Dia-dia Dalam Segelas Teh
Dia memimpikannya, mungkin sepanjang malam ketika ia jatuh tertidur dengan bantal yang hangat dan selimut bercorak vertikal. Dulu sekali ketika mungkin ia masih begitu takut pada suara kereta api dan memilih berlari ke pelukannya. Pelukannya. Atau percakapan tentang kangkung dan lele. Ah, betapa absurdnya. Sepanjang tahun mengenang dan hanya kenangan tentang rel dengan kereta api, kangkung dan lele yang diingat.
Bukan pula pertanyaan, kenapa kamu tidak pernah ada? Bukannya tak pernah ada, jawabnya, tetapi aku memang sudah tidak ada lagi. Sesederhana itu jawabannya dan ngilunya terasa hingga beratus hari yang datang kemudian.
Dia memimpikannya, impian akan sosok yang bisa menggantikan. Kata tanggungjawabnya, nanti kalau sudah tiba saatnya, akan kujabat erat tangannya untukmu. Itulah eksistensi dirinya yang paling akhir, yang tersisa dan yang paling ingin dipercaya. Tetapi hingga meja kursi dibereskan dan kertas kado terakhir dibuka, hanya selembar suratnya yang datang. Dia tidak pernah datang.
Dia memimpikannya, sepanjang malam sejak mengenalnya lebih dalam. Sejak mulai menyebut namanya dalam doa-doa. Sejak mulai mencari sosoknya ketika terbangun. Sejak ia ingin selalu berkata, aku mencintaimu, tetapi menggantungkan kalimat itu dan memilih kata, semoga Allah selalu menjagamu...
Maka ketika ia sedang begitu membutuhkan mereka dan jarak menertawakannya. Menyusut airmatanya dengan bantal, kemudian menghadapi segelas teh hangat. Anggap saja, wajah-wajah mereka terangkum dalam segelas air teh hangat, terminum, tersesap dan menemaninya di sini.
Hello, kamu baik-baik saja?
Tidak ada yang menanyakan itu padanya.
*hasil perbuatan otak yang perutnya belum dikasih makan sejak siang
Komentar
Posting Komentar