Melukis Pasir (2)
Matahari berwarna coklat. Cahayanya membentang memanjang menusuk barisan awan seperti barisan pedang yang menusuk kapas berwarna putih lembut. Angin berdesir menggulung ombak, mengarahkan buihnya ke tepi pantai.
Pantai lagi. Laut lagi. Samudera lagi.
Gadis itu memandang pantai. Memandang airnya, langitnya, cakrawalanya, ombaknya, karangnya dan pasirnya. Ia membungkuk, merasakan lembutnya pasir pantai yang merayap-rayap di dekat pergelangan kakinya, lalu tersenyum seraya membungkuk lebih dalam.
Tangannya menggenggam pasir dan butiran pasir mengucur dari balik jemarinya. Butiran itu kembali jatuh ke tumpukan pasir, sebagian meluncur begitu saja sebagian lagi terhempas angin sebelum jatuh ke tumpukan pasir lagi.
Angin berdesir-desir. Lembut, tetapi tajam mengiris pori-pori kelopak matanya yang menggembung seperti bendungan.
Sudah berhari-hari sejak itu. Sejak segala hal seperti merampas keramahannya, kegembiraannya, tawanya, keriangannya, kemauannya mendengarkan orang lain, seperlima akal sehatnya, kehalusannya, sopan santunnya serta sedikit kesabarannya.
Ia membungkuk lagi, menggerakkan telunjuk tangannya untuk mulai menggores pasir. Pasir mulai melekuk, membentuk kata. Lalu kalimat.
--Seharusnya, kalian menjadi orang yang paling mengerti saya. Memahami saya, kenapa saya memilih hal yang jelas-jelas menyakiti saya. Seharusnya kalian memahami keputusan saya, sikap saya, airmata saya. Seharusnya kalian menjadi orang yang paling mendukung saya, bukannya melemparkan saya ke sebuah situasi yang tidak pernah bias saya pahami dan meninggalkan saya sendirian di sana.--
--Sendirian. Jangan kalian kira ini mudah bagi saya.--
Matahari masih berwarna coklat.
Jemari gadis itu masih bergerak. Membentuk kata. Lalu kalimat.
--Seharusnya, kalian tahu bahwa saya melakukan ini semua demi menjaga perasaan kalian semua. Semua. Semua. Tidak peduli kelak saya akan bagaimana, apakah menangis atau hancur, kalian tidak akan pernah tahu hal tersebut. Sama halnya ketika kalian menggunakan saya sebagai tameng kalian, menjadikan saya alasan untuk menghadapi orang lain, tidak peduli betapa saya tidak setuju dengan hal tersebut, maka kalian sudah lupa bahwa saya punya batas perasaan.
Tetapi, sepertinya kalian lupa. saya bukan Cullen, bukan Elva, bukan kursi kosong. Saya bukan ketiganya. Saya memang menyerap rasa sakit dari kalian, tetapi saya tetaplah bukan Elva. Saya mendengar perasaan kalian, tetapi saya bukan Cullen. Saya menerima emosi negative kalian, tetapi saya bukanlah kursi kosong.--
Sejenak ia menghela nafas, tersenyum, lalu meneruskan menulis di atas pasir.
--Saya ditekan dari berbagai arah. Begini dan begini. Hingga akal sehat saya tidak mampu lagi membedakan mana dukungan mana nasehat. Katakan saya gila karena saya bertahan. Bertahan dalam kondisi yang sama gilanya. Tetapi kalian tidak akan mampu memahami jalan pikiran saya kecuali kalian merasakan kondisi seperti saya atau saya punya kalimat yang jelas untuk mampu membuat kalian mengerti.--
--Saya Cuma punya satu alasan masuk akal yang bias saya katakan kepada kalian. Saya melakukan ini karena saya mencintai kalian. Kalian adalah orang-orang yang mencintai saya dengan terpaksa atau tulus. Keluarga, sahabat dan saudara.--
--Karena, kepedihan sejati itu bukanlah terluka sendiri, tetapi melihat orang yang kita cintai terluka.--
Gadis itu tersenyum lagi, membaca kalimat melankolisnya. Sudah berakhir, bisiknya. Tidak sama lagi. Tetapi akan dibuat terasa lebih baik.
Lalu ia mengibaskan sisa pasir dari jari telunjuknya dan duduk memeluk lutut, menghadap ke warna matahari.
Matahari semakin coklat.
Ia menanti angin, sementara di hadapannya, terbentang sederet kalimat-kalimat yang telah ia tuliskan di atas pasir sebanyak tujuh paragraph.
Tujuh paragraph. Tutup matamu dan hitung perlahan dari satu sampai tujuh.
Satu, dua, tiga, empat…
Gadis itu membuka mata dan tertawa melihat angin bertiup, menghapus lukisan empat paragraph kalimat yang telah ia tuliskan di atas pasir. Kalimat yang paling awal terhapus menjadi dataran pasir tanpa cela, menyisakan tiga paragraph terakhir.
Lima…
Gadis itu membuka mata dan takjub melihat ombak mencapai bibir pantai, membasuh pasir dan paragraph kelima yang tersisa. Pasir basah, tulisan lenyap tersapu air kala ombak kembali pulang ke tengah laut.
Masih ada dua paragraph terakhir yang tersisa. Gadis itu menghela nafas, menyadari bahwa angin terlalu lambat bertiup untuk bias menghapusnya dan ombak terlalu jauh dari jangkauan untuk membasuhnya.
Gadis itu menengadah, berharap hujan turun dan menghapus kalimat-kalimat dalam paragraph-paragraph terakhir.
--Saya Cuma punya satu alasan masuk akal yang bias saya katakana kepada kalian. Saya melakukan ini karena saya mencintai kalian. Kalian adalah orang-orang yang mencintai saya dengan terpaksa atau tulus. Keluarga, sahabat dan saudara.--
--Karena, kepedihan sejati itu bukanlah terluka sendiri, tetapi melihat orang yang kita cintai terluka.--
Lama gadis itu terdiam, membaca kalimat-kalimat tersebut berulang kali seperti merapal mantra. Sekian lama ia menunggu, angin tetap lambat bertiup, ombak tetap tak mampu menjangkau dan hujan pun tidak juga turun.
Tulisan itu masih begitu nyata, bahkan dalam remang cahaya matahari yang berwarna coklat.
Tiba-tiba gadis itu tertawa. Ia tidak perlu menunggu angin, ombak ataupun hujan. Perlahan ia menjangkau tulisan tersebut dengan tangannya, dan menghapusnya dengan telapak tangannya yang digerakkan ke kanan dan ke kiri.
Tulisan di atas pasir itu hilang, meskipun bekasnya masih ada. Gadis itu takjub kala melihat angin menerbangkan pasir-pasir perlahan dan ombak membasuhnya.
Subhanallah.
Semua lukisan katanya, telah hilang. Bersih tanpa bekas. Hilang. Hilang. Dan hilang.
Setelah hilang tanpa bekas, maka semuanya selesai. Sudah cukup. Sudah selesai.
Sudah selesai.
Gadis itu melangkah menjauhi pantai dengan angin, ombak dan pasirnya. Sesekali ia menoleh ke belakang dan tersenyum lagi. Masih ada tempat terindah selain pantai.
Karena waktu terus berjalan, hidup pun juga karena manusia tidak akan bias berhenti di satu masa.
Luka dan airmata, telah dihapus dan dibasuh oleh angin, ombak dan tangan kita sendiri.
Maka, melukis kata di atas pasir akan terasa lebih mudah dibandingkan membiarkan sebatang paku menancap di sebatang pohon.
/piktip ^.^ cerita ini hanya rekayasa belaka, jika ada kesamaan tokoh, cerita dan tempat itu hanya lah rekayasa yang disengaja karena tidak ada kebetulan di dunia nyata./
_Pojok Kota Budaya, 14 September 2010, 21.29_
jadi, kudu ngapain nih baiknya?
BalasHapusmelukis pasir Pak Kun, bukan melukis batang pohon
BalasHapus(opo to?)
melukis pasir....
BalasHapus