Biar Dunia Tahu Betapa Hebatnya Dirimu, Nak
Ini adalah cerita seorang sahabat. Beliau yang kebetulan membuka sebuah bimbel, menuturkan
bahwa beberapa waktu yang lalu, orangtua anak didiknya datang ke rumahnya sembari
marah-marah. Orangtua tersebut marah-marah gara-gara anaknya turun dari ranking 2 menjadi
ranking 3. Dua hari kemudian, orangtua tersebut minta maaf dan mengatakan bahwa penurunan
ranking tersebut karena kesalahan gurunya di sekolah dan anak tersebut akhirnya menjadi
ranking 1.
Lhoh?
Entah bagaimana cerita yang sebenarnya. Juga entah apa sebenarnya yang menyebabkan anaknya
turun dari ranking 2 menjadi ranking 3 kemudian malah jadi ranking 1. Entahlah. Entahlah.
Entahlah. Entah apa pula yang menyebabkan orangtua tersebut memilih memarahi para guru
ketimbang mencari penyebab lain. Entah apa pula yang menyebabkan penurunan ranking tersebut
menjadi begitu penting hingga harus menyalahkan orang lain.
Kemudian, saatnya beranjak kepada diri kita sendiri. Saya, anda, kalian, kita, kamu, dia atau
mereka. Jika kita berada di posisi orangtua tersebut, apa yang akan kita lakukan ketika
mendapati putra kita mengalami penurunan ranking?
Apakah kita juga akan mendatangi guru lesnya seraya memarahinya? Bagaimana jika guru lesnya
balik membantah kita, "anak anda hanya menghabiskan waktu dua jam bersama saya, berjam-jam
bersama anda, berjam-jam bersama teman-temannya di sekolah, berjam-jam pula bersama gurunya
di sekolah, bagaimana bisa anda menyalahkan saya untuk dua jam waktu saya bersamanya dalam
dua puluh empat jam hidupnya dalam sehari?"
Lalu, kita beranjak memarahi gurunya di sekolah. Bagaimana jika gurunya malah menyodorkan
kepada kita, " Anak anda tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Anak anda tidak memperhatikan
ketika tengah di terangkan. Saya sudah memberitahunya bahwa besok ulangan umum dan tentu saja
saya menyuruhnya untuk BELAJAR DI RUMAH. Jika nilai anak anda jelek, apakah karena ia tidak
belajar di rumah? Kenapa dia sampai tidak belajar di rumah? Apakah anda tidak mendampinginya?
Apakah anda terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya?"
Lalu kita memanggil teman sepermainannya, menyuruh mereka agar tidak terlalu banyak bermain
bersama putra kita. Tetapi teman-temannya terlalu cerdas dan terlampau enggan untuk
disalahkan, maka mereka berbalik bicara, " Ayah Bunda, jika dia tidak bermain bersama kami
pun tidak apa. Tidak ada pengaruhnya. Kami bisa bermain sendiri. Kami bermain sambil belajar
memahami orang lain. Kami belajar memaafkan orang lain selepas berkelahi. Kami belajar
hal-hal baru ketika tengah menyusuri padang-padang rumput dengan aroma matahari. Kami belajar
keberanian ketika tengah berlari mengejar layang-layang. Kami belajar hukum serta beberapa
peraturan ketika tengah bermain."
Setelah tidak tahu siapa lagi yang disalahkan, kita memandang anak kita, dan segera
menyalahkannya. Menuduhnya malas belajar, menuduhnya terlalu banyak bermain, menuduhnya tidak
melakukan tugasnya dengan baik.
lalu bagaimana jika ternyata anak kita terlalu cerdas untuk disalahkan?
Bagaimana jika dia bertanya kepada kita, " Ayah Bunda, kenapa harus dapat ranking satu atau
dua atau tiga?"
Dalam hati kita menjawab, " Supaya dunia tahu betapa cerdasnya dirimu. agar ayah bunda bangga
dengan prestasimu."
Sayangnya, anak kita bisa membaca pikiran kita dan berkata, "Apakah ayah bunda mencintaiku
hanya karena aku mendapat ranking satu? bahwa aku bisa menjadi yang terbaik di antara yang
lain?"
Lalu anak kita mulai menangis, menyangka bahwa ayah bundanya tidak akan mencintainya karena
dia tidak mendapat ranking satu. Apakah cinta itu tetap ada jika dia terlahir tidak sempurna,
tidak bisa membaca karena disleksia, microchepalus atau segenap ketidaksempurnaan yang
menyulitkannya untuk berprestasi secara akademis?
Kita pun menenangkan anak kita, mengatakan bahwa kita mencintainya apa adanya. Kita katakan
pula, bahwa nilai yang bagus, ranking satu dan menjadi yang terbaik adalah bukti bahwa betapa
pintarnya putra kita, betapa baiknya dia dalam memahami dan menerima pelajaran.
"Apakah itu penting, bunda? kenapa harus jadi ranking satu, kenapa harus mendapat nilai
seratus untuk membuktikan bahwa kita pintar?"
"Karena orang lain menilai dari hal tersebut!" kita mulai tidak sabar.
"Jadi, ayah bunda mencintaiku berdasarkan penilaian orang lain terhadapku?"
Sungguh, tidak mudah menempatkan posisi menjadi orangtua yang layak.
*galau
bahwa beberapa waktu yang lalu, orangtua anak didiknya datang ke rumahnya sembari
marah-marah. Orangtua tersebut marah-marah gara-gara anaknya turun dari ranking 2 menjadi
ranking 3. Dua hari kemudian, orangtua tersebut minta maaf dan mengatakan bahwa penurunan
ranking tersebut karena kesalahan gurunya di sekolah dan anak tersebut akhirnya menjadi
ranking 1.
Lhoh?
Entah bagaimana cerita yang sebenarnya. Juga entah apa sebenarnya yang menyebabkan anaknya
turun dari ranking 2 menjadi ranking 3 kemudian malah jadi ranking 1. Entahlah. Entahlah.
Entahlah. Entah apa pula yang menyebabkan orangtua tersebut memilih memarahi para guru
ketimbang mencari penyebab lain. Entah apa pula yang menyebabkan penurunan ranking tersebut
menjadi begitu penting hingga harus menyalahkan orang lain.
Kemudian, saatnya beranjak kepada diri kita sendiri. Saya, anda, kalian, kita, kamu, dia atau
mereka. Jika kita berada di posisi orangtua tersebut, apa yang akan kita lakukan ketika
mendapati putra kita mengalami penurunan ranking?
Apakah kita juga akan mendatangi guru lesnya seraya memarahinya? Bagaimana jika guru lesnya
balik membantah kita, "anak anda hanya menghabiskan waktu dua jam bersama saya, berjam-jam
bersama anda, berjam-jam bersama teman-temannya di sekolah, berjam-jam pula bersama gurunya
di sekolah, bagaimana bisa anda menyalahkan saya untuk dua jam waktu saya bersamanya dalam
dua puluh empat jam hidupnya dalam sehari?"
Lalu, kita beranjak memarahi gurunya di sekolah. Bagaimana jika gurunya malah menyodorkan
kepada kita, " Anak anda tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Anak anda tidak memperhatikan
ketika tengah di terangkan. Saya sudah memberitahunya bahwa besok ulangan umum dan tentu saja
saya menyuruhnya untuk BELAJAR DI RUMAH. Jika nilai anak anda jelek, apakah karena ia tidak
belajar di rumah? Kenapa dia sampai tidak belajar di rumah? Apakah anda tidak mendampinginya?
Apakah anda terlalu lelah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya?"
Lalu kita memanggil teman sepermainannya, menyuruh mereka agar tidak terlalu banyak bermain
bersama putra kita. Tetapi teman-temannya terlalu cerdas dan terlampau enggan untuk
disalahkan, maka mereka berbalik bicara, " Ayah Bunda, jika dia tidak bermain bersama kami
pun tidak apa. Tidak ada pengaruhnya. Kami bisa bermain sendiri. Kami bermain sambil belajar
memahami orang lain. Kami belajar memaafkan orang lain selepas berkelahi. Kami belajar
hal-hal baru ketika tengah menyusuri padang-padang rumput dengan aroma matahari. Kami belajar
keberanian ketika tengah berlari mengejar layang-layang. Kami belajar hukum serta beberapa
peraturan ketika tengah bermain."
Setelah tidak tahu siapa lagi yang disalahkan, kita memandang anak kita, dan segera
menyalahkannya. Menuduhnya malas belajar, menuduhnya terlalu banyak bermain, menuduhnya tidak
melakukan tugasnya dengan baik.
lalu bagaimana jika ternyata anak kita terlalu cerdas untuk disalahkan?
Bagaimana jika dia bertanya kepada kita, " Ayah Bunda, kenapa harus dapat ranking satu atau
dua atau tiga?"
Dalam hati kita menjawab, " Supaya dunia tahu betapa cerdasnya dirimu. agar ayah bunda bangga
dengan prestasimu."
Sayangnya, anak kita bisa membaca pikiran kita dan berkata, "Apakah ayah bunda mencintaiku
hanya karena aku mendapat ranking satu? bahwa aku bisa menjadi yang terbaik di antara yang
lain?"
Lalu anak kita mulai menangis, menyangka bahwa ayah bundanya tidak akan mencintainya karena
dia tidak mendapat ranking satu. Apakah cinta itu tetap ada jika dia terlahir tidak sempurna,
tidak bisa membaca karena disleksia, microchepalus atau segenap ketidaksempurnaan yang
menyulitkannya untuk berprestasi secara akademis?
Kita pun menenangkan anak kita, mengatakan bahwa kita mencintainya apa adanya. Kita katakan
pula, bahwa nilai yang bagus, ranking satu dan menjadi yang terbaik adalah bukti bahwa betapa
pintarnya putra kita, betapa baiknya dia dalam memahami dan menerima pelajaran.
"Apakah itu penting, bunda? kenapa harus jadi ranking satu, kenapa harus mendapat nilai
seratus untuk membuktikan bahwa kita pintar?"
"Karena orang lain menilai dari hal tersebut!" kita mulai tidak sabar.
"Jadi, ayah bunda mencintaiku berdasarkan penilaian orang lain terhadapku?"
Sungguh, tidak mudah menempatkan posisi menjadi orangtua yang layak.
*galau
keren....pemikiranñ :)
BalasHapusbner mb,aq yg br aja mlahirkn anak 1 aja jg udah H2C apa bs mjadi ibu yg baik.apalagi amanah ibu tu luar biasa sbg madrasah ptma anak2ñ...
keren....pemikiranñ :)
BalasHapusbner mb,aq yg br aja mlahirkn anak 1 aja jg udah H2C apa bs mjadi ibu yg baik.apalagi amanah ibu tu luar biasa sbg madrasah ptma anak2ñ...
keren....pemikiranñ :)
BalasHapusbner mb,aq yg br aja mlahirkn anak 1 aja jg udah H2C apa bs mjadi ibu yg baik.apalagi amanah ibu tu luar biasa sbg madrasah ptma anak2ñ...
keren mba, komentnya sampai 3 kali, heheh
BalasHapusapalagi saya mba, yang belum nikah dan belum punya anak, semakin galau
semoga Mbak Fita bisa menjadi ibu yang baik :-)
allohumma aamin..smg mb retno jg.. :)
BalasHapusMaap mb,sk dobel2 gtu emg klo komen pk mp mobile,hehe
iya mbak, semoga, allahumma amin :-)
BalasHapusheheh...