Malu-Malu
Suatu waktu, kita berdua, duduk bersama. Kepalaku di bahumu dan tanganmu di pundakku. Hanya begitu. Mungkin tanpa nafsu atau keinginan ini itu.
Lalu mendadak muncul para orangtua. Bapak. Ibu. Ibu.
Secepat kilat kita langsung saling menjauh, seolah tadi kita hanya sekedar menempelkan bahu.
Kata kita, kita malu.
Suatu waktu, kita berdua, berbaring bersama. Mati lampu. Tanganmu memelukku dan aku terlelap dalam pelukanmu. Hanya begitu. Mungkin tanpa nafsu atau keinginan ini itu.
Lalu lampu menyala dan Bapak membuka pintu.
Kita bagaikan dua kutub magnet yang sama, sama-sama beringsut menjauh. Padahal juga tidak ada apa-apa sebelumnya.
Kata kita, kita malu. Padahal kita sudah boleh ini itu, tapi saling menyentuh di hadapan orang yang kita kenal tetap saja membuat kita malu.
Malu yang indah. Malu yang membuat merona-rona. Seolah-olah kita kawula muda yang sedang jatuh cinta. Kasmaran. Dan mencuri-curi sentuhan di lengangnya tatapan orangtua.
Suatu waktu, kita berjalan bersama. Dalam keramaian umum dan tanganmu melingkar di bahuku. Tanpa malu, tanpa canggung. Kadang tanganku yang berbalik memegang lenganmu. Hanya begitu. Dan kita tidak malu.
Suatu waktu, aku tertidur. Pulas. Dan tiba-tiba tersadar ketika merasakan sentuhan lembut di bibir. Aku membuka mata, menemukan matamu yang tampak canggung karena ketahuan mencuri-curi sentuhan dengan bibir saat aku tertidur pulas. Tetapi Tuhan Maha Baik dengan membangunkanku dan meletakkan cinta di hati setiap kali mengenang momen 'pencurian' itu.
Suatu waktu, engkau mengangkat koperku dan aku sibuk dengan drama melankolis menjelang perpisahan raga. Engkau berbalik, aku menyambut tanganmu dan menciumnya. Engkau mendekat, meraih pipiku dengan pipimu. Aku pikir selesai setelah pertemuan pipi sedetik dua detik. Tapi engkau mendekat, menyentuh sesuatu di bawah hidungku dan aku merona.
Aku malu. Malu dicium seperti itu di tempat umum. Engkau juga tidak pernah melakukan hal sejauh itu di tempat umum. Tapi kali ini menjelang perpisahan raga, aku tertegun dibuatmu. Tanpa canggung atau berpikir apapun kamu spontan melakukannya di tempat terbuka. Dan aku malu. Malu yang merona-rona.
Ini memang tentang sentuhan fisik. Dan entah apa yang terjadi kepadaku, ketika aku begitu bahagia dengan hal-hal kecil semacam itu. Mencuri-curi sentuhan, mengecup ketika tertidur, sekedar memeluk. Seringkali tanpa keinginan ini itu.
Tetapi tetap saja aku malu.
Lalu mendadak muncul para orangtua. Bapak. Ibu. Ibu.
Secepat kilat kita langsung saling menjauh, seolah tadi kita hanya sekedar menempelkan bahu.
Kata kita, kita malu.
Suatu waktu, kita berdua, berbaring bersama. Mati lampu. Tanganmu memelukku dan aku terlelap dalam pelukanmu. Hanya begitu. Mungkin tanpa nafsu atau keinginan ini itu.
Lalu lampu menyala dan Bapak membuka pintu.
Kita bagaikan dua kutub magnet yang sama, sama-sama beringsut menjauh. Padahal juga tidak ada apa-apa sebelumnya.
Kata kita, kita malu. Padahal kita sudah boleh ini itu, tapi saling menyentuh di hadapan orang yang kita kenal tetap saja membuat kita malu.
Malu yang indah. Malu yang membuat merona-rona. Seolah-olah kita kawula muda yang sedang jatuh cinta. Kasmaran. Dan mencuri-curi sentuhan di lengangnya tatapan orangtua.
Suatu waktu, kita berjalan bersama. Dalam keramaian umum dan tanganmu melingkar di bahuku. Tanpa malu, tanpa canggung. Kadang tanganku yang berbalik memegang lenganmu. Hanya begitu. Dan kita tidak malu.
Suatu waktu, aku tertidur. Pulas. Dan tiba-tiba tersadar ketika merasakan sentuhan lembut di bibir. Aku membuka mata, menemukan matamu yang tampak canggung karena ketahuan mencuri-curi sentuhan dengan bibir saat aku tertidur pulas. Tetapi Tuhan Maha Baik dengan membangunkanku dan meletakkan cinta di hati setiap kali mengenang momen 'pencurian' itu.
Suatu waktu, engkau mengangkat koperku dan aku sibuk dengan drama melankolis menjelang perpisahan raga. Engkau berbalik, aku menyambut tanganmu dan menciumnya. Engkau mendekat, meraih pipiku dengan pipimu. Aku pikir selesai setelah pertemuan pipi sedetik dua detik. Tapi engkau mendekat, menyentuh sesuatu di bawah hidungku dan aku merona.
Aku malu. Malu dicium seperti itu di tempat umum. Engkau juga tidak pernah melakukan hal sejauh itu di tempat umum. Tapi kali ini menjelang perpisahan raga, aku tertegun dibuatmu. Tanpa canggung atau berpikir apapun kamu spontan melakukannya di tempat terbuka. Dan aku malu. Malu yang merona-rona.
Ini memang tentang sentuhan fisik. Dan entah apa yang terjadi kepadaku, ketika aku begitu bahagia dengan hal-hal kecil semacam itu. Mencuri-curi sentuhan, mengecup ketika tertidur, sekedar memeluk. Seringkali tanpa keinginan ini itu.
Tetapi tetap saja aku malu.
Komentar
Posting Komentar