Mbak, sholat yuk...



Mbak, sholat yuk...

Kala itu, matahari menggantung cerah keemasan menebarkan cahaya yang menyilaukan mata tetapi tetap tidak mampu mewartakan kondisi tanah abu di atas sana yang masih sibuk berkorelasi dengan perut bumi. Sepanjang jalan yang masih mendesingkan perihnya silika yang tertabrak dalam kecepatan tinggi, tampak romansa nelangsa yang dahulu belum pernah didongengkan oleh para orangtua kita.

Di sana ribuan orang menggenapi hari-hari secara bersama-sama dalam satu tempat, satu menu makan, satu sanitasi dan satu ketakutan. Wajah-wajah dengan tatapan kosong, mata-mata ketakutan, kecemasan, kegelisahan serta bibir yang mengurai senyum lambat-lambat. Tebaran pakaian yang terus berderet sepanjang mata memandang, antrian tempat menyelesaikan hajat serta ibu-ibu yang membersihkan diri dalam ruang terbuka memberikan pemahaman bahwa mereka punya luka, derita serta keterpaksaan yang dipaksa. Anak-anak yang dominan terkena influenza, menyedot ingus yang berleleran, mengusapnya dengan tangan-tangan mungil mereka yang kasar karena keadaan, keringat meleleh-leleh, mandi ketika matahari telah tinggi serta memasukkan apa saja yang mereka inginkan dan temui ke dalam mulut mereka.

Meskipun mulut-mulut mungil mereka berujar: "Mbak, saya nggak punya rumah lagi", "Mbak, ngeri deh liat abunya", "Sekolahnya udah rusak kok Mbak" serta sesekali tatapan kosong mereka, wajah yang tiba-tiba terdiam atau agresifitas yang meningkat secara mendadak, Menampar pipi volunteer, memeluk leher para volunteer, bicara kasar, menginjak kaki, ngamuk karena kehilangan sandal dan tak kebagian jelly, saling tarik baju dan rambut.

Tetapi, merekalah makhluk yang paling tulus tersenyum dan tertawa. Kehidupan memang sebuah ironi. Mereka tetap mampu tertawa, tersenyum secara tulus dalam suasana apapun. Ketika gigi-gigi mereka tersembul utuh dalam tawa kegembiraan serta mata mereka yang menyipit cepat saat sedikit saja ada orang yang membagi sedikit kebahagiaan kepada mereka meski hanya sekedar membagi sebutir permen asam, jelly, mengajak menyanyi, menggambarkan beberapa biji stroberry dan lainnya. Mereka mengucapkan terimakasih secara sederhana dalam senyum, tawa serta sinar mata mereka.

Sementara di sudut lain, para orangtua mereka memikirkan hari esok setelah ini, ternak yang tidak diurusi, depresi, kecemasan-kecemasan yang tak terjangkau otak lugu mereka, sibuk mencuci, sibuk meributkan bantuan, meributkan sehelai benang jemuran atau larut dalam kelelahan berpikir. Kakak-kakak mereka bergerombol dengan gaya ala pubertas, merokok bersama, sibuk merapikan dandanan seraya mencari kenalan atau mengawasi adik-adik mereka. Dan mereka,pemilik kepala-kepala mungil itu adalah dunia yang nyaris tak tersentuh romantika-romantika sebelum waktunya.

Adzan dhuhur baru bergema, belum selesai ketika tangan-tangan mereka menyentuh tangan gadis ini dan dengan mata bercahaya mereka bicara.

"Mbak, sholat yukkk..."

Subhanallah. Bahkan mereka belum akil baligh, belum tahu jumlah rakaat yang harus dilaksanakan dan hanya bergerak mengikuti gerakan ini dengan mata melirik-lirik untuk menanti momentum yang tepat untuk bangkit dari rukuk ataupun sujud serta orangtua mereka yang tidak berada di sisi mereka untuk mengajarkan doa mohon ampun untuk kedua orangtua. Dan mereka berada dalam situasi bencana. Tetapi mereka bergerak tenang, nyaris tanpa suara bahkan ketika tangan gadis ini menggaruk dahi yang mendadak gatal selepas sholat, keempat bocah itu serentak mengikuti. Keempat-empatnya menggaruk dahi mereka masing-masing seolah-olah menggaruk dahi adalah rukun selepas sholat.

Gadis ini berhenti menggaruk dahi dan menatap mereka sementara mereka pun juga berhenti menggaruk dahi. gadis itu menurunkan tangannya, terdiam selama beberapa saat. Mereka ikut terdiam dan baru mengikuti melepas mukena ketika gadis ini bergerak melepas mukena.

Di waktu adzan Asar belum selesai bergema pun, suara mereka masih sama.
Mbak, sholat yuk...


Posko 3,
8 November.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer