Perjalanan yang melelahkan
Bayangkanlah di hadapan kita terhampar sebuah jalan yang mesti kita lewati untuk mencapai tujuan. Sepanjang kita memandang ke depan, tampak seolah-olah jalan tersebut tidak mempunyai ujung. Segalanya seperti cakrawala yang luas tak terbatas. Seperti langit yang tercipta sejauh pandangan maksimal manusia.
Lalu ketika kita mulai melangkah, ketika kita mulai menengok ke kanan dan kiri, ternyata ada dua buah belokan di samping kita. Kanan dan kiri. Kita berhenti, menatap dua belokan di samping kita.
Belokan di kiri, berupa jalan lurus yang sekali lagi tampak tak berujung dan berakhir. Batasnya hanya segaris khayal yang membuat jalan tersebut terputus pada pandangan kita. Sedangkan belokan di kanan, juga menghamparkan pemandangan yang terlihat begitu jauh, lurus, tak berbatas dan tak berujung.
Lalu kita kembali memandang kea rah depan dan melangkah lagi. Semakin kita melangkah, maka semakin banyak belokan yang kita jumpai di kanan dan kiri kita. Semakin banyak dan semakin banyak seolah-olah jalanan itu mempunyai beribu cabang. Kita tetap lurus, tidak pernah sekalipun berbelok.
Lalu kita merasa lelah, karena perjalanan itu mulai terasa sangat panjang. Kita sudah menempuh ribuan jarak, membekaskan beribu tapak di tanah yang telah kita lalui hingga angin menghapus tapak-tapak itu. Kaki-kaki kita mulai menimbun asam laktat, otot-otot kita mulai kaku, keringat kita meleleh-leleh, airmata kita mencair, gelap membungkus kita dengan kedinginan sementara siang memayungi kita dengan panas membara, bekal kita mulai habis, hati kita mulai meradang.
Kita telah lelah. Lalu kita berhenti berjalan, duduk di pinggir jalan dan berpikir banyak hal. Apa yang membuat perjalanan ini terasa begitu melelahkan ? Apakah karena kita mengabaikan nikmatnya semilir angin sepoi-sepoi yang menyejukkan ketika kita tengah kegerahan ? apakah kita terlalu berfokus pada jalan yang lurus menyengsarakan padahal ada ribuan belokan yang bisa kita lewati ? apakah kita telah salah jalan ? apakah kita tidak tahu bahwa ada jalan pintas ?
Lalu kita berdiri lagi, mulai berjalan sembari menguraikan hipotesis penyebab perjalanan yang terasa melelahkan ini.
Kita menikmati semilir angin yang bertiup, menghirup aromanya dalam-dalam. Ternyata kita masih tetap merasa lelah.
Kita mencoba berbelok, tapi ternyata jalan itu sama lurus dan jauhnya dan kita semakin tidak mengerti atas apa yang kita tempuh.
Kita mencari apakah kita telah salah jalan, ternyata tidak ada papan petunjuk sama sekali.
Kita mencari tahu adanya jalan pintas, tapi ternyata ribuan orang pun telah menempuh jalan yang sama dengan kita.
Kita berhenti lagi. Bingung. Tidak tahu harus berbuat apa.
Kita sudah lelah, sudah banyak hal yang dikorbankan, airmata dan keringat yang banyak tertumpah tetapi perjalanan kita semakin tak terbatas. Cakrawala seolah semakin menjauh ketika kita mendekat.
Kita berpikir lagi. Lama sekali hingga dua warna hari mengiringi pemberhentian kita. Gelap dan terang.
Sekali lagi, kita pandang jalan yang menghampar di hadapan kita.
Jalan itu lurus dan ujungnya berupa sebuah garis horizontal yang menunjukkan batas pandangan kita.
Kemudian, kita sadar sesadar-sadarnya, apa yang menyebabkan perjalanan ini terasa begitu melelahkan.
Sederhana saja, ternyata kita belum menetapkan tujuan perjalanan kita.
Solo, 12 Januari 2010, 00.54WIB (Insomnia berat)
Note: kita = aku, kamu, dia, kalian, mereka dan siapapun yang masih merasa manusia.
Lalu ketika kita mulai melangkah, ketika kita mulai menengok ke kanan dan kiri, ternyata ada dua buah belokan di samping kita. Kanan dan kiri. Kita berhenti, menatap dua belokan di samping kita.
Belokan di kiri, berupa jalan lurus yang sekali lagi tampak tak berujung dan berakhir. Batasnya hanya segaris khayal yang membuat jalan tersebut terputus pada pandangan kita. Sedangkan belokan di kanan, juga menghamparkan pemandangan yang terlihat begitu jauh, lurus, tak berbatas dan tak berujung.
Lalu kita kembali memandang kea rah depan dan melangkah lagi. Semakin kita melangkah, maka semakin banyak belokan yang kita jumpai di kanan dan kiri kita. Semakin banyak dan semakin banyak seolah-olah jalanan itu mempunyai beribu cabang. Kita tetap lurus, tidak pernah sekalipun berbelok.
Lalu kita merasa lelah, karena perjalanan itu mulai terasa sangat panjang. Kita sudah menempuh ribuan jarak, membekaskan beribu tapak di tanah yang telah kita lalui hingga angin menghapus tapak-tapak itu. Kaki-kaki kita mulai menimbun asam laktat, otot-otot kita mulai kaku, keringat kita meleleh-leleh, airmata kita mencair, gelap membungkus kita dengan kedinginan sementara siang memayungi kita dengan panas membara, bekal kita mulai habis, hati kita mulai meradang.
Kita telah lelah. Lalu kita berhenti berjalan, duduk di pinggir jalan dan berpikir banyak hal. Apa yang membuat perjalanan ini terasa begitu melelahkan ? Apakah karena kita mengabaikan nikmatnya semilir angin sepoi-sepoi yang menyejukkan ketika kita tengah kegerahan ? apakah kita terlalu berfokus pada jalan yang lurus menyengsarakan padahal ada ribuan belokan yang bisa kita lewati ? apakah kita telah salah jalan ? apakah kita tidak tahu bahwa ada jalan pintas ?
Lalu kita berdiri lagi, mulai berjalan sembari menguraikan hipotesis penyebab perjalanan yang terasa melelahkan ini.
Kita menikmati semilir angin yang bertiup, menghirup aromanya dalam-dalam. Ternyata kita masih tetap merasa lelah.
Kita mencoba berbelok, tapi ternyata jalan itu sama lurus dan jauhnya dan kita semakin tidak mengerti atas apa yang kita tempuh.
Kita mencari apakah kita telah salah jalan, ternyata tidak ada papan petunjuk sama sekali.
Kita mencari tahu adanya jalan pintas, tapi ternyata ribuan orang pun telah menempuh jalan yang sama dengan kita.
Kita berhenti lagi. Bingung. Tidak tahu harus berbuat apa.
Kita sudah lelah, sudah banyak hal yang dikorbankan, airmata dan keringat yang banyak tertumpah tetapi perjalanan kita semakin tak terbatas. Cakrawala seolah semakin menjauh ketika kita mendekat.
Kita berpikir lagi. Lama sekali hingga dua warna hari mengiringi pemberhentian kita. Gelap dan terang.
Sekali lagi, kita pandang jalan yang menghampar di hadapan kita.
Jalan itu lurus dan ujungnya berupa sebuah garis horizontal yang menunjukkan batas pandangan kita.
Kemudian, kita sadar sesadar-sadarnya, apa yang menyebabkan perjalanan ini terasa begitu melelahkan.
Sederhana saja, ternyata kita belum menetapkan tujuan perjalanan kita.
Solo, 12 Januari 2010, 00.54WIB (Insomnia berat)
Note: kita = aku, kamu, dia, kalian, mereka dan siapapun yang masih merasa manusia.
Curcol ya, mbak...
BalasHapusKadang bimbang juga, antara melanjutkan perjalanan atau berhenti sebentar. Kebanyakan, saya milih berhenti sebentar, melihat2 kiri kanan adakah yang menarik. Kalo ada, saya sibukkan diri dulu dengannya dan sejenak melupakan tujuan.
(ngmong opo to iki...)
yang penting kita punya tujuan kalo mau jalan-jalan, hehe...
BalasHapuskalo nggak nanti jadi mampir-mampir, beli ini itu, jadi beli bakso-soto-bros, padahal niatnya cuma mau beli koran...
(makin ngomong apa ni....hehe)
Bersyukur di setiap hirupan nafas, ikhlas menjalani hidup & pasrah terhadap hasil usaha yang kita kerjakan..
BalasHapusMembikin hari ini terasa lebih indah