Solo dan Bontang menuju Malang


Sepekan yang lalu, Alhamdulillah, suami dapat dinas ke Surabaya yang artinya ada kesempatan untuk bertemu secara langsung. Dua hari sebelum kepulangan suami ke Jawa, kami membuat rencana mendadak untuk kopdaran di Malang saja. Jadi hari Sabtu hingga Senin pagi kami berencana berada di Malang dan Senin siang ke Surabaya hingga hari Jumat, sesuai jatah dinas suami.

Berhubung suami berangkat dari Bontang sabtu pagi, turun di Juanda dan pergi ke Malang via darat, maka saya melakukan perjalanan ke Malang sendirian pada Jumat malam dari Solo. Perjalanan malam saya pilih dengan pertimbangan bahwa tidak menghabiskan waktu yang sia-sia di jalan dan tentu saja lebih cepat. Tapi masalahnya, jeng-jeng jeng, kami belum mendapatkan hotel untuk menginap di Malang. Bahkan menjelang malam keberangkatan saya ke Malang, saya belum berhasil mendapatkan hotel untuk menginap. Musim liburan dan mendadaknya rencana liburan kami, membuat kebanyakan hotel sudah dibooking.

Maka, berbekal peta kota Malang, itinerary dan sedikit pengetahuan mengenai kota Malang, saya berangkat dengan bis Rosalia Indah melalui pool Solo pukul sepuluh malam. Sedikit grogi juga mengingat ini perjalanan pertama saya malam-malam menuju kota yang belum pernah saya singgahi sama sekali, tanpa kenalan di kota tersebut, belum mendapat kepastian tempat menginap serta saya tidak tahu tujuan saya setelah tiba di terminal Arjosari Malang mengingat suami baru tiba di sana sekitar tengah hari. Dan saya akan tiba lebih dulu sekitar pukul lima pagi.

Benar saja, setelah singgah untuk makan jam dua pagi di Caruban, tertidur dan bangun di daerah Mojokerto, tahu-tahu saja bus sudah memasuki daerah Lawang, berlanjut ke Singosari dan saya mulai mikir-mikir apa yang harus saya lakukan di kota ini. Eh belum selesai mikir, bus sudah masuk ke Terminal Arjosari sekitar pukul lima lebih seperempat pagi dengan udara pagi yang dingin.

Setelah mengambil barang, saya ikuti saja arus penumpang yang baru saja turun dari bus karena asli, saya buta dengan terminal ini dan berusaha sebaik mungkin untuk mengedarkan mata mencari petunjuk dan berusaha untuk tampil sok tanpa celingak celinguk. Maka, saya pun menemukan mushola terminal yang mungil sekali untuk menunaikan sholat subuh seraya berpikir apa yang harus saya lakukan. Selepas sholat, saya mencoba menelpon beberapa hotel dengan harapan sudah ada kamar kosong karena penghuninya check out. Tapi belum juga mendapatkan hotel dan kebanyakan meminta saya untuk menelpon lagi nanti siang.

Baiklah. Saya duduk diam selama beberapa saat di mushala terminal. Lalu menelpon suami yang masih berada di Bontang. Saya sempat bercakap dengan seorang mbak-mbak di mushola yang tadi malam satu bus dengan saya, nanya rute angkot di daerah Malang. Sayangnya, mbak tersebut sama nggak taunya dengan saya karena bukan asli Malang dan sedang menuju jemputan temannya. Tetapi saya ditunjukkan jalan keluar terminal dan tempat menunggu angkot biar nggak celingak celinguk dan kelihatan bukan arek Malang.

Kemudian menelpon hotel Helios, yang katanya hotelnya para backpacker yang sudah masuk ke Lonely Planet. Sayangnya belum ada kamar kosong, tetapi bapak penerima telpon berbaik hati memberitahu bahwa untuk menuju ke Alun-Alun Kota Malang menggunakan angkot berlabel AG atau Arjosari-Gadang. Meskipun di terminal Arjosari tidak tampak banyak calo ataupun orang-orang yang mengerubuti untuk menanyakan tujuan, saya pikir, tidak baik juga kalau saya terus berdiam diri di terminal saja hingga suami datang nanti siang.

Maka, pergilah saya ke alun-alun kota Malang naik angkot dengan menenteng ransel dan tas jinjing besar. Ibu-ibu yang satu angkot dengan saya memberi tahu bahwa saya harus siap-siap turun setelah gereja besar. Maka, turunlah saya di alun-alun kota Malang. Memandangi suasana sekitar dan langsung melihat masjid Jamii, Sarinah, pos polisi, gereja, hotel Riche, merpati-merpati di beterbangan di sekitar alun-alun, penjual buku bekas, orang-orang yang sedang olahraga atau sekedar jalan-jalan pagi daaaannn seorang perempuan dengan rok mini dengan dandanan tebal yang sedang merokok. Pemandangan terakhir inilah yang membuat saya tiba-tiba tidak nyaman duduk sendirian di alun-alun yang cukup banyak orangnya.

Saya mencoba mengabaikannya dengan duduk menjauh, membaca buku, melihat merpati dan suasana sekeliling. Tak berapa lama, muncul dua orang lelaki, memakai jaket kulit, tampak bicara dengan perempuan tadi dan kedua lelaki itu memandangi saya. Yaahhh, saya mulai merasa tidak nyaman dan merasa sepertinya mereka akan mengajak bicara saya. Betul saja, kedua lelaki itu mendekati saya, yang satu mengajak saya bicara sementara yang satunya lagi berkeliling mengitari tempat saya duduk. Apa coba? Saya langsung angkat-angkat tas jinjing, risih juga ketika lelaki tersebut bertanya-tanya tentang saya, darimana asal saya, ke Malang mau ngapain, kuliah dimana, saya dijemput cowok atau cewek,saya ke Malang naik apa. Dan yang bikin saya geregetan, itu mas mas malah ngomong, 'masak naik bis ke Malang 80 ribu Mbak? Kemahalan itu. saya dulu aja nggak segitu."

Hahaha. Saya gemas-gemas sendiri. Belum lagi pertanyaan, "Tapi temannya udah bisa dihubungi kan mbak? kan kasian kalo ternyata nomernya nggak aktif."

Glek. Saya yang sudah merasa tidak nyaman, memutuskan untuk pindah tempat dari alun-alun ke pos polisi. Hihi. Di sudut alun-alun ada pos polisi besar dan saya memutuskan untuk beranjak ke sana. Maka dengan wajah kuyu layu ngantuk lapar gelisah dan setengah takut, saya masuk ke pos polisi, disambut segerombolan bapak polisi yang sedang piket pagi. Dan saya minta izin untuk numpang menunggu di pos polisi tersebut hingga suami saya tiba. Saya kira lebih aman menunggu di situ. Apalagi para bapak polisi tersebut sangat ramah, ngajak ngobrol, bahkan saya dsuguhi teh hangat dan gorengan. Hedehhhh.

Bapak bapak polisi juga rada kaget ketika tahu bahwa saya belum mendapatkan hotel hingga saat ini. Kenekadan macam apa pula itu. Entahlah. Saya dan suami sendiri pun percaya bahwa kami tetap punya pilihan lain seandainya tetap tidak mendapatkan tempat menginap di Malang.

Satu jam setelah saya menunggu di pos polisi, kira-kira pukul sepuluh kurang, suami baru tiba di Surabaya dan memulai perjalanan darat ke Malang. Maka, saya pun mulai jumpalitan sendiri di kantor polisi, melihat aktivitas pak polisi pengatur lalu lintas yang datang dan pergi. Saya bahkan diizinkan memakai kamar mandi pos polisi tersebut, diajak ngobrol terus, dipinjami koran, hingga kemudian, saya mulai mati gaya. Mulai capek ngelamun dan ngantuk karena perjalanan semalaman di bus. Pak polisi pun menyilahkan saya untuk jalan-jalan ke sekitar alun-alun biar nggak bosan nunggu dan memperbolehkan saya menitipkan tas jinjing. Maka, keluarlah saya dari pos polisi, berjalan begitu saja ke Sarinah di depan pos polisi. Saya kira Sarinah itu mal, ternyata toko busana yang menjual banyak sekali batik. Saya ngikik sendiri. Keluar lagi, nyebrang jalan ke Gramedia, ngliat-ngliat buku, keluar lagi, ngeliat Toko Oen yang katanya merupakan bangunan tertua yang terkenal akan suasana tempo dulunya, lalu jalan lagi ke Hotel Riche di sebelah Gramedia. Iseng aja nanyain apakah ada kamar kosong meskipun saya tahu bahwa Riche sudah full booked. Kemudian naik ke jembatan penyeberangan, jepret-jepret kawasan sekitar. Lalu nyebrang lagi ke Sarinah, makan di dekat sana.

Selesai makan, saya jalan lagi menyeberang ke sisi lain alun-alun kota. Ehh, saya ketemu lagi dengan mas-mas yang tadi nanya-nanya ke saya. Dia melambai-lambaikan tangan, saya kabur lagi ke pos polisi, memutuskan nggak akan keluar-keluar lagi sebelum suami saya tiba.

Waktu pun berlalu. Sekitar pukul dua belas siang ketika suami mengabarkan bahwa sudah sampai di Lawang. Saya sudah girang-girang sendiri hingga suami bilang kalau daerah Lawang-Singosari macet. Pak Polisi juga membenarkan hal tersebut, pantauan lalu lintas mengabarkan bahwa terjadi kemacetan di daerah sana. Apalagi ini hari Sabtu.

Kami pun sempat akan mengubah rencana. Ada ajakan ke Gunung Bromo. Wah, saya yang udah ngimpi-ngimpi ke sana, langsung kepengen mengiyakan hingga kemudian saya menyadari bahwa kami tidak ada persiapan untuk ke Bromo. Baik itu sekedar baju hangat berlebih, persiapan fisik maupun rencana perjalanan. Rencana perjalanan itu jelas penting, karena ada beberapa jalur menuju Bromo dan saya hanya tahu sedikit jalur Probolinggo. Belum lagi perjalanan ke CemoroLawang butuh perencanaan yang tepat, baik itu soal waktu, biaya dan lain sebagainya. Juga persiapan melihat sunrise yang harus dilakukan sejak jam dua pagi. 

Maka, kami pun memutuskan untuk tetap mencari hotel dulu di Malang meskipun kami belum juga mendapatkan hotel hingga jam satu siang. Penampakan saya mungkin sudah begitu kusut, sudah jumpalitan ke sana kemari hingga duduk diam di pos polisi hingga pak polisi mulai tampak kasihan melihat saya dan terus membesarkan hati saya bahwa jalanan memang sedang macet dan mereka tidak keberatan saya menunggu lama di situ. Aksi ngelongok longok jalan pun mulai saya lakukan. Ngeliatin mobil elf, avanza, xenia atau apapun yang kira-kira serupa dengan mobil travel. Hingga pukul dua siang, suami saya belum juga muncul.

'Jangan-jangan nyasar,Mbak? Udah bilang kan kalau pos polisi Sarinah?"
Saya cuma angguk-angguk. Apa daya. Mungkin memang begitulah kekuatan kemacetan. Karena tadi pagi ketika masih di Rosalia Indah, Lawang-Malang bisa dicapai dalam waktu kurang dari limabelas menit. 

Akhirnya, bagaikan menunggu hujan di musim kemarau, suami saya muncul juga. Tetap cakep seperti biasa . Saya sampai spicles, campuran antara kangen, jengkel, capek, dan gembira ria. Suami saya menyalami pak polisi dan bilang mau menjemput isterinya, terimakasih buat bapak-bapak polisi yang sudah mengizinkan saya menunggu di sana. Kami jalan menyusuri alun-alun dan saya menelpon hotel lagi. Eh dapet hotel sesuai dengan budget, meskipun resepsionis hotel hanya memberikan jangka waktu setengah jam bagi kami untuk tiba di sana. Resiko booking via telpon tanpa bayar DP.

Kami mulai sok-sokan membaca peta kota Malang untuk mencari hotel Aloha yang katanya dekat dengan alun-alun dan TUgu Malang. Membolak-balik peta, miring ke kanan kiri, gambling menentukan arah dan mulai berjalan lagi. Akibatnya, kami nyasar. Akhirnya, kami menyerah dan memilih meminta pak becak untuk mengantarkan kami ke hotel yang dimaksud.

Alhamdulillah. Kami tidak jadi melakukan plan B, C atau D jika tidak mendapatkan hotel .

Surabaya, 12 Juli 2012

Komentar

  1. Semangka!
    Smga dimudahkan, mbak

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah, semua dimudahkan Dek, mulai dari Solo-Malang-Surabaya-Suramadu-Jogja

    Tinggal mengabadikan jejaknya :-)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer