Situasi Jungkir Balik

Saya ingat ketika awal-awal setelah menikah, seorang kawan pernah berdecak pada saya. Katanya, 'ckckck...yang baru aja nikah nih, mesra-mesraan terus di jejaring sosial.'

He? Hi. Saya rada-rada kaget juga dengan komentar semacam itu. Ah masa sih saya mesra-mesraan mulu di jejaring sosial? Mungkin iya, karena beberapa kali (ah jangan-jangan memang sering) meninggalkan jejak yang berkaitan dengan suami di jejaring sosial. Pasang poto, nge-wall, bikin status nge-link nama suami, poke-poke-an dll. Tapi belum pernah upload foto saya dicium suami, atau nulis status 'Arief Bayu Kurniawan, I love you' ---> kecuali sekarang, jadi sudah kan kan kaaaan

Juga pernah mendapati sebuah foto ikhwan akhwat (suami istri) yang konon agak-agak mesra dan eeehhh jreng jreng jreng jerejeng, dikomentari hingga ratusan komentar. Ada yang menganggap foto tersebut masih wajar, banyak pula yang menganggap foto tersebut tidak wajar, terlalu mengumbar kemesraan.

Lalu, pernah mendapati adanya keluhan tentang ikhwan akhwat yang katanya pula rada over setelah menikah. Mesra-mesraan di depan umum, di dunia maya, dan ada yang meminta agar ke-over-an itu diredam, setidaknya mengingat bahwa tidak semuanya diberi kesempatan untuk merasakan pernikahan.

Tapi, harus saya akui, bahwa saya sendiri kadang enggak sadar kalo misalnya lagi di tempat umum. Kalau lagi jalan di tempat umum, tangan saya otomatis <--alibi-- nyari pegangan ke lengan suami. Ngegandeng-ngegandeng gitu. Atau kadang kalo pas jalan, saya baru ngeh kalau bahu saya dirangkul ketika saya menyadari 'ih, kok tangan Abang kerasa berat banget di bahu ya?"

Dulu juga pernah dikomentari, katanya saya sering ngegalau di dunia maya, ngeluh-ngeluh gitu di twitter. Ha? Kali ini saya pun juga berkata, masa sih? Kayaknya masih wajar deh, karena saya tidak setiap hari update di twitter. Saya cek profile twitter, sering sih saya ngegalau di sana, tapi kayaknya saya blm separah yang tiap menit bisa update di twitter. Tentu saja yang saya pakai adalah standar orang lain yang tiap menit update di twitter, kalau standar orang yang jarang menggunakan twitter, mungkin jadinya akan tampak lain ya.

Katanya, kalau kita sudah memakai dunia maya, kita harus siap dengan segala konsekuensi yang ada. Bagaimanapun juga membagi sesuatu di dunia maya bagaikan membagi sesuatu yang aksesnya tidak selalu bisa dibatasi. Kalau sudah berbagi sesuatu di dunia maya, harus siap dengan perbedaan pendapat, bahkan mungkin cacian dan omelan atau mungkin teguran-teguran dari orang-orang yang merasa terganggu atau jengah dengan tulisan-tulisan kita.

Harus saya akui, bahwa saya pun kadang juga jengah dengan update-an yang jentrek-jentrek dari orang yang sama. Hihihi. Tetapi kadang pula saya harus berpikir, bukankah saya juga menggunakan jejaring sosial yang sama? Bukankah saya harus siap mengatasi sendiri kejengahan-kejengahan tersebut? Bukankah saya harus siap ketika melihat begitu banyak update-an dari orang yang sama? Bukankah sudah resiko kalau saya harus melihat keluhan-keluhan galau di dunia maya? Tidak lain dan tidak bukan, karena saya pun berada dalam sosial media yang sama. Mau tidak mau harus 'siap' melihat hal-hal semacam itu.

Dan, harus siap pula mengantisipasinya. Siap nge-hide kalo memang kita merasa terganggu dengan hal tersebut, siap  meremove kalau memang pantas, siap memberikan teguran ketika memang layak ditegur. Yap, karena kita sering berada pada situasi yang jungkir balik. Kehidupan yang begitu dinamis. Bisa jadi ketika kita berstatus masih lajang, kita begitu meributkan tentang kemesraan yang over di antara mereka, tetapi setelah menikah kita pun juga berbuat semacam itu. Lupa kalau pernah meributkannya. Seperti halnya ketika sudah menikah dan over kemesraan, bisa jadi kita sudah lupa bahwa kita pun dulu ketika lajang, pernah merasakan keirian dengan pasangan-pasangan yang sudah menikah, pernah jengkel (dan iri) dengan kemesraan mereka.

Ya, karena kehidupan begitu dinamis. Dan persoalan-persoalan tersebut, seringkali melibatkan 'rasa'. Padahal kita tidak selalu bisa merasakan 'rasa' dari orang yang kita komentari atau mengomentari kita ketika kita tidak mengalaminya sendiri. Kemudian ada konsistensi-konsistensi yang tidak bisa kita jaga karena kita melupakan rasa ketika belum mengalaminya. yah, karena kita akan selalu menghadapi situasi yang jungkirbalik. Bisa jadi kita akan menghadapi situasi-situasi seperti apa-apa yang dialami orang lain yang dulu kita komentari atau kita utak atik. Tidak ada yang bisa menjamin bukan ketika kita menilai dan mengomentari orang lain kamu kok begini begitu seharusnya begini begitu, maka kita kelak  tidak akan menghadapi situasi yang sama dengan orang tersebut?

Jika memang ternyata kita harus mengalaminya, semoga itu salah satu cara Allah untuk membuat kita mengerti mengenai 'rasa-rasa' itu dan memahami perilaku orang lain. 

yah, begitulah. Semoga Allah selalu menjaga lisan dan perilaku kita. Semoga, selalu ada pengingat ketika kita melakukan kekhilafan. Semoga selalu ada kemauan untuk bermuhasabah dan kesempatan untuk terus memperbaiki diri.

Jawa, 17 Juni 2012