Edisi Mikir Ngalor Ngidul



Saya ingat sekali kala itu, selepas agenda pekanan dengan jajanan di tangan kami masing-masing. Saling bercerita, hingga terlontarlah sebagian kondisi saya yang sebenarnya. Mungkin nada kelelahan tersirat dalam kata-kata saya, atau mungkin nada mengeluh, atau apapun itu. Yang jelas, saya begitu takjub ketika tiba-tiba saja, engkau berkata, "Subhanallah, pahalanya besar sekali, Retno..."

Saya tertegun seketika, menatapmu yang mengatakan dengan penuh ketulusan. Astaga, sesederhana itu, kenapa saya tidak memikirkan tentang hal tersebut? Tentang limpahan keberkahan atas kebaikan-kebaikan yang bisa kita lakukan. Tentang pahalanya, tentang catatan kebaikan hal-hal tersebut, tentang pembelajaran mengenai kesabaran...

Saya juga masih ingat kala itu, ketika agenda pekanan kita berubah jadwal. Pukul setengah tujuh pagi, di hari yang menyenangkan untuk berkumpul dengan keluarga. Saya sering mengantuk pada jam segitu, sering gedubrakan, lari naik turun tangga untuk persiapan, nyari kaos kaki, nyiapin kertas, bahkan seringkali melakukan persiapan hafalan kilat pada detik-detik sebelum dijemput, komat kamit di jalan dan cengengesan sambil meringis-ringis ketika sampai di tempat tujuan. Tetapi engkau, yang rumahnya berjarak puluhan kilometer, bahkan lebih jauh dari saya, terpisah secara administrasi kota, bersedia menembus dinginnya udara pagi untuk menghadiri majelis pekanan pada jam setengah tujuh pagi. Bahkan, seringkali engkau harus bangun lebih awal, memasak jam 3 pagi demi tanggungjawabmu untuk meninggalkan sarapan bagi keluargamu sebelum engkau berangkat.

Saya juga tertegun kala itu. Takjub. 

Saya masih ingat, selepas agenda pekanan, ketika kita menyusuri jalanan menuju ke sebuah tempat. Ketika cerita-cerita kembali terlontar. Tentang proses diri yang menakjubkan. Sekali lagi saya kagum ketika cerita tentang kegersangan diri terlontar. Tentang kesadaran sederhana akan kebutuhan pemenuhan jiwa yang gersang. Butuh ruh. Berkumpul. Ngaji. Didoakan malaikat.

Engkau sudah mulai melingkar sejak semester dua, dan baru mengenakan jilbab pada semester tujuh. Selama itu pula, engkau melingkar dengan apa adanya dirimu, tanpa penutup kepala ketika tengah mencari ilmu bersama teman-teman yang lain.

"Bisakah engkau bayangkan, Ret, ketika teman-teman dan kakak tersebut berjilbab lebar dan ketika kami melingkar di alam terbuka, betapa kontrasnya diriku yang tampak berbeda sendiri?"

Saya sampai kehilangan kata. 

Takjub dengan kemampuannya untuk bertahan selama itu. Takjub dengan penerimaan kakak dan saudari-saudari selingkarannya yang tidak nyinyir dengan keadaannya. Kesabaran dan penerimaan itulah yang kemudian menguatkan, membuat bertahan. Bukankah tidak banyak orang-orang yang mampu seperti itu? Mampu kuat bertahan dalam sebuah ketidaksamaan, mampu tulus menerima tanpa  buru-buru menilai ini itu iti inu.

Kali ini, saya harus mengakui bahwa tidak mudah untuk menilai kualitas diri seseorang hanya berdasarkan pada sepotong informasi atau apa yang tampak semata. Butuh kemauan dari dalam diri untuk menyelami semakin dalam, mengenal semakin jauh dan kemudian mempelajari nilai-nilai yang ada di sana. Semuanya akan tampak sederhana ketika tengah begitu. Sederhana saja. Sangat sederhana. 

Padahal, saya pun begitu sering mengeluhkan hal-hal aneh, meributkan sesuatu yang tidak begitu penting, memperdebatkan pengetahuan, berkomentar ini itu, meributkan merica, gula, tempe goreng keasinan, kucing yang takut tikus dan segenap kejadian lain yang membuat pikiran saya seperti gua yang bercabang-cabang. Oh, betapa tidak sederhananya saya ini. Betapa makna kebahagiaan pun terkadang begitu sederhana. Sarananya juga sederhana. Hanya saja, kita sering mempersulit jalannya.

Bukankah semua kebaikan, adalah sedekah?


Solo, 4 Maret 2012



*tulisannya serius, judulnya nyleneh



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer