Awalnya Tentang Angkot

Lama sekali saya tidak merasakan ini. Lama sekali saya tidak naik angkot, berjubel dalam sebuah tempat mungil, dengan lutut yang saling beradu dan jarak pandang hanya sekian puluh sentimeter. Ingat sekali kapan saya terakhir kali naik angkot, gara-gara kemaleman nyampe Solo dan sudah idak ada bis kota hingga saya harus naik angkot. Beneran, saya rada horor naik angkot malam-malam, sendirian pula dan tentu saja was-was.

Dan ingat pula kapan saya begitu sering naik angkot, tentu saja ketika jaman SMP. Pulang pergi naik angkot atau bis dan tempat favorit saya adalah di depan, dekat sopir. Alasannya sederhana, turunnya gampang dan saya nggak perlu ngelangkahin banyak orang hanya untuk mencapai pintu keluar. Ingat pula ketika harus naik bis yang penuh di waktu jam pulang sekolah dimana para penumpang dijejalkan sampai tidak bisa lagi dijejalkan hingga saya sering terbawa hingga pasar Prambanan gara-gara nggak bisa keluar untuk turun. Padahal rumah saya nggak dekat-dekat dari pasar Prambanan. Jadilah saya harus jalan kaki lagi untuk mencapai rumah. Ya iyalah neng...

Dan kemarin, saya naik angkot lagi. Ih, gak penting. Tetapi tiba-tiba saya kangen dengan banyak hal dalam masa lalu saya. Saya duduk di dekat pintu persis dengan angin persawahan yang bertiup sejuk serta lutut saya yang beradu dengan es batu belanjaan dari bapak-bapak yang sedang bergelantungan di pintu angkot. Dingin. Dengan tatapan orang-orang di dalamnya yang begitu dekat.

Ada seorang Ibu yang menggerutu karena belanjaannya rusak. Ada seorang bapak dan seorang bapak lagi yang sibuk berdebat mengapa pemerintah Australia menghentikan pasokan sapi ke Indonesia. Obrolan itu berlanjut hingga ke sesi curhat mengenai sapi-sapi yang mati di Merapi.

Memang, bagi saya, sapi adalah hewan yang lucu. Dan saya juga tetap makan rendang, bakso, sate ataupun sosis. (Lhah?)

Sudah lama sekali saya tidak melewati tempat ini. Sudah sangat lama sekali hingga saya lupa kapan terakhir kali melewatinya. Sebuah perjalanan yang saya pikir terbatas karena imajinasi anak kecil saya kala itu, menganggap bahwa tempat itu adalah ujung bumi ini, sudah tidak ada lagi sebidang tanah setelah daerah tersebut.

Padahal, masih ada pantai di sana. Masih ada tanah berbukit yang mengisahkan tentang matahari senja yang cantik. Saya pernah melihat matahari jingga yang memukau itu, menunjuk-nunjuk dengan penuh semangat dan mengatakan pada seseorang di depan saya, "Lihat-lihat, mataharinya jingga!"

Ahh, saya tetap saja antusias menunjukkan kepada orang-orang mengenai matahari yang cantik, bintang timur yang gemerlap, bulan emas atau bulan sabit atau langit yang indah. Saya menyukai langit, terpana-pana dengan pemandangan malam ketika saya melihat empat buah kerlip cahaya yang bergerak cepat ke selatan dan ke utara. Apapun itu, entahlah, yang jelas saya suka sekali memandang langit ketika malam tiba seraya berpikir, apakah orang-orang yang saya sayangi juga tengah memandang langit yang sama. Aiiihh, sok romantis.

Ketika separuh perjalanan terlewati dengan angkot, tiba-tiba saja saya kembali terhenyak. Bumi begitu luasnya. Ada tanah-tanah yang kelak Insya Allah akan saya pijak. Tanah-tanah yang sewaktu saya kecil bahkan tidak pernah saya impikan untuk saya pijak atau saya tinggali karena bagi saya kala itu, hidup adalah selalu bersama dengan orang -orang yang kita cintai, kita lihat setiap hari dan tumbuh bersama waktu-waktu kita.

Tetapi hidup memang sudah berubah. Ada banyak hal yan berubah. Angkot-angkot sudah tak sama lagi. Jumlah mereka sudah semakin sedikit. Banyak tanah, keinginan, janji, perkataan, tekad, cinta, kasih sayang, benci, rindu bahkan mimpi yang berubah. Banyak hal yang diingkari, juga banyak hal yang ditepati. Banyak hal yang bisa dimengerti, juga banyak hal yang ternyata belum mampu dipahami seperti mengapa naik angkot kemarin terasa begitu melankolis.

Ya sudahlah. Kita tahu itu. Kita cukup dewasa untuk bisa memahami ini, tetapi mungkin belum cukup dewasa untuk sepenuhnya memaafkan. Sudahlah.

*apakah saya terlalu memaksa menulis tentang angkot, matahari jingga, langit, tanah dan kehidupan?

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer