Nasi Mi Goreng Telur Yang Membahagiakan
Tadi malam, saya makan mi goreng telur pake nasi. Kost-an sepi, hanya saya berdua dengan kawan dan kami tertawa-tawa hingga jam sembilan malam menyaksikan tayangan-tayangan absurd yang digelar kotak warna warni di hadapan kami.
Lalu apa? Perasaan saya membaik, mengingat sehari sebelumnya sungguh saya ingin misuh-misuh. Wow. Kenapa? Gak penting untuk dibahas. Yang jelas saya ingin memaki. Tapi tidak jadi, karena saya tahu, saya akan menyesal setelahnya.
Perasaan membaik itu juga dipersembahkan oleh kelakuan saya dari pagi hingga siang. Sekitar jam tujuh saya dan beberapa kawan menyambangi sebuah SMK gratis milik yayasan di daerah Manahan untuk membantu melakukan tes wawancara calon peserta didik baru. Saya yang sesi-sesi terdahulunya tidak ikut, diberi tahu kalau sesi kemarin ada anak-anak yang pake acara nangis2 di hadapan interviewer. Ealah. Kenapa ada acara termeye-meye gitu sih?
Masuk ke gerbang sekolahnya dan mata kami sudah disambut puluhan calon siswa beserta walinya. Aneka ragam dan otak saya langsung menyuruh bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Well, saya ngeh bahwa sekolah ini bukan sekolah biasa dan calon-calon siswanya adalah anak-anak yang menurut saya lebih luar biasa dibandingkan anak-anak gedongan yang cerdas sekalipun.
Briefing sebentar, diberi kisi-kisi tentang wawancara, kemudian masuk ke dalam ruangan untuk wawancara. Dua orang pertama yang saya wawancarai adalah anak laki-laki yang baru lulus SMP. Yang pertama kalem sekali, suara lemah lembut dan saya seperti dikeplak ketika menyadari eh masih ada anak laki-laki yang seperti ini ternyata. Haa? Saya meyakini dalam hati jika dia tetap kalem, sederhana dan tulus seperti sekarang hingga dewasa, dia akan menjadi salah satu stok lelaki baik masa depan. Aamiin. Insya Allah.
"Bapak bekerja sebagai cleaning service, Ibu jadi pembantu rumah tangga," katanya.
Semangatnya untuk tetap bersekolah terlihat besar.Ketika saya menanyakan apakah dia punya teman dekat perempuan, dia menggeleng sambil bergidik malu-malu. Polos sekali. Gak berani, katanya. Ketika saya tanyakan pula apa sering kumpul-kumpul bareng temen-temen cowoknya. Dia menggeleng lagi, jarang, paling cuma buat main bola saja, selebihnya tidak, ada pekerjaan rumah yang menanti.
Saya memandangnya. Sekilas berpikir tentang anak-anak muda seusianya yang sering saya temui. Motoran ke sana ke mari, godain cewek, main PS, nongkrong kongkow-kongkow sambil gitaran dan merokok hingga larut malam. Menemukan sosoknya di antara sosok-sosok mayoritas yang mendominasi sebagian besar persepsi saya tentang anak laki-laki seusianya, membuat saya seperti dikeplak. Anak laki-laki seperti itu, masih ada. Ah adik kecil, semoga kamu selalu istiqomah dan kelak bisa membuat lebih banyak perempuan percaya bahwa stok laki-laki baik itu selalu ada.
Towewewewew.
Anak lelaki yang kedua, sama sederhananya. Tersenyum lebar ketika melihat saya. Ramah. Dan asalnya dari Purbalingga. Jauh dari Solo. Dan alasan biaya pendidikan gratis masih mendominasi. Lagi-lagi karena alasan ekonomi pula. Tapi yang menarik dari anak laki-laki ini adalah kesadarannya karena dia merasa kurang pintar, kurang waktu untuk belajar karena bekerja.
"Saya kerja apa saja Mbak, misalnya disuruh tetangga buat bantuin apa aja ya saya kerjakan. Biasanya sepulang sekolah, jadinya ya gak sempat main-main atau udah kecapekan pas malamnya. Seringnya sih bantu-bantu nguras empang atau apa saja. Nanti uangnya saya tabung."
Lagi-lagi saya merasa dikeplak. Keras banget ya bahasa saya. Anak laki-laki berusia limabelas tahun yang memutuskan untuk bekerja seadanya sambil sekolah dan uangnya ditabung. Catat. Saya selalu kagum pada laki-laki yang suka menabungdan tidak pelit tentunya :-P.Mungkin ini kesalahan persepsi saya ketika anak-anak laki-laki seusianya yang kebanyakan saya temui seringkali berupa anak lelaki yang menyelewengkan uang SPP, gengsi naik sepeda ke sekolahnya, berteriak kepada orangtuanya untuk sepeda motor terbaru, mengacuhkan masakan Ibunya karena kurang mewah dan lain sebagainya. Lagi-lagi saya memohon dalam hati agar sifat-sifat baik anak laki-laki di hadapan saya itu terus bertahan selamanya.
Anak-anak yang duduk di hadapan saya kemudian menjadi beragam. Ada yang berseri-seri ketika menceritakan idolanya yaitu Justin Bieber. Ada yang begitu suka dengan Nikita Willy. Ada yang suka Coboy Junior dan Ungu. Saya tersenyum, mengingat-ingat apakah pada usia mereka saya pernah begitu mengidolakan sesuatu. Sayangnya, saya lupa dan mungkin sengaja melupakan kealay-an saya jaman dahulu kala.
Beralih ke para anak perempuan. Ada seorang anak perempuan yang wow menurut saya. usianya limabelas tahun, berjilbab lebar dengan senyum lebar. Kata-katanya mantap dengan seabrek kegiatan mulai dari osis, keputrian, bikin film pendek, animasi sampai menggagas sebuah perpustakaan untuk anak-anak di desanya. Public speaking-nya bagus, namun dia bercerita bahwa sebenarnya dia tidak bisa mengucapkan huruf "S" dengan baik hingga pernah ditertawakan sewaktu pidato di depan umum. Sebenarnya saya malah nggak ngeh kalau dia susah ngomong huruf "S", baru kemudian ketika dia tertawa-tawa karena susah mengucapkan kata 'introspeksi'. Yo lah.
Saya pun selalu suka pada generasi muda yang aktif :-P.
Seorang anak perempuan yang lain lagi, duduk di hadapan saya dengan sorot mata pemalu. Saya trenyuh melihat tas sekolah yang didekapnya erat berupa tas punggung kecil bergambar disney atau gambar barbie. Untungnya saya cuma punya satu tas juga sehingga tidak merasa terlalu bersalah melihat anak gadis yang nyaris masuk SMA masih memakai tas sekolah yang mirip dipakai keponakan saya yang masih TK (so?). Saya tahu bukan dia yang masih kekanakan hingga memutuskan mengenakan tas seperti itu, tapi begitulah ah susah ngomongnya, begitulah.
Dia nomor dua dari tiga bersaudara. Katanya bapak nggak kerja, ibu jadi IRT, kakaknya laki-laki masih sekolah di SMK juga. Matanya mulai berkaca-kaca ketika bercerita tentang keluarganya. Saya yang mulai waspada. Hingga ketika saya tanya adakah keinginan yang belum tercapai?
Jawabnya sederhana, ingin dibelikan hape tapi tidak kesampaian karena nggak punya uang.
Saya genggam pulpen saya erat-erat karena tangan saya mulai dingin. Apalagi ketika dia bercerita bahwa jika dia tidak diterima di sekolah ini, dia tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya dan dia harus mulai bekerja, bukan bersekolah.
Lalu dia mulai menangis di hadapan saya. Saya terdiam, membiarkan dia menangis hingga selesai. Saya ingin bergerak mengambil tissu di tas, tapi saya memilih tetap diam. Rasanya ada hal yang aneh. Mungkin sayanya yang terlanjur mati gaya. Antara keinginan untuk menenangkan namun tidak ingin terjadi transference karena ini bukan sesi konseling.
Selesai menangis, saya hanya bisa tersenyum. Tapi sungguh ada jeda beberapa saat saya ikut terdiam setelahnya karena merasa sangat blank.
Total yang bisa saya wawancarai ada 13 anak dari jam setengah delapan hingga menjelang dhuhur. Aneka ragam. Dan kawan saya pernah bilang sebelumnya, bahwa ketika proses wawancara seringkali kita akan dapatkan hikmah yang luar biasa dari mereka. Saya mengakui itu. Bahwa hidup memang beginilah adanya.Titik-titik ekstrim dalam kehidupan itu seringkali begitu memukau. Tentu saja saya terpukau melihat anak-anak kaya yang di usia muda sudah bisa liburan ke luar negeri dan jatah uang saku bulanan mereka bisa berjuta-juta, tapi di sisi lain saya pun terpukau pada realita bahwa banyak anak yang berjuang demi sekolah gratis karena mereka tetap ingin sekolah, yang penting sekolah.
Maka, sayasejenak melupakan keinginan saya untuk misuh-misuh dan makan malam dengan indomi goreng telur dan nasi putih pun menjadi lebih terasa membahagiakan.
Saya memandangnya. Sekilas berpikir tentang anak-anak muda seusianya yang sering saya temui. Motoran ke sana ke mari, godain cewek, main PS, nongkrong kongkow-kongkow sambil gitaran dan merokok hingga larut malam. Menemukan sosoknya di antara sosok-sosok mayoritas yang mendominasi sebagian besar persepsi saya tentang anak laki-laki seusianya, membuat saya seperti dikeplak. Anak laki-laki seperti itu, masih ada. Ah adik kecil, semoga kamu selalu istiqomah dan kelak bisa membuat lebih banyak perempuan percaya bahwa stok laki-laki baik itu selalu ada.
Towewewewew.
Anak lelaki yang kedua, sama sederhananya. Tersenyum lebar ketika melihat saya. Ramah. Dan asalnya dari Purbalingga. Jauh dari Solo. Dan alasan biaya pendidikan gratis masih mendominasi. Lagi-lagi karena alasan ekonomi pula. Tapi yang menarik dari anak laki-laki ini adalah kesadarannya karena dia merasa kurang pintar, kurang waktu untuk belajar karena bekerja.
"Saya kerja apa saja Mbak, misalnya disuruh tetangga buat bantuin apa aja ya saya kerjakan. Biasanya sepulang sekolah, jadinya ya gak sempat main-main atau udah kecapekan pas malamnya. Seringnya sih bantu-bantu nguras empang atau apa saja. Nanti uangnya saya tabung."
Lagi-lagi saya merasa dikeplak. Keras banget ya bahasa saya. Anak laki-laki berusia limabelas tahun yang memutuskan untuk bekerja seadanya sambil sekolah dan uangnya ditabung. Catat. Saya selalu kagum pada laki-laki yang suka menabung
Anak-anak yang duduk di hadapan saya kemudian menjadi beragam. Ada yang berseri-seri ketika menceritakan idolanya yaitu Justin Bieber. Ada yang begitu suka dengan Nikita Willy. Ada yang suka Coboy Junior dan Ungu. Saya tersenyum, mengingat-ingat apakah pada usia mereka saya pernah begitu mengidolakan sesuatu. Sayangnya, saya lupa dan mungkin sengaja melupakan kealay-an saya jaman dahulu kala.
Beralih ke para anak perempuan. Ada seorang anak perempuan yang wow menurut saya. usianya limabelas tahun, berjilbab lebar dengan senyum lebar. Kata-katanya mantap dengan seabrek kegiatan mulai dari osis, keputrian, bikin film pendek, animasi sampai menggagas sebuah perpustakaan untuk anak-anak di desanya. Public speaking-nya bagus, namun dia bercerita bahwa sebenarnya dia tidak bisa mengucapkan huruf "S" dengan baik hingga pernah ditertawakan sewaktu pidato di depan umum. Sebenarnya saya malah nggak ngeh kalau dia susah ngomong huruf "S", baru kemudian ketika dia tertawa-tawa karena susah mengucapkan kata 'introspeksi'. Yo lah.
Saya pun selalu suka pada generasi muda yang aktif :-P.
Seorang anak perempuan yang lain lagi, duduk di hadapan saya dengan sorot mata pemalu. Saya trenyuh melihat tas sekolah yang didekapnya erat berupa tas punggung kecil bergambar disney atau gambar barbie. Untungnya saya cuma punya satu tas juga sehingga tidak merasa terlalu bersalah melihat anak gadis yang nyaris masuk SMA masih memakai tas sekolah yang mirip dipakai keponakan saya yang masih TK (so?). Saya tahu bukan dia yang masih kekanakan hingga memutuskan mengenakan tas seperti itu, tapi begitulah ah susah ngomongnya, begitulah.
Dia nomor dua dari tiga bersaudara. Katanya bapak nggak kerja, ibu jadi IRT, kakaknya laki-laki masih sekolah di SMK juga. Matanya mulai berkaca-kaca ketika bercerita tentang keluarganya. Saya yang mulai waspada. Hingga ketika saya tanya adakah keinginan yang belum tercapai?
Jawabnya sederhana, ingin dibelikan hape tapi tidak kesampaian karena nggak punya uang.
Saya genggam pulpen saya erat-erat karena tangan saya mulai dingin. Apalagi ketika dia bercerita bahwa jika dia tidak diterima di sekolah ini, dia tidak bisa sekolah karena tidak ada biaya dan dia harus mulai bekerja, bukan bersekolah.
Lalu dia mulai menangis di hadapan saya. Saya terdiam, membiarkan dia menangis hingga selesai. Saya ingin bergerak mengambil tissu di tas, tapi saya memilih tetap diam. Rasanya ada hal yang aneh. Mungkin sayanya yang terlanjur mati gaya. Antara keinginan untuk menenangkan namun tidak ingin terjadi transference karena ini bukan sesi konseling.
Selesai menangis, saya hanya bisa tersenyum. Tapi sungguh ada jeda beberapa saat saya ikut terdiam setelahnya karena merasa sangat blank.
Total yang bisa saya wawancarai ada 13 anak dari jam setengah delapan hingga menjelang dhuhur. Aneka ragam. Dan kawan saya pernah bilang sebelumnya, bahwa ketika proses wawancara seringkali kita akan dapatkan hikmah yang luar biasa dari mereka. Saya mengakui itu. Bahwa hidup memang beginilah adanya.Titik-titik ekstrim dalam kehidupan itu seringkali begitu memukau. Tentu saja saya terpukau melihat anak-anak kaya yang di usia muda sudah bisa liburan ke luar negeri dan jatah uang saku bulanan mereka bisa berjuta-juta, tapi di sisi lain saya pun terpukau pada realita bahwa banyak anak yang berjuang demi sekolah gratis karena mereka tetap ingin sekolah, yang penting sekolah.
Maka, saya
Komentar
Posting Komentar