Selamat Rindu

Beberapa jam yang lalu, saya hanya menatapi onggokan baju yang seharusnya sudah rapi-rapi di dalam tas. Saya juga tumben menyerah pada kukusan nugget ikan patin yang belum berhasil saya copot dari loyangnya, memasukkannya begitu saja ke freezer tanpa melapisinya dengan tepung panir. Saya juga hanya menjalankan adat kepantasan saja dalam membeli oleh-oleh dan lebih menikmati ketika kami berdua menyusuri Bontang Kuala, makan siomay seraya memandangi bentangan air beserta susunan kayu ulin.

Saya hanya sanggup menghabiskan separuh dadar gulung di pagi hari dan merasakan seperti ada benda lengket yang memasuki kerongkongan. Bahkan baru sepuluh meter bus airport berangkat dari halte, mata saya sudah basah. Aihh, baru kali ini saya terisak di dalam bus, sembari berusaha untuk terlihat tetap normal. Apa-apaan ini, belum pernah sedramatis ini, dan itu lucu sekali mengingat momen-momen pisah raga semacam itu biasanya kami lalui tanpa drama-drama telenovela.

Bukan pertama kalinya saya merasakan dingin seperti kutub di bandara pabrik LNG ini sementara bapak-bapak di sebelah saya menyeruput secangkir kopi panas. Bukan pertama kalinya saya dihinggapi kekhawatiran dengan mepetnya jadwal tiba saya dari Bontang dengan jadwal keberangkatan saya dengan pesawat berikutnya. Tapi kali ini, tadi, saya tidak terlalu peduli dengan hal itu, tidak khawatir dan membiarkan semuanya berjalan apa adanya, tahu-tahu saja saya sudah di ruang tunggu bandara selanjutnya, menimang boarding pass dan membaur bersama ratusan calon penumpang yang lain.

Pikiran saya berada di tempat lain. Campur aduk. Saya ingat tadi malam, dini hari, entah untuk keberapa kalinya, saya terbangun, melihat jam dan berpikir masih berapa jam lagi saya harus berangkat. Dan dini hari itu, saya spontan memeluknya dan wew, dia balas memeluk saya. Di dini hari dimana biasanya saya seperti sedang memeluk boneka besar :-p.

Absurd memang. Tapi hari pertama selepas menjauhnya fisik adalah saat yang melelahkan secara batin. Semacam setting ulang pada suatu rasa, rutinitas, keinginan, harapan dan kenyataan. Ajaibnya, seringkali pada saat-saat semacam itu saya justru ingin sendirian saja, apalagi kalau bukan untuk me-reset ulang. Kalau berhasil setting ulang, all is well. Atau di well-well-kan *bahasa aneh*. Tapi kalau sampai gagal setting ulang, maka percayalah adaptasi selanjutnya bakal berlangsung lebih lama.

Maka, saya ingat berhari-hari yang lalu ketika daya adaptasi saya melemah dan saya mendapati keinginan saya begitu sederhana. Hanya ingin bertemu. Dan ketika dia berada di hadapan saya, hampir runtuh airmata saya ketika mengingat keinginan saya yang sederhana. Seperti anak kecil yang mendapatkan keinginannya. Kemudian di suatu malam ketika saya memandanginya yang tengah tertidur, mengusap rambutnya, saya ingin menangis lagi. Allah, saya sudah bertemu dengannya dan dia sehat....

Tidakkah nikmat semacam itu yang harus disyukuri? Bukankah nikmat ketika masih bisa saling dipertemukan dalam keadaan sama-sama sehat juga harus disyukuri? Bukankah nikmat ketika masih bisa diberi kesempatan untuk tertawa bersama, makan bersama, olahraga bersama, tidur bersama juga harus disyukuri? Meskipun semua harus berjeda kembali, meskipun ada titik-titik dimana keinginan untuk selalu bersama secara fisik menjadi semakin prioritas, tetapi sekali lagi bukankah seharusnya bersyukur atas keinginan sederhana yang telah tercapai?

Selamat rindu. Selamat rindu (lagi). Selamat selalu rindu. Dalam jarak berapapun.

Jogja, May Day.

Komentar

Postingan Populer