Tanaman Empat Musim
Dulu, kamu memberikan sebidang tanah kepadaku. Tanah berwarna kecoklatan yang tanpa angin, tanpa matahari, tanpa hujan dan tanpa tanaman.
Dulu, kamu memberikan sebatang tanaman kepadaku. Tanganku menerima tanaman itu dan katamu, "tanamlah di sana, di tanah yang telah aku sediakan untukmu"
sebatang tanaman telah ditanam di sana, tetapi aku masih enggan merawatnya. Enggan melihatnya, enggan mengakuinya sebagai milikku. Alasannya sederhana saja, karena kamu yang memberikan tanah dan tanaman tersebut, tanah dan tanaman itu ada padaku karena milikmu dan kamu memberikannya kepadaku.
Lalu, kamu memutuskan untuk merawat tanaman itu. Aku hanya berdiri di hadapanmu, menontonmu menyiramnya dengan air, memberikan pupuk,dan mengusahakan matahari agar bercahaya di sana. Kulihat sinar matamu, binar matamu ketika kamu bersama dengan tanaman tersebut.Dan sejuta pertanyaan timbul dan akhirnya mengerucut pada satu pertanyaan saja, "kenapa kamu memberikan tanaman itu jika sebenarnya kamu begitu menyukai tanaman tersebut?"
jawabmu, "Karena kamu menanamnya di tanah yang telah kuberikan kepadamu"
Tanah. Tanaman. Air. Pupuk. Cahaya.
Lambat laun tanpa kusadari, tanaman itu tumbuh. Semakin banyak semakin banyak. Semakin tinggi semakin tinggi. Baru saja akan berbunga, dengan kuncupnya yang nyaris saja mekar ketika angin musim gugur menumbangkan kuncup-kuncup, dedaunan dan hanya meninggalkan batang yang meranggas sendirian.
Katamu, "Jangan menangis. Nanti akan muncul kuncup lagi. Yang penting pohonnya masih ada dan tidak mati"
kamu terus saja menyiram, memupuk dan mengusahakan cahaya untuk tanaman tersebut. Hingga musim dingin yang beku membuat jemari tanaman tersebut enggan bergerak dan aku dilibas kekhawatiran. Bagaimana jika tanaman itu tidak mampu berbunga lagi? Musim dingin begitu menusuk, batang-batang tanaman tersebut dibalut salju.
Katamu, "Jangan khawatir. Tidak selamanya akan dingin karena matahari pun kelak akan menyala-nyala"
Kamu masih saja menyiram, memupuk dan mengusahakan cahaya. Hingga salju perlahan mencair dan tunas-tunas baru bermunculan kembali. Musim semi telah tiba. Dedaunan melebat dan menghijau, batang semakin kokoh dan betapa bahagianya diriku ketika menyaksikan tanaman itu terlihat sedemikian indah di tanah tersebut.
Lalu musim panas dan kuncup bunga pun bermunculan dimana-mana. Lalu mekar. Indah. Cantik. Membahagiakan. Tanaman yang telah kamu rawat sekian lama,melewati musim-musim yang keras, telah tumbuh sedemikian cantiknya.
"Sudah cantik," katamu.
lalu, ketika tunastunas itu telah mekar, mendadak saja kamu menginjak-injak tanaman itu. Kamu memangkas bunganya, batangnya dan nyaris menebasnya habis. Aku menangis, menjerit-jerit "Bagaimana bisa kamu membabat sesuatu yang kamu tumbuhkan dan rawat sendiri? Lalu kini aku hanya menemukan sisa-sisa kengerian yang tiba-tiba saja kamu munculkan."
Bertahun-tahun lamanya, aku tetap tidak temukan jawabannya. Hingga kamu menghilang dan aku mencari sebuah pohon yang lain untuk ditanam di sana. Aku menemukan pohon itu. Pohon yang kini telah tumbuh sedemikian cantiknya. Ia ada
Salam,
Arlenita Atana
nice..^_^
BalasHapus:-)
BalasHapusSemua ada waktunya bahkan untuk menjadi lebih bijaksana :)
BalasHapusahay. Betul mbak Bel :-)
BalasHapus