Holistik versus bistik

Semasa saya kuliah (emang sekarang ngapain?), saya nggak tahu arti kata holistik. Maklumlah, saya bukan konsumen kata-kata ilmiah yang terkesan intelek. Penggunaan bahasa orang akademis hanya saat membuat paper, makalah, tugas kuliah, ngarang pas ujian serta ngirim artikel ke Koran.

Arti kata holistic, (itupun saya kira-kira sendiri )saat mata kuliah psikoterapi dimana dosen psikoterapi seringkali menggunakan kata tersebut. Dosen bilang, penanganan kasus gangguan jiwa itu harus menggunakan pendekatan holistic serta bersifat causative. Dan seingat saya, bukan terapi kognitif, behavioristik, psikoanalisis, humanistik atau CBT yang nyantol di otak saya, tapi kata holistik-holistik-holistik dan holistik.... saya kecanduan kata holistik.

Secara teori, dosen saya benar. Penanganan gangguan jiwa memang harus bersifat menyeluruh dan mencari penyebabnya. Perkara bagaimana nanti model terapinya, itu sudah tergantung kondisi serta jenis aliran psikologi yang dianut sang terapis. Sekedar bocoran saja, pembimbing lapangan saya waktu saya magang di Rumah sakit jiwa, adalah penganut aliran behavioristik, belajar kembali. Saya pikir setuju saja, sah-sah saja psikolog mau menggunakan model terapi apa asalkan psikolog itu punya dasar dan alasan kenapa memilih menganut aliran tersebut. Sebab, suatu penanganan gangguan jiwa memang seharusnya bersifat saling melengkapi. Seperti halnya logoterapi yang ternyata tidak bisa diterapkan pada orang depresi atau orang yang hanya punya sedikit sense of humor. Seperti halnya waham atau isi pikir pasien jiwa yang tidak bisa dikoreksi dengan obat, seperti halnya penanganan retardasi mental atau kecenderungan diagnosis ke aksis dua yang lebih tepat menggunakan penanganan psikologis daripada medis.

Eh, saya tidak sedang mereview mata kuliah psikoterapi yang ngubek-ubek masalah psikoanalisa, CBT ataupun perbedaan psikoterapi dengan konseling. Bukan itu. Saya Cuma mau ngomongin holistik sama bistik. Perkara nanti ada banyak kata berakhiran tik-tik-tik bunyi hujan lainnya ya itu sudah resiko siapapun yang membaca tulisan ini.

Hehe...

Holistik. Menyeluruh. Idealnya pemahaman itu dilakukan secara menyeluruh. Idealnya juga, pengambilan kesimpulan itu dilakukan atas dasar pengetahuan yang menyeluruh. Itu idealnya. Hanya saja, manusia memang membatasi kemampuannya untuk mau tahu secara menyeluruh. Tahu-tahu saja, pada pandang pertama langsung ambil kesimpulan. Tahu-tahu saja prasangka menjadi dasar utama pengambilan keputusan. Tempe-tempe saja, skema menjadi dasar utama untuk penilaian selanjutnya.

Begitulah. Manusiawi.

Skema dan identitas memang selalu ada pada diri seseorang bagaimanapun dia berada di komunitas yang berbeda. Saya punya seorang sahabat asal Riau yang Ibunya orang Jawa. Dia bisa berbahasa Jawa, jadi selama ini kami bicara dengan bahasa tersebut dan rata-rata orang akan mengira dia asli Jawa. Tapi, apa yang terjadi ketika saya sempat ikut dengannya dalam pertemuan mahasiswa Riau? Bujubuneng, saya berasa nyasar di planet lain. Bahasanya dan logatnya, bo! Saya bengong, tidak sempat menangkap arti kata-kata itu saking cepatnya ritme dan tentu saja ketidakmampuan saya memahami bahasa mereka. Bahkan sahabat saya yang selama ini berbahasa jawa, seolah menjadi asing ketika tengah bercakap dengan teman satu kampung halamannya.

Juga ketika ada seorang teman yang menuduh saya punya penyakit alergi dengan penjahit (penyakit yang aneh) karena saya ketahuan beli kain tapi nggak pernah maju untuk menjadikannya baju seperti yang seharusnya. Saya ketawa, saya bukannya alergi dengan penjahit (dikit deng, kalo sama penjahit cowok), saya Cuma malas pake baju baru (halah, ini lebih aneh lagi). Habis tiap kali ada sesuatu yang baru, coba deh dengar, pasti ada yang bilang, cieee...baru ni yee...(hih, males banget).

Kembali ke persoalan holistik. Dua paragraf di atas hanya tulisan numpang lewat saja. Hehe, maaf.

Seingat saya, saya pernah hampir ribut dengan seorang sahabat gara-gara perkara hipnosis. Kami berbeda pandangan. Karena beliau bertanya pada saya yang kala itu dibesarkan dalam lingkungan psikologi, maka saya jawab bahwa hipnosis adalah persoalan sugesti, bukan sihir. Perkara ada materi mengenai gendam, sihir, kembang tujuh rupa ataupun menyan buat sajen ya tentu saja materi tersebut tidak ada dalam hipnosis yang secara psikologi berdasar pada kekuatan pikiran. Tapi saya sadari bahwa saya memang belum cukup ilmu untuk menerangkan hal tersebut karena sesungguhnya hipnosis memang sangat kompleks.

Seingat saya, beliau mengatakan bahwa dasar syar’i harus dijadikan dasar utama dalam perkara ini ketika saya mengatakan lebih baik kita memahami sesuatu secara menyeluruh. Maka saya bilang juga, bahwa bukan berarti ketika kita memahami sesuatu secara menyeluruh itu kita tidak punya dasar dalam memutuskan sesuatu, tetapi pemahaman secara menyeluruh tersebut digunakan agar kita benar-benar tahu dan memahami hal tersebut. Dan dasar itulah yang menjadi alasan.

Seperti kata dosen psikolog, “kalian boleh mengatakan dia penderita skizofrenia paranoid, gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktivitas atau apalah, yang penting kalian punya dasar dalam mengatakan hal tersebut, apakah didasarkan pada PPDGJ 3 atau DSM 4 atau apalah. Ada psikolog yang lebih menyukai aliran ini atau itu karena mereka juga mempunyai dasar.”

Atau ketika saya sedang dalam perjalanan pulang ke Solo naik bis, ketika sedang zaman rusuh antara bonek dengan warga Solo beberapa saat yang lalu. Saya sempat mendengar ada penumpang yang mengatakan sebenarnya yang salah itu warga Solo. Yap, saya tahu dia pasti punya alasan mengatakan itu meskipun saya tidak yakin dia akan tetap berpendapat seperti itu jika dia ada dalam posisi sebagai warga yang rumahnya dilempari batu oleh para bonek. Atau dalam posisi sebagai direktur utama PT KAI atau minimal sebagai para pedagang makanan di satasiun.

Atau ketika ada dosen yang mengatakan bahwa jangan mengusik penderita genuine identity disorder ketika mereka sudah nyaman dengan kondisi mereka. Toh kita pun tidak bisa menyalahkan apa-apa dan siapa-siapa.

Begitulah. Holistik. Lalu alasan. Bukankah kita hanya bisa mengatakan ini benar ini salah ketika kita berada dalam satu sudut pandang yang sama?

Lalu ketika kita lebih baik tahu menyeluruh mengenai suatu hal, kapankah saat yang tepat untuk mengambil suatu kesimpulan? Jangan marah kalau saya bilang, saya pun juga tidak tahu. Saya hanya mampu bilang kalau silahkan ngomong dan menyimpulkan apa saja, asal kita punya dasar dalam menyimpulkan hal tersebut. Dan sebenarnya, menurut saya, yang terpenting bukanlah apa kesimpulan kita mengenai suatu hal, tapi tugas kita yang paling penting adalah bagaimana agar orang mau mengerti dan menerima kesimpulan serta dasar yang kita pakai. Jadi kalau sekarang tulisan ini belum mampu dipahami dan diterima, maka ini bukanlah hal yang penting. Mungkin hanya persoalan waktu, hehe...

Sederhananya begini, silahkan saja jika ada yang bilang kalau mencuri itu halal dengan alasan ekonomi. Yang terpenting bukan alasannya, tetapi bagaimana agar orang lain mampu mengerti dan menerima alasan tersebut. Bisa kagak? Sanggup kagak?

Ngomong-ngomong, bagaimana dengan soal bistik?

Saya hampir lupa, saya hanya ingin bertanya karena saya tidak tahu, apa bedanya bistik dengan steak? 

 Yogyakarta tercinta, 31 Januari.

Komentar

  1. Wah sukses mengikuti kuliah psikologi dengan tidak sadar..
    Dasar calon psikolog... belum jadi psikolog sudah main-mainin orang... Hm....:D.

    BalasHapus
  2. Bistik itu sebenarnya serapan dari bahasa inggris, beef steak.
    Sementara kalau cistik itu berasal dari cheese stick. Jadi bistik itu salah satu dari steak. Tapi kalau cistik bukan.

    BalasHapus
  3. psikolog tho mbak..wah gak jauh dengan profesiku mbak..aku di rumah sakit jiwa mbak kerjanya..tapi bukan sebagai psikolog tentunya

    BalasHapus
  4. hehe...
    ntar kalo dah jadi psikolog Insya Allah tobat, nggak main2in orang lagi...(^_^)

    BalasHapus
  5. wah saya blm jadi psikolog mas...
    mas aris perawat di RSJ Solo kan?
    (kata temen yg s4 magang di sana)

    BalasHapus
  6. belum, saya blm jadi psikolog...
    mas aris perawat di RSJ Solo kan?

    BalasHapus
  7. bisa dunk

    kasih aja hadits dari Umar. ada yang bisa membantah? tunjuk hidung gih.

    BalasHapus
  8. ada anak psikologi yang juga anak FLP yang pernah magang di RSJ Solo...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer