Untuk Apa Jadi Psikolog?
Semester tujuh, bahkan telah mendekati semester delapan. Selalu saja ada kalimat-kalimat yang menguap yang mungkin dibungkus ketidaktahuan. Wah, calon psikolog...
Padahal jalan masih panjang. Tidak sekedar cukup menyusun skripsi, pendadaran lalu gelar psikolog segera tersemat di belakang nama. Tidak, lebih tepatnya belum. Hanya gelar sarjana psikologi yang tersemat. Strata satu yang kadang dipertanyakan manfaatnya untuk apa. Perjuangan masih panjang. Dan idealisme ala mahasiswa psikologi yang biasanya mengacu pada keinginan untuk meneruskan perjalanan ke fakultas-fakultas yang menyediakan sarana belajar setingkat profesi sekaligus strata dua yang pada akhirnya memberikan hak menyandang gelar psikolog. Tetapi untuk apa jadi psikolog?
Apakah untuk menggenapkan pendidikan psikologi tingkat pertama yang terkesan nanggung? Ataukah mendapatkan kebanggaan? Ataukah benar-benar berasal dari dedikasi tinggi unuk mencapai pemahaman mengenai bagaimana manusia itu? Ataukah untuk menandaskan uang senilai lebih dari tiga puluh juta untuk sebuah pendalaman ilmu?
Mari kita lihat para calon-calon psikolog ini. Mari kita lihat lingkungan sekitar yang senyatanya. Mari kita lihat perbandingan jumlah mahasiswa yang kuliah di fakultas psikologi seluruh Indonesia dengan pasien rumah sakit jiwa. Mari kita lihat mereka yang berjalan-jalan di luar sana dengan pakaian compang camping atau justru tanpa pakaian sama sekali. Mari kita lihat jumlah orang yang memutuskan untuk bunuh diri. Mari kita lihat anak-anak yang telah dewasa lebih cepat. Mari kita lihat kasus pembunuhan yang unik dan terkesan tidak berdasar.
Belum selesai. Mari kita lihat orang-orang di sekitar kita. Mari kita lihat apakah mereka telah cukup didengarkan. Mari kita lihat apakah mereka telah mendapatkan hak dari kita. Padahal suatu keberuntungan besar bagi para mahasiswa-mahasiswi psikologi. Mereka punya kesempatan mengenal dan mempelajari siapa sesungguhya manusia itu. Mereka seharusnya mampu berlari mengkuti perkembangan zaman yang seringkali tidak selaras dengan teori-teori psikologi abad duapuluh. Zaman terus berkembang, berlari sedemikian cepatnya, seperti layaknya perkembangan psikis manusia yang tidak statis, tidak selalu sama untuk generasi yang sama yang berbeda masa. Zaman selalu menghadirkan tuntutan-tuntutan baik itu realistis maupun idealis.
Dan, untuk apa jadi psikolog jika kita tidak berusaha mencapai tuntutan yang idealis realistis tersebut?
(Peringatan keras untuk diri sendiri!)
Padahal jalan masih panjang. Tidak sekedar cukup menyusun skripsi, pendadaran lalu gelar psikolog segera tersemat di belakang nama. Tidak, lebih tepatnya belum. Hanya gelar sarjana psikologi yang tersemat. Strata satu yang kadang dipertanyakan manfaatnya untuk apa. Perjuangan masih panjang. Dan idealisme ala mahasiswa psikologi yang biasanya mengacu pada keinginan untuk meneruskan perjalanan ke fakultas-fakultas yang menyediakan sarana belajar setingkat profesi sekaligus strata dua yang pada akhirnya memberikan hak menyandang gelar psikolog. Tetapi untuk apa jadi psikolog?
Apakah untuk menggenapkan pendidikan psikologi tingkat pertama yang terkesan nanggung? Ataukah mendapatkan kebanggaan? Ataukah benar-benar berasal dari dedikasi tinggi unuk mencapai pemahaman mengenai bagaimana manusia itu? Ataukah untuk menandaskan uang senilai lebih dari tiga puluh juta untuk sebuah pendalaman ilmu?
Mari kita lihat para calon-calon psikolog ini. Mari kita lihat lingkungan sekitar yang senyatanya. Mari kita lihat perbandingan jumlah mahasiswa yang kuliah di fakultas psikologi seluruh Indonesia dengan pasien rumah sakit jiwa. Mari kita lihat mereka yang berjalan-jalan di luar sana dengan pakaian compang camping atau justru tanpa pakaian sama sekali. Mari kita lihat jumlah orang yang memutuskan untuk bunuh diri. Mari kita lihat anak-anak yang telah dewasa lebih cepat. Mari kita lihat kasus pembunuhan yang unik dan terkesan tidak berdasar.
Belum selesai. Mari kita lihat orang-orang di sekitar kita. Mari kita lihat apakah mereka telah cukup didengarkan. Mari kita lihat apakah mereka telah mendapatkan hak dari kita. Padahal suatu keberuntungan besar bagi para mahasiswa-mahasiswi psikologi. Mereka punya kesempatan mengenal dan mempelajari siapa sesungguhya manusia itu. Mereka seharusnya mampu berlari mengkuti perkembangan zaman yang seringkali tidak selaras dengan teori-teori psikologi abad duapuluh. Zaman terus berkembang, berlari sedemikian cepatnya, seperti layaknya perkembangan psikis manusia yang tidak statis, tidak selalu sama untuk generasi yang sama yang berbeda masa. Zaman selalu menghadirkan tuntutan-tuntutan baik itu realistis maupun idealis.
Dan, untuk apa jadi psikolog jika kita tidak berusaha mencapai tuntutan yang idealis realistis tersebut?
(Peringatan keras untuk diri sendiri!)
Ya, jadilah Psikolog, atau sarjana Psikologi. Jangan jadi Psikopat...
BalasHapusjadi, judul skripsimu apa Ret?
BalasHapusruang lingkupnya gak gini2 doank kan...
BalasHapusmasih ada yang terang2 dibanding yang gelap2 kayak gitu...
Weh, ketemu PKJ di sini...
BalasHapuskita ketemu dimanamana di rumah orang mas...
BalasHapusdari dulu di rumah akhwat kan.. haha
jadi, hari ahad saya bisa ngikut anak rohis ke walimahannya mbak fatimah kah?
O..itu rumah akhwat ya? *pura-pura ga tau*
BalasHapusOke... tar kumpul di tempat ana jam 9.30.
kalau yang punya rumah ini mau ikut juga ndak-papa... tar ngajak rika...
rika ki sapa mas?
BalasHapusTanggane retno..
BalasHapusholaaa...ngobrol di halaman rumah orang....
BalasHapusjelas enggak...tetapi kadang-kadang yg gelap-gelap justru nggak pernah diliat (karena nggak keliatan)
BalasHapusheuuu...doakan ya mas, he...
BalasHapushubungan antara....dan.....dengan....pada....(^_^)
BalasHapustitik terang...tetep nunggu di-acc
BalasHapus