ngemeng-ngemeng soal kesurupan, ada penelitian kakak tingkat mengenai kesurupan sebagai salah satu mekanisme pertahanan ego. Inti yang bias saya tangkep adalah ketika seseorang stress, capek, bermasalah, lelah lahir batin atau ketika terjadinya kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan, atau ketika terjadi ketidaksesuaian antara diri dengan lingkungan, maka seseorang tersebut cenderung akan melakukan mekanisme pertahanan ego dengan cara proyeksi, rasionalisasi, identifikasi, represi dan lain-lain. Nah, hipotesis sementara dari penelitian tersebut adalah kesurupan merupakan salah satu bentuk dari mekanisme pertahanan ego.  

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer