EngIngEngggg....
Rabu, 6 Oktober 2010
Bakda Maghrib, tiba-tiba saja saya kangen dengan beberapa sahabat-sahabat saya. Sahabat lama, dekat tetapi jauh, dulu akrab sekarang sekedarnya. Mungkin karena kami sudah jarang bertemu karena kelas perkuliahan sudah tak ada lagi, sudah jarang dolan-dolan bareng, dan beberapa hal yang terjadi di antara kami, heterogenitas, kecemburuan, ketidaksiapan, kekecewaan, kelelahan dan segenap hal lain yang membentangkan jarak di antara kami.
Iseng-iseng berhadiah, saya sms beliau-beliau, sekedar nanya kabar dan ngomong geje. Mereka-mereka yang saya tahu sempat kecewa karena kecuekan saya, heterogenitas saya, ketidaksiapan mereka, dan kecemburuan mereka.
Saya rada-rada harap-harap cemas menantikan reaksi mereka. Alhamdulillah, sebenarnya nyaris tidak ada yang berubah dengan sikap mereka ke saya. Reaksinya masih sama seperti dulu.
--mbok ya salam dulu kek, langsung tembak aja
--Jeng Retnoooooo….miss U J
--Heh, Retno piye? Wis sehat?
--Kok tumben sms? (-_-“)
Saya lega, meskipun kami tahu, di alam nyata (?) kami susah bicara ceplasceplos seperti dulu karena ada beberapa sebab aneh yang sampai sekarang belum terselesaikan saking anehnya, saya tahu saya kangen mereka. Dan mereka juga kangen saya.
Kala itu, kami bicara lewat pesan singkat, nanya kabar, lucu-lucuan, bercanda-bercandaan, ngomongin hal aneh-aneh, mulai dari camping di depan ruang dosen, bawa indomi dan kompor, cara mengekspresikan emosi, skripsi, curcol lalu saling mendoakan dan menasehati. Supaya jaga kesehatan, cepet validasi, cepet lulus, wisuda dan kami semua baik-baik saja.
Hiks, saya beneran kangen mereka T-T. Semakin sedikit interaksi saya dengan sahabat-sahabat saya, semakin sulit bagi saya untuk –membaca—mereka. Seolah ada kertas buram yang menutupi mereka.
Saya merindukan masa-masa ketika kami masih satu lingkaran (persahabatan), masih saling mengekspresikan emosi dengan terbuka, tetapi-tetapi saya sadari betapa sensitifnya saya dalam hal ini. Ketika saya disinggung mengenai sebuah tameng eksklusifitas yang seolah menyelimuti kami. Saya tidak suka dengan segenap embel-embel eksklusif yang melekat di antara kami pada waktu itu. Saya berikan peluang kepada yang lain untuk masuk ke dalam lingkaran persahabatan kami, tetapi ternyata sampai saat ini, kami semua hanya bisa bersahabat dekat berdua, bukan bertiga, berempat, berlima atau berenam.
/curcol/
Seorang sahabat pernah bicara kepada saya. Ada salah satu hal penting yang harus kita persiapkan ketika kita menjalin relasi dengan orang lain. Kita harus siap dikecewakan. Karena yang kita butuhkan adalah sahabat, bukan manusia sempurna. Kita boleh marah, boleh kecewa, boleh sedih dengan apa yang ada pada sahabat-sahabat kita, tetapi kekecewaan tersebut janganlah dijadikan alasan melepaskan status persahabatan itu sendiri. Selama kita (aku dan kau) semua masih ingin persahabatan itu dipertahankan, maka kita akan selalu punya alasan untuk terus bersahabat dengannya, seberapapun kita kecewa dengan sahabat kita.
Seorang sahabat yang lain pernah bertanya kepada saya. Teh, sebenarnya apa yang membuat seseorang itu bersahabat dengan yang lainnya?
Saya jawab. Manusiawi. Persahabatan bisa diawali dengan persamaan dan perbedaan.
Sahabat saya berkata lagi. Manusiawi. Seseorang dekat dengan orang lain pasti selalu punya tujuan. Nggak mungkin nggak. Jika tujuan itu tercapai, atau terselesaikan, maka ada kecenderungan untuk saling menjauh. Maka, bukankah seharusnya kita saling mencintai karena Allah?
Seorang sahabat yang lain pula, dan sahabat yang lain lagi, pernah bertanya. Apakah dua orang yang pernah saling mencintai, lalu rasa cinta itu hilang, bisa tetap berhubungan baik ? Dapatkah kita bersahabat dengan orang yang dulu pernah kita cintai dan sekarang sudah tidak lagi ? Salahkah saya jika memutuskan untuk tidak bersahabat lagi dengan orang yang masih saya cintai tetapi sudah tidak mencintai saya lagi ?
Rasa sakit dan kecewa membawa kepada banyak pilihan. Selalu ada fase kejenuhan dalam persahabatan. Bosan. Jenuh. Kesal. Kecewa. Dan kondisi-kondisi itu bisa membawa ke banyak pilihan. Apakah akan kembali ke awal, sesuai dengan niat serta alasan yang dibangun untuk menjalin relasi? Menjauh seiring dengan berjalannya waktu? Tetap bersahabat, karena kecewa adalah konsekuensi bersahabat dengan manusia?
Karena, seringkali yang paling dekat dengan kita, adalah yang paling melukai hati kita. Luka yang ditimbulkan oleh sahabat dekat kita, jauh lebih terasa dibandingkan dengan luka yang ditimbulkan oleh orang lain.
Maka, ketika tengah jenuh, bosan, kesal, kecewa, kalimat sederhana seperti ---teman, selamanya teman--- bisa menjadi obat mujarab bagi luka hati kita. Kita seperti mendapatkan kabar gembira dan bahagia. Bahwa sahabat kita telah memutuskan dan memilih untuk tetap bersahabat dengan kita. Dengan kalimat lain, sahabat kita masih mau dan ingin mempertahankan persahabatan kita. Dengan kalimat yang lain pula, sahabat kita berusaha menerima kita apa adanya. Dengan kalimat lain lagi, sahabat kita tahu dan siap dengan resiko menjalin relasi dengan manusia. Dengan kalimat yang lagi-lagi lain, sahabat kita berusaha memaafkan, memahami dan menerima kita.
Begitu juga sebaliknya.
Teman, selamanya teman. Sahabat, selamanya sahabat. Saudara, selamanya saudara.
Di titik ini, ketika persahabatan sudah disejajarkan dengan persaudaraan, dengan perumpamaan bahwa persaudaraan seperti layaknya ikatan nasab dan keluarga yang tidak akan pernah hilang atau terputus selamanya meskipun dengan kebencian seluas samudera, maka di sinilah kita. Mengetahui, mengerti dan menerima.
--Saya (masih, sedang dan selalu berusaha, serta ingin) mencintai kalian karena Allah, saudaraku....--
The spirit of Java, 07.01
Bakda Maghrib, tiba-tiba saja saya kangen dengan beberapa sahabat-sahabat saya. Sahabat lama, dekat tetapi jauh, dulu akrab sekarang sekedarnya. Mungkin karena kami sudah jarang bertemu karena kelas perkuliahan sudah tak ada lagi, sudah jarang dolan-dolan bareng, dan beberapa hal yang terjadi di antara kami, heterogenitas, kecemburuan, ketidaksiapan, kekecewaan, kelelahan dan segenap hal lain yang membentangkan jarak di antara kami.
Iseng-iseng berhadiah, saya sms beliau-beliau, sekedar nanya kabar dan ngomong geje. Mereka-mereka yang saya tahu sempat kecewa karena kecuekan saya, heterogenitas saya, ketidaksiapan mereka, dan kecemburuan mereka.
Saya rada-rada harap-harap cemas menantikan reaksi mereka. Alhamdulillah, sebenarnya nyaris tidak ada yang berubah dengan sikap mereka ke saya. Reaksinya masih sama seperti dulu.
--mbok ya salam dulu kek, langsung tembak aja
--Jeng Retnoooooo….miss U J
--Heh, Retno piye? Wis sehat?
--Kok tumben sms? (-_-“)
Saya lega, meskipun kami tahu, di alam nyata (?) kami susah bicara ceplasceplos seperti dulu karena ada beberapa sebab aneh yang sampai sekarang belum terselesaikan saking anehnya, saya tahu saya kangen mereka. Dan mereka juga kangen saya.
Kala itu, kami bicara lewat pesan singkat, nanya kabar, lucu-lucuan, bercanda-bercandaan, ngomongin hal aneh-aneh, mulai dari camping di depan ruang dosen, bawa indomi dan kompor, cara mengekspresikan emosi, skripsi, curcol lalu saling mendoakan dan menasehati. Supaya jaga kesehatan, cepet validasi, cepet lulus, wisuda dan kami semua baik-baik saja.
Hiks, saya beneran kangen mereka T-T. Semakin sedikit interaksi saya dengan sahabat-sahabat saya, semakin sulit bagi saya untuk –membaca—mereka. Seolah ada kertas buram yang menutupi mereka.
Saya merindukan masa-masa ketika kami masih satu lingkaran (persahabatan), masih saling mengekspresikan emosi dengan terbuka, tetapi-tetapi saya sadari betapa sensitifnya saya dalam hal ini. Ketika saya disinggung mengenai sebuah tameng eksklusifitas yang seolah menyelimuti kami. Saya tidak suka dengan segenap embel-embel eksklusif yang melekat di antara kami pada waktu itu. Saya berikan peluang kepada yang lain untuk masuk ke dalam lingkaran persahabatan kami, tetapi ternyata sampai saat ini, kami semua hanya bisa bersahabat dekat berdua, bukan bertiga, berempat, berlima atau berenam.
/curcol/
Seorang sahabat pernah bicara kepada saya. Ada salah satu hal penting yang harus kita persiapkan ketika kita menjalin relasi dengan orang lain. Kita harus siap dikecewakan. Karena yang kita butuhkan adalah sahabat, bukan manusia sempurna. Kita boleh marah, boleh kecewa, boleh sedih dengan apa yang ada pada sahabat-sahabat kita, tetapi kekecewaan tersebut janganlah dijadikan alasan melepaskan status persahabatan itu sendiri. Selama kita (aku dan kau) semua masih ingin persahabatan itu dipertahankan, maka kita akan selalu punya alasan untuk terus bersahabat dengannya, seberapapun kita kecewa dengan sahabat kita.
Seorang sahabat yang lain pernah bertanya kepada saya. Teh, sebenarnya apa yang membuat seseorang itu bersahabat dengan yang lainnya?
Saya jawab. Manusiawi. Persahabatan bisa diawali dengan persamaan dan perbedaan.
Sahabat saya berkata lagi. Manusiawi. Seseorang dekat dengan orang lain pasti selalu punya tujuan. Nggak mungkin nggak. Jika tujuan itu tercapai, atau terselesaikan, maka ada kecenderungan untuk saling menjauh. Maka, bukankah seharusnya kita saling mencintai karena Allah?
Seorang sahabat yang lain pula, dan sahabat yang lain lagi, pernah bertanya. Apakah dua orang yang pernah saling mencintai, lalu rasa cinta itu hilang, bisa tetap berhubungan baik ? Dapatkah kita bersahabat dengan orang yang dulu pernah kita cintai dan sekarang sudah tidak lagi ? Salahkah saya jika memutuskan untuk tidak bersahabat lagi dengan orang yang masih saya cintai tetapi sudah tidak mencintai saya lagi ?
Rasa sakit dan kecewa membawa kepada banyak pilihan. Selalu ada fase kejenuhan dalam persahabatan. Bosan. Jenuh. Kesal. Kecewa. Dan kondisi-kondisi itu bisa membawa ke banyak pilihan. Apakah akan kembali ke awal, sesuai dengan niat serta alasan yang dibangun untuk menjalin relasi? Menjauh seiring dengan berjalannya waktu? Tetap bersahabat, karena kecewa adalah konsekuensi bersahabat dengan manusia?
Karena, seringkali yang paling dekat dengan kita, adalah yang paling melukai hati kita. Luka yang ditimbulkan oleh sahabat dekat kita, jauh lebih terasa dibandingkan dengan luka yang ditimbulkan oleh orang lain.
Maka, ketika tengah jenuh, bosan, kesal, kecewa, kalimat sederhana seperti ---teman, selamanya teman--- bisa menjadi obat mujarab bagi luka hati kita. Kita seperti mendapatkan kabar gembira dan bahagia. Bahwa sahabat kita telah memutuskan dan memilih untuk tetap bersahabat dengan kita. Dengan kalimat lain, sahabat kita masih mau dan ingin mempertahankan persahabatan kita. Dengan kalimat yang lain pula, sahabat kita berusaha menerima kita apa adanya. Dengan kalimat lain lagi, sahabat kita tahu dan siap dengan resiko menjalin relasi dengan manusia. Dengan kalimat yang lagi-lagi lain, sahabat kita berusaha memaafkan, memahami dan menerima kita.
Begitu juga sebaliknya.
Teman, selamanya teman. Sahabat, selamanya sahabat. Saudara, selamanya saudara.
Di titik ini, ketika persahabatan sudah disejajarkan dengan persaudaraan, dengan perumpamaan bahwa persaudaraan seperti layaknya ikatan nasab dan keluarga yang tidak akan pernah hilang atau terputus selamanya meskipun dengan kebencian seluas samudera, maka di sinilah kita. Mengetahui, mengerti dan menerima.
--Saya (masih, sedang dan selalu berusaha, serta ingin) mencintai kalian karena Allah, saudaraku....--
The spirit of Java, 07.01
Waah, persahabatan...
BalasHapusjadi inget sohib2 lama di Bogor euy :D
BalasHapusKerasa ya, yang betul-betul teman, walau sekian lama nggak kontak, begitu kontak nyambung lagi dengan cepat obrolannya.... (meskipun tentunya lebih baik kalau nggak sampai hilang kontak, tapi kadang nggak terhindarkan).
BalasHapus:-)
BalasHapus:-)
:-)
eh kupu-kupu pink....
BalasHapus