Ketidaksadaran
Sekali lagi, ketidaksadaran itu seperti angin yang dihembuskan langit kepada bumi dengan aroma hujan. Mengetahui ketidaksadaran tersebut, namun mengabaikannya. Atas nama ketidakmampuan untuk menyadari dan berjuang untuk menyadari tujuan-tujuan yang terbentuk dari tujuan-tujuan yang ada.
Seperti sebelum-sebelumnya, seperti kilasan angin yang datang dan pergi, aku tidak pernah mengerti apa maksud dan tujuanmu. Dirimu adalah sesuatu yang terkadang terlalu rumit untuk diprediksi namun terkadang begitu transparan seperti sebuah buku pelajaran yang terbuka. Aku memahaminya dalam sebuah ruang bernama kepercayaan, bahwa apapun yang kamu lakukan memang atas nama apa yang telah kupercayakan kepadamu. Terlebih ketika dirimu sedang rumit dimengerti dan otakku tidak mampu menjangkaumu sebagaimana kerasnya aku berusaha hingga terluka, maka saat itulah aku hanya mampu memberikan lebih banyak lagi ruang kepercayaanku kepadamu.
Bukan karena kamu tidak bisa dipercaya. Bukan pula karena dirimu adalah sesuatu yang kerap berkhianat atau berbohong atau mengingkari janji. Tetapi mempercayaimu dan mempercayakan sesuatu kepadamu adalah sebuah pertaruhan paling besar yang pernah aku lakukan. Meletakkan tanganku di bahumu, mengangguk kepadamu, mengatakan "ya silahkan" kepadamu, memberi izin kepadamu untuk masuk ke sebuah dunia yang seringkali tidak kubagi dengan yang lain, bahkan memaafkanmu adalah sebuah pertaruhan. Pertaruhan karena beragam orang meragukannya. Tentu aku tak izinkan mereka masuk ke dalam duniamu, karena mungkin itu bukan hak mereka selama mereka tidak pernah mau meletakkan dasar kepercayaan di langkah pertama pijakan kaki mereka ketika mereka setuju untuk masuk ke dalam duniamu.
Sekarang, setelah sekian waktu berlalu, aku terdiam memikirkannya. Memikirkan apa yang sesungguhnya kamu cari dan kamu inginkan dariku. Mungkin persahabatan. Mungkin cinta. Mungkin kimia jiwa. Mungkin kenyamanan. Mungkin keprcayaan pula. Mungkin sebuah kebahagiaan yang panjang. Mungkin pula sebuah interaksi dengan komitmen yang kuat. Sesungguhnya aku belum mengerti. Ada sebuah pola rumit yang menyeberang dari suatu sisi ke sisi yang lain. Ada sebuah pertentangan dari dua hal yang tampak. Dan bagaimana pula kamu bisa menjanjikan kepadaku sebuah kesungguhan yang membuatku tidak mampu mengerti hingga sekarang ini. Apa lagi yang kamu cari dariku?
Karena kamu tidak meletakkan dasar keputusan untuk berinteraksi seperti sebelum-sebelumnya. Kamu tidak memakai standar tersebut untuk menghadapiku. Kamu meletakkannya begitu saja hingga nyaris saja aku tidak mempercayainya bahwa inilah dirimu yang sebenarnya. Tetapi memang aku harus percaya, karena sungguh ini adalah sebuah perjalanan yang lucu. Menggelikan. Sekaligus mengesalkan. Mengesalkan karena akar dari semua ini sebenarnya adalah kurangnya kemauan untuk berusaha keras mengenal dirimu yang sebenarnya.
Tetapi, apakah aku sekarang punya hak sejauh itu? Bahkan ketika mereka-mereka bertanya "bagaimana bisa?", aku pun belum punya jawaban untuk itu.
(Mimpi dangdut)
Seperti sebelum-sebelumnya, seperti kilasan angin yang datang dan pergi, aku tidak pernah mengerti apa maksud dan tujuanmu. Dirimu adalah sesuatu yang terkadang terlalu rumit untuk diprediksi namun terkadang begitu transparan seperti sebuah buku pelajaran yang terbuka. Aku memahaminya dalam sebuah ruang bernama kepercayaan, bahwa apapun yang kamu lakukan memang atas nama apa yang telah kupercayakan kepadamu. Terlebih ketika dirimu sedang rumit dimengerti dan otakku tidak mampu menjangkaumu sebagaimana kerasnya aku berusaha hingga terluka, maka saat itulah aku hanya mampu memberikan lebih banyak lagi ruang kepercayaanku kepadamu.
Bukan karena kamu tidak bisa dipercaya. Bukan pula karena dirimu adalah sesuatu yang kerap berkhianat atau berbohong atau mengingkari janji. Tetapi mempercayaimu dan mempercayakan sesuatu kepadamu adalah sebuah pertaruhan paling besar yang pernah aku lakukan. Meletakkan tanganku di bahumu, mengangguk kepadamu, mengatakan "ya silahkan" kepadamu, memberi izin kepadamu untuk masuk ke sebuah dunia yang seringkali tidak kubagi dengan yang lain, bahkan memaafkanmu adalah sebuah pertaruhan. Pertaruhan karena beragam orang meragukannya. Tentu aku tak izinkan mereka masuk ke dalam duniamu, karena mungkin itu bukan hak mereka selama mereka tidak pernah mau meletakkan dasar kepercayaan di langkah pertama pijakan kaki mereka ketika mereka setuju untuk masuk ke dalam duniamu.
Sekarang, setelah sekian waktu berlalu, aku terdiam memikirkannya. Memikirkan apa yang sesungguhnya kamu cari dan kamu inginkan dariku. Mungkin persahabatan. Mungkin cinta. Mungkin kimia jiwa. Mungkin kenyamanan. Mungkin keprcayaan pula. Mungkin sebuah kebahagiaan yang panjang. Mungkin pula sebuah interaksi dengan komitmen yang kuat. Sesungguhnya aku belum mengerti. Ada sebuah pola rumit yang menyeberang dari suatu sisi ke sisi yang lain. Ada sebuah pertentangan dari dua hal yang tampak. Dan bagaimana pula kamu bisa menjanjikan kepadaku sebuah kesungguhan yang membuatku tidak mampu mengerti hingga sekarang ini. Apa lagi yang kamu cari dariku?
Karena kamu tidak meletakkan dasar keputusan untuk berinteraksi seperti sebelum-sebelumnya. Kamu tidak memakai standar tersebut untuk menghadapiku. Kamu meletakkannya begitu saja hingga nyaris saja aku tidak mempercayainya bahwa inilah dirimu yang sebenarnya. Tetapi memang aku harus percaya, karena sungguh ini adalah sebuah perjalanan yang lucu. Menggelikan. Sekaligus mengesalkan. Mengesalkan karena akar dari semua ini sebenarnya adalah kurangnya kemauan untuk berusaha keras mengenal dirimu yang sebenarnya.
Tetapi, apakah aku sekarang punya hak sejauh itu? Bahkan ketika mereka-mereka bertanya "bagaimana bisa?", aku pun belum punya jawaban untuk itu.
(Mimpi dangdut)
Komentar
Posting Komentar