Sepak-----Bola

Dulu, jaman dulu sekali, saya ingat pernah ditanya, mana yang akan saya pilih salah satu, apakah berada pada sebuah club malam sembari ajep-ajep ataukah berada pada sebuah pertandingan sepakbola dengan suporter yang rusuh. Saya ingat jawaban saya, bahwa saya memilih berada pada kerusuhan sepakbola. Kala itu otak saya masih berpikir bahwa berada dalam kerusuhan sepakbola terlihat lebih baik daripada harus ajep-ajep dengan resiko dicolak-colek apapun *ngueeeng-stop muntah*. 

Maksud saya, berlarian ke sana ke mari menyelamatkan diri terlihat lebih baik daripada harus paranoid memikirkan resiko ajep-ajep di dunia malam yang resikonya terlalu elegan menghampiri. Paham maksud saya? Aneh? Oke, abaikan saja.

Sekarang, saya tidak ingin memilih berada pada kerusuhan suporter sepakbola. Tidak juga memilih berada di club malam. Saya bukan suporter manapun, hanya pernah 3 kali menonton pertandingan sepakbola secara langsung di stadion_ 2 kali pertandingan antarklub dalam negeri, 1 kali pertandingan timnas_ dan itupun selalu mepetndusel ke pacar karena saya takut ilang di sana, apalagi dengan keparahan navigasi saya ketika semua tribun tampak sama -_-".

Saya juga bukan fans berat sepakbola. Kata pacar, saya jadi suka sepakbola sejak pacaran dengannya, tapi saya masih mengernyitkan dahi ketika menganggap bahwa saya seorang penggila bola. Saya tidak punya atribut bola apapun, tidak pernah beli meskipun itu sekedar syal timnas dan sudah ditawari dibelikan oleh pacar, tidak tahu nama-nama pemain sepakbola klub kabupaten tempat saya dilahirkan dan jangan coba-coba tanyakan tentang pemain bola luar negeri pada saya. Saya tahu (sekedar tahu) Christiano Ronaldo, Kaka, Casillas, karena katanya mereka ganteng *eh salahfokus.

Sedangkal itukah pemahaman saya tentang bagaimana seharusnya menjadi suporter sejati pecinta sepakbola? entahlah.

Kembali tentang sepakbola beserta segala tragedinya. Mulai dari dualisme kepemimpinan, kekisruhan liga, managemen internal beberapa klub yang kurang bagus serta keributan antar suporter. Dan akibat dari kekepoan saya terhadap beberapa fanspage suporter bola beberapa jam lalu, saya langsung berasa mual dan mumet. Lebay? Tidak. Saya mual dan mumet ketika melihat para suporter saling perang kata-kata di fanspage tersebut. Saling caci dan saling maki bukan atas nama pribadi. Yeah, orang memang bisa membela mati-matian terhadap sesuatu. Tetapi, tetap saja ada bagian yang saya tidak mengerti.

Bagian yang saya tidak mengerti adalah ketika ada yang mulai menertawakan penderitaan orang lain. Tertawa, berkomentar pedas, bahkan memaki ketika orang lain yang terluka. Hei, mana empatinya? Kenapa tertawa dan sempat memaki ketika ada yang terluka parah? Apakah loyalitas pada sesuatu membuat empati hilang? Saya pribadi, bukan suporter fanatik manapun, mual membaca itu semua. Sedih, bahkan kepingin mewek. Lebay? Tidak. Saya terlalu bingung untuk memahami itu semua *selo tenan hidup aye ya*.

Saya sungguh ingin tahu, apa yang ada di pikiran seseorang yang menertawakan penderitaan orang lain. Tidak mualkah melihat seseorang yang terluka berdarah-darah? Tidak sedihkah melihat diri sendiri yang aneh karena tertawa melihat orang lain terluka? Hei, ini baru sepakbola. Bukan aneka kudeta kekuasaan seperti yang terjadi di luar sana dan menimbulkan lebih banyak korban. Jika untuk urusan semacam itu saja sudah kehilangan empati, bagaimana untuk urusan lain yang lebih besar seperti misalnya eng......

Betapa sepakbola mempunyai daya luar biasa untuk mengubah dan mempengaruhi seseorang. Ajaibnya lagi, fanatisme sepakbola mampu mengobarkan semangat emosional. Lihat saja bagaimana isu-isu bertaburan, serta betapa mudahnya orang lain menjadi emosional menanggapi aneka berita yang belum dicek kebenarannya. Pemimpin dan orang pintar bisa kisruh karena sepakbola, pertandingan sepakbola pun bisa jadi ajang taruhan, suporter bisa baku hantam dan saling caci karena sepakbola, bahkan istri pun juga bisa ngomel-ngomel karena suaminya kebanyakan main football manager -_-" #ehh.

Bahkan karena sepakbola serta terlanjur sedih, saya bisa telpon pacar saya yang kemarin habis saya jewer. Pada waktu itu saya cuma pengen bilang, "saya gak mau nonton bola lagi di stadion. Saya ngeri dan agak trauma hanya karena dengar suporter saling caci dan rusuh. Saya ngeri melihat gambar-gambar berdarah yang dishare di jejaring sosial. Saya nggak ngerti kenapa mereka harus berkelahi dan saling caci. Saya nggak ngerti apa manfaatnya dari semua itu. Dan saya juga nggak ngerti kenapa saya jadi begini."

Rencananya sih bilang begitu. Tapi tampaknya pacar saya sudah bobo manis dan telpon saya nggak diangkat sehingga saya nggak jadi ngomel. Dan kini, entahlah, saya tidak tahu mana yang lebih baik, ikut nonton bola di stadion bareng pacar atau pacar pergi nonton bola tanpa saya dan saya kena serangan paranoid memikirkan keselamatannya. *ikiseriuslik*


Suporter sejati bukan berarti harus selalu berkorban (dan dikorbankan) sampai mati :-)

ah, tau apa saya tentang cara jadi suporter sejati...

Griya Margonda, 22.30.


Komentar

Postingan Populer