Titipan

Suatu hari.

Gadis kecil itu menjerang temaram hari dalam subuh yang pekat dan dingin yang menjajah setiap senti kulit berporinya. Ia keluar, merasakan angin yang menerpa pelan dengan irama perlahan yang membuatnya menggigil dan menoleh kembali kea rah sesuatu yang ia tinggalkan.

Sesuatu itu memanggilnya, “mau kemana?” 

Jawab gadis itu, “mengambil apa yang harus kuambil. ” 

Lalu gadis kecil itu melangkahkan kaki padahal hari baru saja dimulai dengan dinginnya embun dan aroma kabut yang tak terlihat. Ia punya dua tujuan.

Tujuan pertama, adalah sebuah bangunan benderang yang pemiliknya segera membukakan pintu ketika gadis kecil itu baru saja menapak lembutnya rerumputan hijau yang menutupi tanah kecoklatan halaman bangunan itu. Pemiliknya tersenyum dalam keterkejutan seraya gugup menemuinya di luar bangunan dengan angin yang menerpa deras tanpa naungan.

Gadis kecil itu memandangnya, merasakan perih yang selalu mendadak menyerangnya setiap kali pemilik bangunan itu menyapanya.

“Aku akan mengambil apa yang kutitipkan padamu, ”  kata gadis kecil itu.

Pemilik itu menatapnya, menggelengkan kepala. “Aku masih harus melindunginya. ” 

Gadis kecil itu menggelengkan kepala. “Sudah saatnya. ” 

Pemilik itu menghela nafas dalam kegelapan dan segera masuk ke dalam bangunannya, mengambil sesuatu itu, menyerahkan sesuatu itu. Gadis kecil itu menerimanya dengan gemetar, merasakan air mata yang siap mencair.

“Maaf, ”  tutur pemilik itu. “Aku tidak bias menjaganya dengan baik. Jika kupikir lebih baik jika sesuatu itu ada di tanganmu, kamu menjaganya sendiri dengan daya dan kekuatanmu karena perlindunganku ternyata malah membuat sesuatu itu rusak dan aku mungkin butuh waktu lama untuk memperbaikinya, jika kamu mengizinkan. ” 

“Tidak, ”  kata gadis kecil itu. “Sudah tidak aku izinkan lagi. ” 

Angin bertiup lagi mengaburkan aroma kabut yang semakin samar dan tipis.

“Tetapi, ”  kata gadis itu. “Mungkin, kamu bias membantuku memperbaikinya. Asalkan kamu punya kesungguhan hati, kejelasan, bahwa apa yang kamu utarakan adalah benar-benar apa yang kamu inginkan, sesuatu yang berasal dari hatimu, bukan karena kamu harus mengatakannya dan melakukannya atas nama tanggung jawab, tetapi itu semua memang benar berasal dari hatimu, jiwamu, inginmu, pintamu, harapmu dan ketakutanmu. Karena aku tidak ingin menjalani apapun itu yang tidak berasal dari hati. ” 

Pemilik itu menyentuh sesuatu yang kini berada dalam genggaman gadis kecil itu dan berkata pelan, “Bagaimana kamu bisa meyakininya sebagai suatu kebenaran jika kamu terus menyangkalnya ? ” 

Gadis kecil itu bicara, “Bagaimana juga aku bisa menyakininya sebagai kebenaran jika kamu tidak pernah berusaha membenarkannya ? aku selalu menoleh padamu, mempercayakan sesuatu itu padamu, berusaha agar semua hal tersebut berjalan sebagaimana mestinya, tetapi kamu memandangku dari arah lain, hanya karena ada begitu banyak hal yang ada di antara kita, yang bicara padamu, yang membuat segalanya terasa kabur, menyatakan hal yang bahkan tidak kuyakini kebenarannya, tetapi mereka mempercayainya dan kamu juga mempercayainya ? ” 

Pemilik itu menghela nafas. “Maaf, aku tidak mengerti. ” 

Kabut telah dihapus oleh benderang. Gadis kecil itu menenteng sesuatu itu, memandangnya yang juga nyarishancur lebur. Ia melangkah pelan, menuju tujuan keduanya yang mungkin sesuatu yang ia titipkan itu akan berbentuk lebih parah lagi.

Tujuan keduanya, adalah sebuah bangunan redup. Pemiliknya cepat sekali keluar, melihat air mata gadis kecil itu dan menggelengkan kepala.

“Hari masih terlalu pagi untuk menangis, ”  katanya.

Gadis kecil itu ingin tertawa, tetapi ia diam saja, sementara air matanya menetes-netes membasahi udara yang berayun perlahan.

Pemilik bangunan itu menghapus airmatanya, mengajaknya duduk seraya berkata, “aku tahu bahwa hari ini pun akan tiba. Ketika pada akhirnya kamu datang, meminta sesuatu yang kamu titipkan padaku, bahkan mungkin berpaling dariku, tidak akan menitipkan apa-apa lagi...

“Kamu tahu sebabnya, ”  kata gadis kecil itu. “Kamu tidak punya ekspektasi apapun yang bisa membuatku bertahan untuk tetap menitipkannya, semuanya tidak ada tujuan, hanya inginmu saja tanpa kamu pernah menjadikannya sebagai aksara. Kamu terus bertahan gagah dalam kesombongan padahal kamu tahu bahwa ketika aku benar-benar mengambilnya pun, kamu sebenarnya terluka. Tapi kamu sudah terbiasa dengan luka itu. Kamu bilang bahwa tidak ada yang tidak membuat luka. Itulah sebuah kejujuran dan kenyataan yang membuatku berpikir bahwa lebih baik tidak ada apa-apa lagi, tidak terlibat apa-apa lagi, segalanya pergi dalam totalitas yang sebenarnya hampa karena sedari awal kita pun telah memutuskan untuk itu. ” 

“Kita? ” 

“Secara tidak langsung, kita. Kamu terlalu takut dan aku juga ternyata tidak pernah mampu mengerti atas apa yang kamu bangun. Apa namanya jika bukan totalitas ketika kita hanya bertindak atas standar yang minim tersisa, hanya karena harus, bukan karena ingin..., ”  kata gadis kecil itu.

Pemilik itu menghela nafas. “Untuk semuanya, memang tidak pernah bisa dimengerti. Bahkan ketika kamu mengatakan bahwa terlalu banyak yang orang lain tahu, aku hanya ingin menyatakan bahwa mereka melakukannya karena mereka memang menyayangimu.. ” 

“Seperti yang pernah kamu lakukan? ” Gadis kecil itu bertanya.

Pemilik itu menghela nafas lagi. “Ya. ” 

“Atas nama apa? ”  Tegas gadis itu. “Tidak ada yang mampu menjelaskannya, padahal setiap manusia itu punya alasan. Atas nama cinta? Aku bilang itu omong kosong, karena mengikuti dan menjaga itu adalah dua hal yang berbeda. Aku mencoba tetap menoleh padamu, tetapi tidak sekalipun kamu menyadarinya bahwa aku telah terlalu lama menoleh, melihatmu diam dalam bahasa yang tidak mampu kucerna dan tidak melakukan apa-apa kecuali berkata, aku ada jika kamu ingin aku ada. ” 

Sang pemilik menyerahkan sesuatu itu. “Memang sudah saatnya ini kembali padamu. ” 

Cahaya matahari yang terang membuat gadis kecil itu bisa melihat guratan-guratan tipis pada sesuatu itu. Guratan itu sangat banyak, hingga gadis kecil itu tahu bahwa selama sesuatu itu dititipkan pada pemilik itu, terlalu banyak hal yang membuatnya rapuh.

“Benar, tidak ada harapan? ” tanya gadis itu.

“Tidak ada inginku, untukmu, ”  kata pemilik itu. “Cukup dengan kalimat, aku ada jika kamu ingin aku ada. ” 

Gadis kecil itu menghapus airmatanya yang meleleh-leleh. “Tapi pada kenyataannya, kamu hanya ada jika kamu ingin kamu ada. ” 

Sang pemilik tertegun. Ingin menjangkau gadis kecil yang sudah membawa titipannya untuk melangkah pergi. Gadis itu sudah menjauh, membawa dua titipan yang sudah sama-sama cacat, segalanya tidak sama seperti saat ia menitipkannya pada mereka. Perlindungan mereka justru membuat sesuatu itu koyak.

“Tunggu, ”  kata pemilik, menjangkau tangan gadis kecil itu. “Apa inginmu? ” 

“Inginku adalah jangan pernah datang padaku untuk meninggalkan pertanyaan, ”  kata gadis kecil itu.

Pemilik itu melepaskan genggaman tangannya, melihat betapa cepat gadis itu berlalu darinya. Airmata membuat gadis itu berlari sedemikian cepatnya.

Pagi menuju siang.

Siang berjalan kepada petang.

Lalu laut menghampar luas di hadapan gadis kecil itu. Cakrawala pun terbentang dalam batas yang samar. Angin sore membawa aroma garam dan anyir yang berhembus dari daratan. Senja kemerahan seperti guratan krayon yang dilukiskan di langit yang jernih.

Gadis kecil itu menyukai laut, menyukai pantai, menyukai pegunungan, menyukai aroma hujan. Ia memandang ke hamparan air yang biru tanpa kelabu dan melihat coretan warna matahari yang berpendar di balik awan.

Petang berlari kepada malam dan malam akan merangkak kepada pagi. Pagi lagi. Hari yang baru akan terjelang. Masih ada.

Gadis kecil itu membuka dua sesuatu yang sudah tergurat-gurat parah dan nyaris hancur lebur, memegangnya, mengucapkan terimakasih pada dua pemilik yang telah bersedia menjaganya sementara, lalu beranjak menuju ke air, merasakan air menyentuh kulitnya ketika ia meletakkan kedua sesuatu itu ke dalam air.

Ombak menyambut sesuatu itu, perlahan membawanya pergi dalam irama yang tak terasa.

Gadis kecil itu menatap kedua sesuatu yang perlahan pergi, menyadari bahwa laut sedemikian luas dan samudra masih begitu menghempas dan kedua sesuatu itu menghilang begitu cepat, lalu ia berkata pelan, “laut...jaga hatiku, karena aku menitipkannya padamu.... ” 

 

Surakarta, 4 Maret 2010

23.36 WIB

Saya sukaaaaaaaaaa tulisan ini, sangat sukaaaaaaaaa....

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer