Kampung Halaman vs Perantauan

Beberapa hari sebelum ramadhan, teman saya mengeluh jika ramadhan di tempat kost sangat beda rasanya dengan ramadhan di kampong halaman. Suasana ramadhan lebih terasa di kampong halaman. Namun beberapa saat kemudian, pernyataan itu diralat, mungkin sebenarnya sama saja, tetapi karena sudah bertahun-tahun lebih lama tinggal di kampong halaman maka terasa ada yang beda. Begitu.

Saya sendiri, empat tahun menjadi anak kost, jauh dari kampong halaman, memang setuju dengan pernyataan tersebut. Di daerah kost yang penduduknya terbagi nyaris rata antara muslim dan nashoro, memang terasa ada yang beda. Sudah sering terlihat jika pada suatu malam mendengar sekelompok orang bernyanyi-nyanyi lagu gereja sementara di waktu sholat lima waktu tiba, Alhamdulillah tetap banyak penduduk yang melakukan sholat jamaah di masjid, jauh lebih banyak dari jamaah di kampung saya yang mayoritas muslim semua. Kadangkala saya berpikir bahwa kampung tempat kost saya berada memang cukup aneh juga.

Lalu, jangan harap pula menemukan orang yang ribut bangunin sahur melalui loudspeaker masjid pada jam dua pagi. Jangan harap akan mendengar teriakan sahur-sahur-sahur pada jam-jam dua hingga tiga pagi. Yang ada juga orang bangunin sahur jam setengah empat, kadang malah jam empatan, itupun hanya satu masjid saja yang melakukannya. Bandingkan dengan di kampong halaman saya, dimana jam dua pagi sudah heboh dengar teriakan sahur-sahur-sahur dari mana-mana. Apalagi kalo malam-malam terakhir ramadhan, biasanya para pemuda keliling kampung klothekan dengan instrumen musik mulai dari tambur, rebana, bambu dan lain-lain. Bahkan kadangkala mereka kumat noraknya, berhenti seraya konser musik di depan rumah-rumah yang masih punya anak gadis, memanggil-manggil nama anak gadis tersebut. Bahkan kadangkala dibumbui aroma perjodohan, siapa naksir siapa. Kadang-kadang jengkel juga saya, ingat umur sudah segini, tetapi puluhan tahun, hanya dua nama itu yang suka diteriakkan di depan rumah saya oleh mereka, dan parahnya, mereka yang suka teriak-teriak nama saya bersama dua nama lainnya, lebih muda dari saya alias para pemuda tanggung yang kalo ketemu saya di jalan masih klecamklecem mikirmikir mau senyum atau nggak.

 Tetapi meskipun punya suasana yang berbeda, saya temukan juga sebuah pengalaman yang lain ketika melakukan puasa di tempat kost. Keluar cari makan jam dua pagi (kalo ngantrinya jam tiga, udah keramean), pernah satu kost nggak ada yang bangun hingga nggak ada yang sahur semua, pernah saking ngantuk dan dudulnya kepedeen keluar cari makan tanpa bawa dompet dan salah pake sendal (kaki kiri pake sendal converse hitam, kaki kanan pake sandal jepit merah, untung gelap hehe), masak es bareng teman-teman satu kost, pernah juga nyaris keracunan masal sewaktu mabit di maskam, bisa ngerasain itikaf (kalo di kampung halaman, mana diizinkan itikaf di masjid), atau sensasi ngabuburit di halaman kampus pusat dimana segala penjual tumplek blek di situ (mau cari kolak? Ada. Es kelapa? Ada. Dawet? Ada. Es pisang ijo? Ada. Es kacang ijo? Ada. Es buto ijo? Belum pernah denger.)

Atau ngerasain tarawih di jalan beraspal dengan kemiringan 45 derajat yang selalu bikin nyaris njungkel ke belakang ketika tengah rukuk atau duduk tasyahud. Maklum lah, sewaktu di kost lama, masjid selalu penuh dengan jamaah tarawih hingga lapangan bulutangkis dan jalan di sebelah masjid ikut diberdayakan sebagai tempat sholat. Makanya jangan heran jika ada insiden mukena terbang (karena kencengnya angin di luar), kejeduk tiang penyangga atap seng, kehilangan sendal, rebutan tempat strategis buat kabur cepat-cepat selepas sholat, ngantriiiii buat ambil sendal, dan hal-hal aneh lainnya.

Suasana-suasana seperti itulah yang kadang menghidupkan. Membuat banyak orang merindukan ramadhan atau setidaknya merasakan ramadhan benar-benar sebagai sebuah bulan yang sangat lain. Kadangkala juga justru perkara sahur, buka puasa, tarawih, kehilangan sendal, kejeduk tiang, ngabuburit sebagai suatu sensasi yang paling dicari. Meskipun sebenarnya esensi ramadhan sendiri juga bukan hanya itu.

Bisa kita katakan, ramadhan di kampung halaman dan perantauan itu beda. Ya mungkin beda. Beda rasanya. Segi afeksi kita yang membuat itu terasa berbeda. Padahal kalo dipikir-pikir, lama puasanya juga sama di kampung halaman dan di perantauan (mungkin hanya beda satu jam-dua jam untuk zona waktu yang berbeda, tetapi kan sama juga akhirnya), sholat tarawihnya dan witirnya juga sebenarnya sama, ada yang sebelas rakaat, ada yang dua puluh tiga rakaat, ada yang dua rakaat salam ada yang empat rakaat salam. Secara jumlah bilangan memang beda, tapi apakah esensinya juga beda? Sekali lagi, sepertinya segi afeksi kita yang membuatnya terasa berbeda.

Dan mungkin perbedaan itu akan semakin terasa ketika kita hidup di sebuah negeri dengan komunitas muslim yang minoritas atau di sebuah negeri yang muslimnya sangat mayoritas. Kita mungkin bisa membayangkan bagaimana rasanya melalui ramadhan di Gaza, Myanmar, Filipina, Eropa, Amerika, bahkan mungkin Makkah-Madinah.

Kita mungkin bisa bayangkan ketika mendengar cerita di sebuah tempat (lupa) dimana imsaknya jam setengah lima tetapi waktu bukanya jam sebelas malam, atau memikirkan bagaimana rasanya berpuasa di tengah musim dingin yang bisa membuat perut seperti dipilin-pilin, atau memikirkan bagaimana rasanya menjalani ramadhan di tanah konflik atau di tempat dengan keberkahan yang luar biasa seperti Makkah-Madinah.

 /brainstorming terputus. Tiba-tiba saja memikirkan bagaimana rasanya ramadhan bersama suami. Ngiiiikkkk/

Komentar

  1. dimana mbak? punya resepnya nggak? /lhooh?/

    BalasHapus
  2. kalo saya wkt merantau, sahur dan buka puasa sendiri,wkt tarawih br trasa bulan ramadhannya.
    Kalo suami saya, disini jam 12 siang, dia lg buka puasa nun jauh di sana..

    BalasHapus
  3. eh..ketawa2 ni pas bc bagian yg manggilin sahur, kreatif jg. Mukena terbang? Kejedot tiang? Walah..

    BalasHapus
  4. kalo di kampus yang paling populis tu es hedon mbak...di jogja gak ada lho...hanya ada di ceger

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer