Belajar Dari Proses
Saya selalu percaya, bahwa sesuatu itu akan muncul di saat yang tepat. Selalu ada waktunya dan selalu ada masanya. Apalagi berkaitan dengan hal-hal yang bersifat takdir alias ketentuan mutlak Allah.
Pernikahan kami sudah berjalan setahun lebih dan dalam kondisi LDR semacam ini, sebenarnya saya tidak terlalu mencemaskan perihal momongan yang belum juga datang. Catat, saya tidak terlalu mencemaskannya ketika saya dan suami pun sedang berada dalam kondisi dimana kami sangat percaya bahwa anak itu sama halnya dengan jodoh dan kematian, mutlak kekuasaan Allah.
Meskipun demikian, kekalutan itu pun juga muncul, justru ketika kami mendengar omongan orang. Yahh, buanyak yang bilang, jangan dengerin omongan orang, tapi tentu ada masa-masa dimana omongan orang lain menjadi hal yang sangat sensitif sekali bagi kami berdua. Kalau hanya pertanyaan seperti, 'udah hamil apa belum?' itu masih dalam kategori pertanyaan yang wajar bagi saya. Tapi kalau sudah ditanya, 'kalian KB?' atau 'kapan terakhir kali menstruasi?' atau 'gimana sih kamu kok nggak hamil-hamil?' atau 'wong yang barengan nikah aja udah punya anak semua kok' atau 'yang duluan nikah aja udah hamil kok' atau instruksi seperti 'periksain sana' bahkan hingga pertanyaan kurang mutu seperti "tapi kalian udah bikin kan?' mampu membuat saya agak-agak ngerasa nyeri.
Nyeri? Saat itu juga, semacam ada perasaan patah terhadap apa yang sudah dipercayai selama ini. Patah sesaat, karena selanjutnya pun biasanya tidak heboh mikirin lagi. Ya, nyeri sesaat dan ajaibnya, Allah selalu berikan obatnya ketika perasaan patah dan nyeri itu sedang muncul.
Pernah suatu ketika, saya sedang merasa nyeri karena kami dituduh complicated soal reproduksi. Selepas sholat, saya duduk diam, campuraduk antara pengen nangis saat itu juga dan saya meraih mushaf untuk melanjutkan tilawah yang kemarin. Begitu saya baca artinya, Ya Allah, saya tertegun dan menangis saat itu juga. Surat yang saya baca adalah sepuluh ayat pertama QS. Maryam yang menceritakan tentang rahmat Allah kepada Nabi Zakaria yang menunggu lama untuk bisa mempunyai anak.
Sekejap saya merasa malu, bagi saya ini sudah cukup jadi obat bagi saya. Saya malu ketika menyadari bahwa Nabi Zakaria menunggu lebih lama untuk mendapatkan anak, sementara saya yang baru setahun lebih menjalani pernikahan dengan sebab-sebab yang masih logis (LDR) saat itu merasa begitu sedih.
Apakah LDR selalu menjadi sebab logis yang bisa diterima atau mungkin patut dipersalahkan? Saya rasa, tidak patut dipersalahkan sebagai sebab belum adanya momongan. Karena saya sudah melihat sendiri, ada sekian pasangan yang LDR, tapi juga sudah dikaruniai momongan, namun ada sekian pasangan yang bertemu setiap hari dan bersama setiap hari selama bertahun-tahun tapi belum juga dikaruniai momongan. Bukankah itu seharusnya sudah cukup menjadi bukti bahwa kehamilan itu adalah mutlak kekuasaan Allah?
Ada lagi saat-saat dimana saya semakin percaya bahwa kehamilan akan datang di waktu yang tepat. Ada suatu saat dimana saya tetiba jatuh sakit. Demam, lemas, perut nyeri sekali, diare, mual, nggak nafsu makan, pengen muntah. Udah mirip banget kayak orang lagi ngidam, tapi jelas saya nggak ngidam :-D. Eh tapi saya ngerasain sendiri dimana saya eneg banget sama bau-bauan aneh di kamar saya, bau kamar sendiri pun bikin eneg bahkan saya mau muntah hanya karena buka pesbuk dan ngeliat ada orang posting gambar setup makaroni. Sebel banget liat gambar aneka makanan dan nggak bisa makan banyak-banyak.Astaga, benar-benar mirip kayak orang lagi ngidam. Padahal saya belum hamil, gimana kalau saya hamil sekarang dalam kondisi jauh dari suami?
Itu sisi positif yang bisa saya ambil dari sakitnya saya kala itu. Saya sudah ngerasain bahwa yang namanya mual muntah demam dan eneg dengan segala macam bau itu bukan kondisi yang nyaman dijalani ketika tengah berjauhan dari suami. Bukan berarti saya benci kondisi tersebut ketika kelak hamil, tetapi saya lebih merasa kege-eran bahwa Allah sedang memberikan kesempatan saya untuk icip-icip perubahan fisiologis yang berkaitan dengan kehamilan. Biar paham dan mengerti, mungkin segala yang berkaitan dengan kehamilan akan terasa lebih nyaman dijalani ketika berada di dekat suami.
Teman-teman saya pun selalu menguatkan dengan cara, 'bayangkan lho kalau kamu lagi hamil, jauh dari suami, ngidam pengen ini itu, lagi ngurus penelitian juga,'
Saya pun berpikir yang sama, apalagi dengan identitas domisili saya yang rada kacau ini, mikirin mau periksa dimana dan siapa yang bakalan nganterin saya buat periksa kehamilan saja sudah bikin saya terdiam, termangu dengan tatapan kosong. Belum lagi kalau ngidamnya aneh-aneh, emaknya ini rewel karena kangen suami melulu, masih suka jalan kaki kemana-mana, masih harus penelitian dll.
Hei, sekali lagi, saya tidak sedang berpikir tentang negatifnya hamil sekarang atau mengeluh tentang kerempongan yang akan saya hadapi, tetapi saya hanya ingin mengambil sisi positif dari semua ini, bahwa tetap saja menjalani segala sesuatu yang berkaitan dengan kehamilan di sisi suami yang penyayang itu jauh lebih baik. Ibu hamil pun juga tidak boleh stres, kasihan dedeknya :-).
Begitulah. Semoga bermanfaat. Bukankah memang kita semua belajar dari proses :-)?
Komentar
Posting Komentar