Tentangmu, Yang Menyendirikan Diri

Mungkin hari ini, sekitar 17 tahun yang lalu
Aku merayap ke arahmu yang tengah bersamanya. Berharap bisa masuk ke dalam lingkaran kehangatan yang terlihat lewat canda dan tawa yang mengurai. Sepasang agar-agar ada di kedua belah tanganku dan ketika kusorongkan salah satunya kepadamu, kamu menolaknya.

Kamu memilih agar-agar yang tergeletak di meja. Kala itu, aku tertegun dan pikiran kanakku hanya bermain sepintas dengan pertanyaan, kenapa? apa kamu membenciku?

Mungkin hari ini, sepanjang tahun setelah itu
Aku melihat kalian dari kejauhan, seperti ada sekat tak tertembus. Kemudian memandang langit dan berseru, Ayah Ayah, apakah aku berbeda dari mereka?

Mungkin hari ini, sepuluh tahun yang lalu
Kita saling bercerita kala itu, tertawa bersama dan hanya berdua. Menakjubkan bukan ketika menyadari bahwa aku mampu masuk ke dalam duniamu. Hingga kemudian aku ingat, ah kita hanya berdua dan kau sedang tidak bersamanya karena dia sedang tidak ada di sana. Seketika aku tersungkur dalam kegembiraan bercampur kesedihan, apakah aku hanya tampak di hadapanmu ketika dia tidak ada?

Mungkin hari ini, delapan tahun yang lalu setelah sekian hari kita lewatkan dalam diam
Kala itu kamu menyapaku. Sapaan yang membuat airmata meleleh-leleh, ah setelah sekian lama, rasanya, dirimu begitu nyata.

mungkin hari ini, empat tahun yang lalu
Aku melihatmu hadir di hadapanku dan sekat itu pun luruh sudah. Semua luka seakan lenyap. Kita tertawa ketika itu dalam sebuah pesona kebersamaan yang menakjubkan. Lagi-lagi aku tetap harus menyadari bahwa aku tidak selamanya menjadi yang nomor satu

Kutanya dirimu, hey kenapa 17 tahun yang lalu kita begitu berjarak?
Jawabmu, kamu begitu rapuh hingga aku takut mendekat. cengeng.
Aku tertawa dan mengatakan bahwa sampai kapanpun, aku tetap perempuan yang mudah melelehkan airmata. Sembilan tahun rentang waktu kita dalam mengawali membuka mata, memang menciptakan sebuah keterasingan, di luar jarak sekian kilometer selama bertahun-tahun.

Kemudian selepas itu, ada banyak interaksi yang tercipta. Kamu belum seutuhnya kembali, tetapi kamu benar-benar nyata. Aku tidak mimpi buruk lagi. Atau mungkin tidak terjerambab dalam mimpi indah yang memupuskan harapan ketika membuka mata.

Tetapi aku merasakan hadirmu. Kita sering tertawa bersama kala itu, menyusuri jalanan seperti dua orang pecinta bau jalanan dan menemukan banyak hal menyenangkan di sana.

Hingga kemudian, bayanganmu menjadi semakin tipis di hadapanku. Aku merasakannya, merasakan dirimu mulai seperti kabut yang menjadi kosong ketika aku mencoba menggenggamnya. merasakan dirimu seperti peluru es ketika dingin tengah memelukku dan merasakan dirimu seperti lidah matahari yang membakarku ketika panas menyelimutiku. Sejak itu, aku tidak pernah berharap lagi kamu akan menjadi matahari ketika dingin menerpa dan air ketika bara panas menerjang. Mungkin itu bukan kapasitasmu.

Lalu, kewajibanmu menghadapkanmu pada realita tentang siapa sebenarnya diriku bagimu. Tuntutan hak diriku atas dirimu, sebuah hak yang timbul atas apa yang telah digariskan dan ditetapkan. Aku tercengang kala itu, bertahun-tahun sepanjang interaksi kita, untuk pertama kalinya dalam hidupmu, kamu meminta sesuatu kepadaku. Sesuatu yang bahkan tidak pernah kamu lakukan sendiri meskipun kewajibanmu seharusnya menuntunmu untuk melakukannya. Aku tidak percaya kamu memintanya. Sekali lagi, aku terluka.

HIngga, titik tertinggi di atas segalanya ketika aku harus meminta sesuatu kepadamu. Meminta hakku. Aku seperti dilemparkan dari menara yang tinggi, hingga menyadari bahwa kamu benar, aku terlalu rapuh untuk kamu dekati, aku terlalu rapuh untuk menghadapi kekeraskepalaanmu. Aku menyerah untuk itu dan membiarkan waktu yang memperbaiki semuanya. Toh, ini persoalan prinsip, tentang sesuatu yang tidak hanya tentang aku dan kamu, tetapi tentang banyak orang dan tentang hidup ini. Keputusan itulah yang pada akhirnya membawa titik final yang mungkin tidak kita sadari, tentang bagaimana sesungguhnya kita ini.

Bukan hari ini, empat bulan yang lalu...
Hanya sebuah pesan singkat darimu, membalas pesan yang sesungguhnya tidak ingin aku kirimkan karena aku merasa tidak sanggup lagi menghadapimu.
Good luck for your life, katamu.

Aku tersenyum kala itu. Hei, bukankah ini memang hidupku sendiri? Tanpa dirimu atau ada dirimu, jalan di hadapanku sudah terbentang, tinggal dijalani saja. Meskipun kita pernah merasakan ruang amniotik yang sama, darah yang sama, kulit yang sama, dan awal yang sama, sesungguhnya, kita memang berbeda. Kita memang sendiri. Karena pada hakikatnya, kita memang sendiri. Sendiri ketika sudah saatnya sendiri. Hingga nanti, kita baru menyadari apa sebenar-benarnya sendiri itu, ketika kita masing-masinglah yang akan bertanggungjawab, ketika pada akhirnya, kita benar-benar sendiri... Sebenar-benarnya sendiri....Tinggal apa yang kita lakukan pada masa sebelumnya yang akan menemani kita.

Kemarin, mungkin beberapa hari yang lalu
Aku melihat potretmu. Suka sekali melihat senyummu di sana. Ah, semoga kamu tetap sehat-sehat saja. Luka itu ya luka, senang itu ya senang, keduanya jelas berbeda meskipun bisa terjadi dalam waktu yang bersamaan.

Tidak apa-apa, hanya ketetapanlah yang membuat segalanya bertahan. Sebuah ikatan yang tidak akan pernah putus, kecuali sudah tiba saatnya sendiri.

"Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya (QS 80 :34) Dari ibu dan bapaknya (QS 80 : 35) Dari istri dan anak-anaknya (QS 80 :36)"

"(Yaitu)pada hari (ketika) seseorang sama sekali tidak berdaya menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah." (QS.82 :19)

Solo, berdetik-detik yang lalu

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer