Alkisah di sebuah rumah sakit cinta di Yogyakarta bagian utara


Alkisah di sebuah rumah sakit cinta di Yogyakarta bagian utara

Saatnya jalan-jalan ke bangsal S, bangsal putri.

Minta izin ke perawat, masuk ke ruangan, ternyata Cuma ada beberapa pasien yang ada, lainnya sedang ikut rehab jiwa. Tiga orang mahasiswa magang nyebar, menebak-nebak target sasaran. Ada seorang perempuan duduk sendiri. Re mendekat, mereka berkenalan. Namanya N, usia 40 tahun, belum ada seminggu masuk ke situ. Ketawanya lucu, bikin Re serasa berhadapan dengan anak kecil imut-imut.

Mereka ngobrol. Meskipun kadang nggak nyambung. Entah Re yang emang tabiatnya rada-rada berpotensi sama, ataukah memang kemampuan komunikasi pasien yang rada-rada parah. Mereka kadang tertawa bersama, tanpa tahu apa yang lucu.
Mbaknya lucu, kata N. ih, mbaknya jerawatan, kata N lagi.
Tapi Re bias melihat gerakan konstan N yang dari tadi garuk-garuk rambut dan badan melulu. Re curiga.

Tiba-tiba ada penghuni lain, sebut saja Mb NH, datang mendekat kea rah Re dan N.  Mbak NH bicara cepat seraya bawa sampoo dan sisir. Bilang : kramas  kono to, tumamu akeh tenan ki lho…

Hwaks? Re mengamati. Mana-mana kutunya…rasanya nggak ada…bahunya bersih…Cuma ada rambut-rambut halus yang berjatuhan.

Mbak NH makin ribut. Sono, disureni (tahu suri nggak? Sisir keras bergigi rapat yang jaman dahulu kala ketika kita masih kutuan kegunaannya hamper mirip dengan buldoser rambut, menyisir paksa kutu untuk rontok dari rambut. Ah sudahlah…jangan dipikirkan….terutama bagi yang seumur idup belum pernah melihara kutu…^_^)

Mbak Nh menyerahkan suri. N menolak. Re sok-sokan menawarkan, mari bu saya bantu nyisir… (maksudnya itu biar tercipta raport yang baik gitu, biar lebih akrab, meskipun jadi nggak jelas statusnya apakah mahasiswa magang ataukah baby sitter, he….)

Lha nanti matiin kutunya gimana?

Pengalaman masa kecil Re mngajarkan bahwa mematikan kutu setelah disureni adalah dengan menggilasnya pake permukaan kuku ( bahasa latinnya Digitep)

N akhirnya siap-siap menyisir rambutnya pake suri, menundukkan wajah kea rah meja, merapikan rambutnya agar maju ke depan semua dan…..action!

Sisiran pertama. Sreeeeet….!

Seperti ada tinta hitam tumpah di meja, menyebar besar sekaleeee….

Re shock. Seumur-umur baru kali ini dia lihat peternakan kutu yang begitu sukses. Subur, banyak dengan sekali sisir saja langsung seperti tumpahan tinta bahkan hingga berjatuhan di lantai. Krutuk-krutuk (kalian pasti merinding, Re nggak tuh..)

Re komatkamit dalam hati baca doa.

Sisiran kedua. Sreeeeeeeeeeet....!

Re makin komatkamit baca doa sehari-hari.

Sisiran ketiga, keempat, kelima dan seterusnya....sret-sret-sret-sret-sret-sret dst....

Re pengen kabur secepatnya dari situ. Kedua teman Re yang juga sedang wawancara, berhenti bicara dan menganga melihat  Re yang kayak orang kesambet dan N yang masih atraktif sisir-sisir. Serasa memandang keajaiban dunia.

Penghuni lain dan para perawat jadi kalang kabut melihat kejadian tersebut. Re mundur, menahan diri untuk tidak garuk-garuk heboh karena rasa gatal tiba-tiba menyerangnya. Hanya diam seraya melirik-lirik, jangan-jangan ada kutu yang emigrasi ke jas almamater atau jilbabnya, atau roknya. Kutu-kutu segitu banyaknya sih matiinnya kudu pake ulekan cobek, bisa penat kalau kudu pake kuku.

N dibawa perawat keluar untuk dikeramasin, dipotong rambutnya dan dikasih peditox. Taplak meja yang ketumpahan tinta dikukuti, bercak-bercak tinta di lantai di sapu. Ruangan jadi hening. Re hilang napsu untuk bawel.

Keakrabannya dengan pasien telah dihancurkan oleh sebatalyon pasukan kutu....

Lalu ada penghuni lain yang mendekat. Namanya Mbak J, penderita retardasi mental. Re tersenyum kepadanya. Mbak J ikutan senyum, mereka duduk berdekatan. Re mencoba ngobrol. Mbak J menjawab, kosakatanya tidak jelas.

Mbak J menunjuk-nunjuk jemari Re. Re bingung ada apa dengan jemarinya. Mbak J bicara nggak jelas lagi. Apa sih Mbak?

Tap! Jemari Re ditangkap Mbak J. Re bingung melihat Mbak J mengamat-amati jemari Re sekaligus degdegan. Mbak J masih mengamati jari-jari Re yang kayaknya makin putih pucat, mengusapkan jemari itu bahu Mbak J. Re makin degdegan, ini Mbaknya mau apa sih, kok pake acara belai-belai bahu segala?

Mbak NH nimbrung lagi. Mbak, hati-hati lho...

Nadanya memperingatkan.  Re makin ingin kabur secepat kilat.

Si J itu sering ngeludahin orang lho, tambah Mbak NH

Re menghela napas lega. Kirain apa.

Mbak J tertawa, melepas tangan Re dan pergi meninggalkan Re.

Penghuni lain mendekat, namanya Mbak TS. Kelihatan gelisah, dan memandang Re tanpa henti. Mbak TS bilang kalau dia lelah sekaligus takut tidur siang, dia pengen pulang. Mbak TS sempat minta duit buat jajan. Dia bilang kalo dia tidur sering didatangi makhluk putih-putih mirip pocong. Oh my God! Halusinasinya kok mantep gini...

Re mengantar Mbak TS masuk ke kamarnya supaya tidur. Mbak TS menurut. Re keluar dari kamar. Belum ada sepuluh menit, Mbak TS keluar lagi. Minta ditemenin di kamar. Re masuk. Mereka ngobrol. Mbak TS cerita kalau pernah mau bunuh diri, pake nyilet-nyilet tangan, mau nyemplung sumur. Ribut sama mertua, rebutan anak. Suaranya bagus, pinter nyinden, pas disuruh nyanyi keliatn gembira dan suasana hatinya jadi lebih baik karena sudah bisa ketawa-tawa.

Mbak, udah punya pacar belum? Jadi kakak iparku aja ya? Tawar Mbak TS.

Re nyengir. Belum, belum punya pacar. Lha emang kakak Mbak usianya berapa?

 Tiga puluh tahun, jawab Mbak TS.

Re mikir. Perasaan tadi Mbak TS bilang usianya juga 30 tahun.

Obrolan berlanjut. Pasien lain berdatangan dari rehab, sudah hamper waktu makan siang. Satu persatu masuk ke kamar, mereka yang melihat ada makhluk manis sedang ngobrol dengan Mbak TS langsung mengerubungi. Kenalan. Ikutan duduk. Nyanyi-nyanyi. Atraktif cerita. Pasien yang tempat tidurnya di sebelah Mbak TS ikutan cerita, namanya Mbak P. Super logore. Telinga Re makin pening mendengarkan di sana sini.

Mbak, udah punya pacar belum? Tanya Mbak P.

Re nyengir.

Sama keponakanku mau ya Mbak?  Sekarang lagi kuliah di UNY. Cakep mbak. Motornya tiger, Mbak P promosi.

Busyeeeeeeeeet dah…, Re jadi pening.

Eh, mbaknya mau jadi kakak iparku kok, Mbak TS nimbrung.

Hwei, kapan aku bilang gitu? Kata Re dalam hati. Kok jadi acara biro jodoh gini?

Tapi ponakanku cakep mbak....kata Mbak P.

Ya udah, yang cakep biarlah cakep, Re mulai capek senyum.

Obrolan berlanjut. Lalu ada pasien laki-laki yang ngintip-ngintip dari jendela berterali, manggil Mbak TS, ngasihin sekuntum mawar merah. Mereka berdua tersipu-sipu malu. Mbak TS kembali ke tempat tidur dengan raut gembira ria. Re takjub melihatnya. Mereka masih punya cinta.

Ciee..., Re menggoda. Mbak TS tersipu malu, pipinya merona dan refleks memeluk Re dengan cepat. Mbak, jadi kakak iparku aja ya?

Mbak P nimbrung lagi, mbak kok kayaknya saya ini sukanya sama perempuan ya?

Re keselek.  Mbak N muncul lagi, udah dipotong, udah keramas dan tanpa peduli nerusin acara sisirsisir rambut di tempat tidur dengan wadah selimut.

Lalu datang berombongan mahasiswa keperawatan dari sebuah akademi di Yogyakarta untuk survey.  Mereka masuk ke bangsal, melihat kondisi dengan tatapan takjub. Apalagi saat melihat ada gadis manis berjas biru yang tak teridentifikasi sebagai apa.

Re takjub, kayaknya ini para mbak-mbak penghuni kena puber kedua. Pada malu-malu ngeliat mahasiswa keperawatan yang kebetulan kelihatan rada-rada kinclong.

Mbak TS berbisik pada Re, mbak yang itu cakep ya?

Ya Allah... Re merasa dia harus segera hengkang dari sini.

Dari mulai kutu, jari-jari, biro jodoh, puber kedua, sekuntum mawar merah, sampai makan siang yang akan segera terlaksana.

Re pamitan, sayonara, dadah-dadah ke para penghuni. Mereka sudah waktunya makan siang. Re melihat N komat-kamit sendiri, ngomong sendiri. Re menatapnya beberapa lama hingga N nyadar kalao diliatin. N nyengir. Re ikutan nyengir. Kembali ke basecamp. Diskusi seraya cerita dengan tawa berderai-derai, lumayan buat mengusir stres. Hingga saat diskusi masalah kutu, seorang temen nyelutuk, walahhh….takpikir udah punah sejak zaman dulu……  

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer