Tanpa Listrik



Siang membara di atas kota Surakarta. Tidak mengherankan, hawa kota ini memang cukup ekstrim, lumayanlah untuk membuat kulit menjadi coklat eksotis jika memang menginginkannya. Tetapi saya sendiri tidak merekomendasikannya karena Indonesia masih punya banyak pantai untuk itu dan udara kota ini sedikit merepotkan untuk masalah adaptasi. Bisa jadi delapan jam diguyur panas menyengat dan jam-jam selanjutnya hujan jatuh meleceti tanah. Tapi sudahlah, jangan meributkan udara Solo, asalkan matahari masih bersinar, hujan masih menyapa dan udara masih mengandung oksigen, segalanya bisa dibuat menyenangkan.

Karena itu, saya dan Bella, teman seperjalanan saya yang notebene adalah teman satu sekolah dasar, tetangga dusun sekaligus teman sekelas saya kala kuliah, berdiri di halte bis Tirtimoyo. Ngapain berdiri di sana? Ngeliatin bis-bis lewat?

Yap. Betul. Kami duduk berdiri, duduk berdiri seraya melihat-lihat bis-bis yang lalu lalang di hadapan kami. Hanya melihat-lihat saja karena sejak setengah jam yang lalu sudah enam bis jurusan Surabaya Jogja yang lewat di hadapan kami tanpa mau berhenti. Detik telah berganti detik, menit berganti menit, dan panas pun berganti hujan yang semakin lama semakin menderas hingga kami para calon penumpang, berdesakan di halte macam pindang ikan.

Akhirnya, dari kejauhan tampaklah bis Patas jurusan Surabaya-Magelang. Sudah lelah mondar-mandir menunggu dengan bawaan yang membuat bahu terbungkuk-bungkuk, akhirnya kami berdua memutuskan untuk naik bis tersebut. Tarifnya dua kali lipat dari bis biasa. Dan seingat saya pula, sejak saya hobi mondar-mandir Jogja Solo selama lebih dari empat tahun ini, saya baru sekali naik bis Patas jurusan Surabaya-Magelang. Dua kali dengan hari ini.

Bisnya memang nyaman. Hehe. Lebih lapang dari bis biasanya. Hujan masih mengguyur di luar sana.

Kami berdua bicara asyik. Ngobrolin tetangga, para ibu-ibu heboh hingga pilem drama Korea (Hyaaaa...-_-"). Lalu masing-masing capek ngomong dan diam. Menikmati perjalanan dengan sebelah headset yang menempel di satu kuping masing-masing. Ngedengerin lagunya Mus Mujiono dari hape. Saya nggak tahu Mus Mujiono itu siapaa....-_-". Apakah saya termasuk ketinggalan zaman?

Lalu, kami mulai memperhatikan keadaan sekitar. Sopir dan kondektur sedang ngobrol. Lalu obrolan beralih kepada seorang perempuan muda yang sedang menggendong putranya, yang kira-kira sepuluh menit lagi akan turun di tempat tujuan.

Kondektur bertanya ramah, ibu dari mana.

Ibu muda tersebut menjawab, kalau baru saja melakukan perjalanan darat selama sehari semalam dari daerah NTT di wilayah perbatasan NTT dan Timor Leste, dilanjutkan dengan perjalanan udara selama dua jam dari Kupang menuju Surabaya. Dari Surabaya, memakai jalur darat menuju ke Klaten. Sendirian, dengan membawa seorang balita.

Sopir dan kondektur rada usil bertanya-tanya ini itu. Ibu muda tersebut menjawab kalau beliau asli Klaten, dan bersuamikan orang NTT yang dulu kuliah di Jogja. setelah menikah, mereka berdua tinggal di NTT.

"Wahhh, berarti tetangganya Raul Lemos dong Bu?"
"Raul Lemos kan Timor Leste? Udah pernah ke rumahnya belum bu? kan di perbatasan?"
"Demi memperbaiki keturunan ya Bu?" (Teplaaaaaakksss)

Jangankan sang ibu muda, saya dan Bella aja bengong mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut. Kami bengong karena pertanyaan-pertanyaan polos mereka sedangkan Ibu muda tersebut bengong dengan caranya sendiri.

Lalu sang Ibu muda tersebut berkata pelan, "Di desa tempat saya tinggal, belum ada listrik Pak."

Ngiiiiiiiiiiing. Senyap seketika.

Kondektur dengan polosnya bertanya lagi, "Jadi ndak tahu Raul Lemos itu siapa Bu? Itu calon suaminya KD lho Bu. Jangan-jangan  belum tahu juga kalau KD dan Anang udah bercerai? Sekarang KD udah mau nikah lagi sama Raul Lemos."

-_-"
-_-"
-_-"
(Saya rada berprasangka, jangan-jangan selama ini TV LCD di dalam bis didominasi acara gosip selama dalam perjalanan Surabaya-magelang)

Sang kondektur dengan polosnya lagi bertanya, "Jadi, ndak tau juga kalau ada gempa dan tsunami di Jepang?"

(Sebelumnya Bella bercerita, "Rekkk, kemarin kan aku cerita ke Yu Min kalo  ada gempa dan tsunami di Jepang. Eh, sehari setelah itu, Yu Min gantian cerita ke aku dengan berapi-api, "Mbak Bella, yang di Jepang itu bukan tsunami, tapi banjir bandang sepuluh meter.")

Lalu ibu muda tersebut bercerita kalau jalanan dari desa ke Kupang sangat berantakan, belum beraspal, melewati hutan dan diperlukan waktu sehari semalam, katanya mirip-mirip jarak dari Jogja ke Jakarta. Dan hanya ada satu bis yang berani melakukan trayek ke desa tersebut. Belum ada listrik di sana, penerangan dengan lampu teplok. Belum ada listrik. Belum ada listrik. Ya Robbi...

Setidaknya, ada kemauan yang tergambar dari ibu muda tersebut. Bersedia mengikuti suami ke daerah tanpa listrik setelah sebelumnya berada di daerah yang terang benderang. Tidak ada listrik, otomatis tidak ada peralatan yang menggunakan daya listrik pula. Tidak ada listrik. Tidak ada listrik. Tidak ada listrik.

ketika ibu muda tersebut turun, sang kondektur masih sempat nyelutuk polos, " Bu, hati-hati ya. Istirahat dulu, beli-beli roti dulu, di sana kan ndak ada roti."

Eihh, prihatin bener ni bapak-bapak. Masih mending ibu muda tersebut daripada saya. Saya sering makan roti, hidup di dunia terang benderang, bisa menggunakan banyak fasilitas komunikasi, bisa internetan, bisa nanak nasi dengan magic com, bisa ngeliat berita di Libya dan radiasi nuklir di Jepang, bisa nyacah wortel pake blender, bisa menikmati jalan beraspal meskipun belum punya NPWP, bisa telpon-telponan tapi saya belum pernah naik pesawat kecuali pesawat parkir di museum dirgantara semasa saya masih TK.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

Komentar

Postingan Populer