Separuh Hal Yang Coba Diletakkan
1 januari 2010
Mendadak, bulan baru telah menghamparkan tanah kecoklatan yang basah tertimpa hujan. Dinginnya merasuk hingga ke kulit, membawa aroma rumput subur yang berbau wangi seperti embun murni. Mawar-mawar merekah seperti senyuman anak kecil yang begitu lepas tanpa beban.
Indah. Seharusnya indah.
Ya, pada kenyataannya justru banyak maaf lah yang harus kukatakan pada kalian. Kalian berdua. Maaf yang disertai ucapan terimakasih untuk semuanya dan selamanya, selama kalian masih mampu merasakannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah dalam diri kalian. Aku sendiri yang mempermasalahkan lukisan kalian. Aku mencoba menghapus lukisan kalian. Tetapi gagal. Aku mencoba menambahi lukisan kalian agar menjadi bentuk lain, tetapi gagal juga. Aku tahu dimana letak kesalahanku. Seharusnya bukan lukisan kalian yang diusik, tetapi pensil kalian yang harus kusembunyikan, dan kanvas kalian yang harus kurusak. Aku tidak ingin kalian melukis lagi. Benar-benar tidak ingin.
Kalian tahu aku membenci kegelapan. Kegelapan membuatku terjatuh tanpa tahu apa yang menjatuhkanku. Kegelapan membuatku menangis tanpa sebab. Kegelapan membuat segalanya hanya berwarna pekat.
Karena itu, aku benar-benar minta maaf jika aku tidak mampu menyadari banyak hal. Aku memang tidak mampu menyadarinya, bukan karena aku tak ingin, tapi karena aku tidak mampu melakukannya. Meskipun pintu itu telah terbuka lebar dan aku tinggal berlari masuk, tetapi aku tidak mampu melakukannya. Aku hanya mampu berdiri di luar bangunan kalian. Meskipun suatu saat mungkin salah satu dari kalian ataukah orang lain yang menarikku untuk masuk ke dalamnya, aku pun masih tak mengerti. Kuanggap semuanya mimpi. Bukan karena aku tak menghargai kalian. Justru karena aku menghargai kalian maka aku diam saja. Benar-benar diam.
Tapi mungkin aku bisa berjanji untuk melakukan satu hal. Tentu saja aku tidak akan benar-benar meninggalkan kalian kecuali kalian yang meminta aku melakukannya. Kecuali kalian sendiri yang melakukannya. Bahkan jika suatu saat kelak, ketika keadaan telah banyak berubah dan aku justru berdiam di bangunan yang kubangun sendiri, aku tetap akan melihat kalian dari balik jendelaku. Pandanganku akan tetap berusaha menjangkau kalian, sebisaku, semampuku, seizinku, karena bagiku, kalian pernah secara sederhana mengajariku bagaimana cinta tanpa pamrih itu.
Karena sesungguhnya cinta itu adalah mengikuti.
Karena itu, aku benar-benar berharap kalian mampu menjaga baik-baik diri kalian melebihi kalian pernah berusaha menjagaku. Aku benar-benar berharap kalian akan mengusahakan kebahagiaan itu, entah bersamaku, entah bersama orang lain, kita belum tahu itu. Dua hal itu saja, aku harap, benar-benar aku harapkan.
Tentu kalian sanggup melakukannya. Kita sanggup melakukannya. Karena sebelumnya kita pernah tertawa, menangis bersama, tersenyum dan merasakan hal-hal yang indah maupun menyakitkan.
Dan tentu saja, aku akan tetap baik-baik saja. Tidak ada yang berubah. Tetap sama. Pada akhirnya, kita pun akan sama-sama tahu bahwa akan ada masa untuk menjelaskan semua ini. Aku benar-benar memilih, lebih baik aku yang sakit hati, jika memang harus ada sakit hati. Meskipun kita tahu bahwa waktu adalah yang paling bijaksana untuk menjelaskan semuanya, mengurai kerumitan ini. Memecah lapisan es ini.
Aku bahkan tidak ingin memeluk kalian. Kalian terlalu memberontak untuk itu. Menyebalkan sekali. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?
(Carmia’s diary, 1 Januari 2010, pukul 19.42. dikutip utuh dengan seizin yang bersangkutan)
Mendadak, bulan baru telah menghamparkan tanah kecoklatan yang basah tertimpa hujan. Dinginnya merasuk hingga ke kulit, membawa aroma rumput subur yang berbau wangi seperti embun murni. Mawar-mawar merekah seperti senyuman anak kecil yang begitu lepas tanpa beban.
Indah. Seharusnya indah.
Ya, pada kenyataannya justru banyak maaf lah yang harus kukatakan pada kalian. Kalian berdua. Maaf yang disertai ucapan terimakasih untuk semuanya dan selamanya, selama kalian masih mampu merasakannya.
Sebenarnya, tidak ada masalah dalam diri kalian. Aku sendiri yang mempermasalahkan lukisan kalian. Aku mencoba menghapus lukisan kalian. Tetapi gagal. Aku mencoba menambahi lukisan kalian agar menjadi bentuk lain, tetapi gagal juga. Aku tahu dimana letak kesalahanku. Seharusnya bukan lukisan kalian yang diusik, tetapi pensil kalian yang harus kusembunyikan, dan kanvas kalian yang harus kurusak. Aku tidak ingin kalian melukis lagi. Benar-benar tidak ingin.
Kalian tahu aku membenci kegelapan. Kegelapan membuatku terjatuh tanpa tahu apa yang menjatuhkanku. Kegelapan membuatku menangis tanpa sebab. Kegelapan membuat segalanya hanya berwarna pekat.
Karena itu, aku benar-benar minta maaf jika aku tidak mampu menyadari banyak hal. Aku memang tidak mampu menyadarinya, bukan karena aku tak ingin, tapi karena aku tidak mampu melakukannya. Meskipun pintu itu telah terbuka lebar dan aku tinggal berlari masuk, tetapi aku tidak mampu melakukannya. Aku hanya mampu berdiri di luar bangunan kalian. Meskipun suatu saat mungkin salah satu dari kalian ataukah orang lain yang menarikku untuk masuk ke dalamnya, aku pun masih tak mengerti. Kuanggap semuanya mimpi. Bukan karena aku tak menghargai kalian. Justru karena aku menghargai kalian maka aku diam saja. Benar-benar diam.
Tapi mungkin aku bisa berjanji untuk melakukan satu hal. Tentu saja aku tidak akan benar-benar meninggalkan kalian kecuali kalian yang meminta aku melakukannya. Kecuali kalian sendiri yang melakukannya. Bahkan jika suatu saat kelak, ketika keadaan telah banyak berubah dan aku justru berdiam di bangunan yang kubangun sendiri, aku tetap akan melihat kalian dari balik jendelaku. Pandanganku akan tetap berusaha menjangkau kalian, sebisaku, semampuku, seizinku, karena bagiku, kalian pernah secara sederhana mengajariku bagaimana cinta tanpa pamrih itu.
Karena sesungguhnya cinta itu adalah mengikuti.
Karena itu, aku benar-benar berharap kalian mampu menjaga baik-baik diri kalian melebihi kalian pernah berusaha menjagaku. Aku benar-benar berharap kalian akan mengusahakan kebahagiaan itu, entah bersamaku, entah bersama orang lain, kita belum tahu itu. Dua hal itu saja, aku harap, benar-benar aku harapkan.
Tentu kalian sanggup melakukannya. Kita sanggup melakukannya. Karena sebelumnya kita pernah tertawa, menangis bersama, tersenyum dan merasakan hal-hal yang indah maupun menyakitkan.
Dan tentu saja, aku akan tetap baik-baik saja. Tidak ada yang berubah. Tetap sama. Pada akhirnya, kita pun akan sama-sama tahu bahwa akan ada masa untuk menjelaskan semua ini. Aku benar-benar memilih, lebih baik aku yang sakit hati, jika memang harus ada sakit hati. Meskipun kita tahu bahwa waktu adalah yang paling bijaksana untuk menjelaskan semuanya, mengurai kerumitan ini. Memecah lapisan es ini.
Aku bahkan tidak ingin memeluk kalian. Kalian terlalu memberontak untuk itu. Menyebalkan sekali. Kenapa aku baru menyadarinya sekarang?
(Carmia’s diary, 1 Januari 2010, pukul 19.42. dikutip utuh dengan seizin yang bersangkutan)
Komentar
Posting Komentar