Cinta Kita
Sore-sore, seorang saudari mengajak saya mengunjungi kosan sahabatnya. Kami berdua menelusuri belakang kampus pusat, kesasar nyari kosan beliau dan nongkrong di depan kosan beliau karena beliau masih berada di enha.
--beliau ini, salah satu dedengkotnya enha lho, seangkatan dengan kita---kata saudari saya.
Saya mikir, kayaknya saya tahu deh beliau yang mana.
---ini kosan aktivis, hihi. Kos binaan. Beliau PJ di sini. Angkatan 2006 sendiri. Dan beliau adalah yang paling taat dengan etika jamaah di antara teman-teman duduk bersama yang lain. Nggak kayak saya, yang bla-bla-bla--- lanjut saudari saya.
Kami menunggu hingga adzan maghrib menggema. Beliau masih on the way. Dan ketika gelap mulai meremang, sosok beliau tampak di ujung jalan. Saya amat-amati perawakan beliau yang memang mungil dan imut-imut, lalu tiba-tiba ngeh, lhoh? Beliau kan temen satu angkatan saya waktu kami ikutan salah satu acara di kampus. Kami saliman cipikacipiko dan seperti yang saya duga, beliau lupa dengan saya karena memang saya selalu samar-samar dilihat orang.
Ada yang mengejutkan dari beliau. Transformasinya, Subhanallah, luar biasa. Dari yang dulu waktu awal kami sama-sama mengikuti acara itu di kampus, beliau masih berjilbab gaul hingga sekarang menjadi salah satu dedengkot Islamic Centre kami, plus amanah-amanah yang membuat sosoknya menjadi sesuatu yang tak terduga serta tentu saja, jilbab lebarnya.
Senyum itu, ada di sana. Haru. Takjub. Saya yakin, seseorang yang telah mendampinginya akan bangga dalam hati menyaksikan perubahan beliau yang menakjubkan. Seyakin saya pula, beliau tidak sendirian menjalani transformasinya. Ada yang di belakang, di samping serta di depan beliau. Ada yang menggenggam hati dan tangan beliau dengan cinta. Ada air, matahari, pupuk yang menyiramnya serta pohon yang menaunginya. Saya yakin itu.
Lihatlah perbedaan pertumbuhan dan perkembangan antara orang-orang yang didampingi dengan cinta dengan orang-orang yang berjalan dan meretas jalan sendiri. Di jalan ini. antara yang bersama-sama dengan yang masih sendiri. Mereka berbeda. Seperti sebatang tanaman yang disirami air, hujan, pupuk dan cahaya matahari di tanah gersang atau subur, dengan sebatang tanaman yang harus mengerahkan segenap akar, batang dan daunnya untuk mencari sendiri dan menjangkau air, pupuk dan cahaya matahari. Jika tanaman itu kelelahan, kehabisan energi, dan bosan untuk gigih bertahan dalam kerasnya jalan itu, maka tanaman itu akan memilih untuk surut. Perlahan. Lalu mati.
Hingga mungkin suatu saat akan ada yang peduli padanya. Menyiramnya sekali lagi, memupukkan, memberikan perhatian, menumbuhkan dan merawatnya. Atau tidak ada yang peduli sama sekali hingga ia benar-benar mati.
Itulah cinta di jalan ini. Mengajarkan dengan cinta, mendidik dengan cinta, membagi ilmu dengan cinta, mengingatkan dengan cinta, dan melakukan sesuatu dengan cinta. Dan seterusnya.
Seperti keharuan saya setiap kali bersama dengan teman-teman duduk bersama saya yang baru. Secara penampilan, orang lain tidak akan menyangka bahwa saudari-saudari saya ini telah mengikatkan diri mereka dalam jamaah. Tetapi ketulusan mereka, kemauan mereka serta komitmen mereka yang patut dilihat, jauh melampaui penampilan luar mereka. Ada yang menembus jarak sedemikian jauh demi mendatangi majelis cinta kami, ada yang begitu menyayangi saudari-saudarinya hingga begitu suka direpotkan dan akan protes jika saudari yang lain tidak merepotkannya. Begitulah.
Bahkan komitmen mereka begitu terasa. Apalagi ketika terselip kekhawatiran akan nasib mereka (dan saya juga tentunya) ketika bertanya-tanya mengenai rencana pembimbing kami yang akan ditentukan pula oleh rencana suami beliau selanjutnya.
---mbak, kalau besok mbak ikut suami, kami gimana?---
Inilah cinta kami. Cinta kalian juga dan Insya Allah cinta kita semua.
(melonesia. T-T)
--beliau ini, salah satu dedengkotnya enha lho, seangkatan dengan kita---kata saudari saya.
Saya mikir, kayaknya saya tahu deh beliau yang mana.
---ini kosan aktivis, hihi. Kos binaan. Beliau PJ di sini. Angkatan 2006 sendiri. Dan beliau adalah yang paling taat dengan etika jamaah di antara teman-teman duduk bersama yang lain. Nggak kayak saya, yang bla-bla-bla--- lanjut saudari saya.
Kami menunggu hingga adzan maghrib menggema. Beliau masih on the way. Dan ketika gelap mulai meremang, sosok beliau tampak di ujung jalan. Saya amat-amati perawakan beliau yang memang mungil dan imut-imut, lalu tiba-tiba ngeh, lhoh? Beliau kan temen satu angkatan saya waktu kami ikutan salah satu acara di kampus. Kami saliman cipikacipiko dan seperti yang saya duga, beliau lupa dengan saya karena memang saya selalu samar-samar dilihat orang.
Ada yang mengejutkan dari beliau. Transformasinya, Subhanallah, luar biasa. Dari yang dulu waktu awal kami sama-sama mengikuti acara itu di kampus, beliau masih berjilbab gaul hingga sekarang menjadi salah satu dedengkot Islamic Centre kami, plus amanah-amanah yang membuat sosoknya menjadi sesuatu yang tak terduga serta tentu saja, jilbab lebarnya.
Senyum itu, ada di sana. Haru. Takjub. Saya yakin, seseorang yang telah mendampinginya akan bangga dalam hati menyaksikan perubahan beliau yang menakjubkan. Seyakin saya pula, beliau tidak sendirian menjalani transformasinya. Ada yang di belakang, di samping serta di depan beliau. Ada yang menggenggam hati dan tangan beliau dengan cinta. Ada air, matahari, pupuk yang menyiramnya serta pohon yang menaunginya. Saya yakin itu.
Lihatlah perbedaan pertumbuhan dan perkembangan antara orang-orang yang didampingi dengan cinta dengan orang-orang yang berjalan dan meretas jalan sendiri. Di jalan ini. antara yang bersama-sama dengan yang masih sendiri. Mereka berbeda. Seperti sebatang tanaman yang disirami air, hujan, pupuk dan cahaya matahari di tanah gersang atau subur, dengan sebatang tanaman yang harus mengerahkan segenap akar, batang dan daunnya untuk mencari sendiri dan menjangkau air, pupuk dan cahaya matahari. Jika tanaman itu kelelahan, kehabisan energi, dan bosan untuk gigih bertahan dalam kerasnya jalan itu, maka tanaman itu akan memilih untuk surut. Perlahan. Lalu mati.
Hingga mungkin suatu saat akan ada yang peduli padanya. Menyiramnya sekali lagi, memupukkan, memberikan perhatian, menumbuhkan dan merawatnya. Atau tidak ada yang peduli sama sekali hingga ia benar-benar mati.
Itulah cinta di jalan ini. Mengajarkan dengan cinta, mendidik dengan cinta, membagi ilmu dengan cinta, mengingatkan dengan cinta, dan melakukan sesuatu dengan cinta. Dan seterusnya.
Seperti keharuan saya setiap kali bersama dengan teman-teman duduk bersama saya yang baru. Secara penampilan, orang lain tidak akan menyangka bahwa saudari-saudari saya ini telah mengikatkan diri mereka dalam jamaah. Tetapi ketulusan mereka, kemauan mereka serta komitmen mereka yang patut dilihat, jauh melampaui penampilan luar mereka. Ada yang menembus jarak sedemikian jauh demi mendatangi majelis cinta kami, ada yang begitu menyayangi saudari-saudarinya hingga begitu suka direpotkan dan akan protes jika saudari yang lain tidak merepotkannya. Begitulah.
Bahkan komitmen mereka begitu terasa. Apalagi ketika terselip kekhawatiran akan nasib mereka (dan saya juga tentunya) ketika bertanya-tanya mengenai rencana pembimbing kami yang akan ditentukan pula oleh rencana suami beliau selanjutnya.
---mbak, kalau besok mbak ikut suami, kami gimana?---
Inilah cinta kami. Cinta kalian juga dan Insya Allah cinta kita semua.
(melonesia. T-T)
indahnya ukhuwah...
BalasHapuswahhh... mbek retno melonwati...
BalasHapusgak mau nglededin ah
@ mbak inge : indahnya merasuk hingga ke susunan kromosom (hayahhh)
BalasHapus@ dek ute : dek ute nulisnya belepotan ^o^v