Balada Krincingan
Akhir-akhir ini dangdut banget deh. Alias jedak jeduk begitu. Saya menuliskan postingan ini sebelum mandi sore. Penting nggak penting, yang jelas saya rada pegel dengerin orang ngomong. Maka untuk mengimbangi kepegelan itu, marilah kita menulis, meskipun hanya menuliskan balada krincingan. Bosen kali meratap karena kangen melulu, padahal aslinya juga tetep kangen, nangis-nangis ampe dehidrasi. Oke, kalimat terakhir memang berlebihan. Saya sadar sepenuhnya ketika menuliskan itu.
Oh ya, kadang-kadang saya orangnya keras kepala dan ngotot, meskipun kadang juga ngalah. Kata suami sih, saya tandingan beliau dalam hal ngeyel dan debat. Yee. Yang sabar ya mas ganteng :-*
Jadi begini, saya termasuk yang sering bawa krincingan alias recehan kemana-mana karena dompet yang saya pakai masih dompet model dua tekukan dengan ritseliting yang cukup muat untuk menampung recehan. Jadi kalau dompet saya tampak sangat gendut, percayalah itu karena andil recehan di dalamnya. Membawa-bawa recehan memang sangat bermanfaat, bisa untuk nyawer pengamen, kurik-kurik pohon atau tukar menukar rupiah dengan penjual makanan.
Berbicara tentang tukar menukar rupiah dengan penjual makanan, alkisah ada penjual makanan dekat kost yang hobi sekali menggenapi perbelanjaan dengan sebiji gorengan atau seplastik rambak. Jadi misalnya jajanan kita totalnya 4500, sama penjualnya digenapin satu gorengan atau satu rambak jadi total 5000. Sering banget seperti itu. Awalnya sih oke-oke saja, tapi lama kelamaan aduh kok sepertinya mulai nggak sehat juga ya kalau kebanyakan makan gorengan atau rambak. Eh maksudnya jualbeli model seperti itu mulai nggak sehat juga. Kesannya jadi remeh banget uang 500 perak, kita jadi nurut banget sama apa mau penjual padahal kan kita juga tidak harus makan gorengan atau rambak.
Berhubung saya mulai nggak suka dengan perilaku genap menggenapi tersebut, saya mulai sering minta kembalian aja 500 perak. Eh kok ndilalah seringnya penjual beralasan, nggak ada uang receh 500 perak. Karena terlalu sering begitu,maka saya tawarkan uang 500 perak dari saya dan penjual mengembalikan seribu kepada saya. Gak mau kalah ceritanya. Pelitkah saya karena meributkan uang 500 perak? Ahh, mungkin iya. Maksudnya, saya hanya tidak suka saja didikte penjual seperti itu. Sekali dua kali oke-oke saja, tapi kalau sudah berkali-kali saya mulai merasa kebebasan saya dalam menentukan budget makan mulai terenggut. Halaahh.
Kemudian suatu hari, saya membeli makanan di situ lagi dengan diawali rasa lapar nan pusing dan kalut. Lupa waktu itu lagi mikirin apa, yang jelas mood sedang jelek, panas dan jalan terseok-seok ke sana. Total belanjaan 4500 dan karena saya sudah beli EMPAT buah gorengan, penjualnya menawarkan rambak untuk menggenapi jadi 5000 rupiah.
"Yang limaratus rambak ya neng?"
Saya menggeleng dan sok tegas. "Enggak bu, kembalian saja."
Penjual nggak mau kalah. "Nggak ada limaratusan Neng."
Saya makin nggak mau kalah. "Saya punya limaratusan bu."
Kata bu penjual, "Nggak ada seribuan Neng."
Saya (masih ngotot). "Adanya apa?"
"Dua ribuan."
"Oh, saya ada seribu limaratus,"kata saya sambil nyari-nyari duit di dompet.
Waktu itu ketemu dua limaratusan dan ketika saya longok ke dalam, ada selembar seribuan. Maka saya serahkan satu buah limaratusan dan selembar seribuan kepada bu penjual dan beliau mengembalikan uang dua ribu kepada saya.
Saya pikir, saya sudah memenangkan pertarungan limaratus perak itu, ketika saya akan memasukkan uang 2000 dan koin 500 tadi, eh tiba-tiba dengan noraknya, koin 500 yang saya pegang meluncur ke bawah meja dagangan.
Cilukba.
Koin tersebut menghilang dari pandangan saya. Saya bengong. Memperjuangkan mengambil koin 500 yang jatuh tersebut sama artinya dengan harus membalik meja dagangan bu penjual tersebut. Jelas itu tidak mungkin saya lakukan. Kemudian, berhubung bu penjual tidak tahu dengan recehan saya yang menghilang di balik meja dagangannya, saya tetap move on pulang ke kost seolah-olah saya tetap memenangkan pertarungan 500 perak tersebut. Padahal, duit saya 500 perak menghilang dan saya nggak dapat rambak T.T.
Hahaha.
Kapan-kapan saya memang kudu pake feeling dan intuisi yang tepat untuk mempertahankan 500 rupiah di waktu yang tepat.
Komentar
Posting Komentar