Overestimate, Psikologi dan Serabi
Saya cukup terkesan dengan overestimate beberapa orang terhadap para mahasiswa dan mahasiswi psikologi. Yeah, mungkin tidak selalu overestimate, ada yang benar-benar nyata seperti itu, tetapi juga ada yang kadang-kadang hanyalah sebuah harapan yang masih harus senantiasa diperjuangkan.
Maka, akan menjadi nyengir tralala, ketika bertemu dengan orang baru, kemudian seseorang tersebut akan mengucapkan kalimat pertama seperti, "eh anak psikologi ya? berarti bisa baca kepribadianku dong? menurutmu aku ini orangnya gimana?" atau seperti ini , "wah bisa baca pikiran dong?"
*Dong. Kalau yang dimaksud dengan membaca pikiran adalah menebak angka apa yang sedang dia pikirkan, maka saya pikir, anak psikologi harus merebut kemampuan Edward Cullen.
Kembali lagi tentang anggapan orang lain yang mengesankan terhadap mahasiswa psikologi. Saya tipe rada galau-an. Ujung-ujungnya kalau lagi galau, saya curhat ke seseorang. Tapi badala dangdut bener kalau mood curhat saya langsung dipatahkan dengan kata-kata, "anak psikologi masak galau sih? anak psikologi masa stres sih? anak psikologi masa gak bisa memotivasi diri sendiri?"
Dan yang lebih nyesek lagi kalau sampai mendengar, 'mahasiswa psikologi yang gagal adalah mahasiswa psikologi yang stres ketika ngerjain skripsi." -leher mana leher-
Kembali lagi ke anggapan orang lain yang mengesankan tentang mahasiswa psikologi. Suatu hari di kampus, saya pernah mendapati dua orang dosen yang sedang kebingungan mencari ponsel mereka yang tiba-tiba raib. Entah beliau-beliau yang lupa meletakkannya atau bagaimana, tetapi beliau-beliau ini tampak wara wiri mencari di seputar kampus. Saya sempat mendengar mas-mas penjaga berkata yang intinya, "kemungkinan besar hape-nya cuma keselip dimana gitu. saya yakin gak mungkin ada anak psikologi sini yang mau ngambil hape."
Tentu saja saya terkesan dengan pendapat mas-mas tersebut. Memang selama saya kuliah di sini, saya belum pernah mendengar kabar kehebohan tentang barang yang hilang. Bicara tentang kejujuran, di kampus saya kini ada beberapa warung kejujuran. Misalnya warung kejujuran yang digelar di ruang himpunan mahasiswa jurusan dimana ada aneka makanan kering yang dijual, silahkan ambil dan silahkan bayar sendiri di tempatnya. Juga ada yang menyediakan alat tulis dengan metode sama. Mau print pun juga bisa, print sendiri dan bayar sendiri.
Baru-baru ini, warung kejujuran berkembang menjadi lebih maju dimana ada satu lapak lagi di dekat tempat parkir yang menjual aneka makanan basah seperti sosis, serabi, dadar gulung dan tahu bakso. Semuanya ditempatkan dalam wadah makanan, diberi label harga, diberi tempat uang sendiri-sendiri (karena yang nitip makanan orangnya beda-beda) dan semuanya diletakkan di meja panjang dekat tempat parkir. Yang mau makan tinggal ambil sambil cemplungin uang ke kotak uang sesuai dengan makanan yang diambil. Si empunya penitip makanan, yang juga anak-anak psikologi dari berbagai angkatan, meninggalkan kotak jualannya di sana lalu kuliah seperti biasa.
Hingga suatu hari....
Saya duduk di dekat lapak makanan basah tersebut. Dua anak psikologi duduk, satu ambil serabi, digigit separuh, dikunyah, bla-bla-bla, dan yang separuhnya lagi diletakkan di atas tutup wadah serabi lain yang masih utuh. Temannya menegur, kenapa tidak dihabiskan? anak itu hanya mengangkat bahu, berucap sesuatu, lalu segera berlalu meninggalkan sepotong sisa serabi yang telah digigitnya, di atas wadah berisi serabi lain yang masih utuh.
Saya bengong melihat perilaku semacam itu. Pertanyaannya adalah, kenapa dia meninggalkan serabi tersebut di sana? Tidak enakkah? Bukankah lebih sopan jika serabi tersebut dibuang tanpa diketahui pemilik serabinya dan bukan diletakkan begitu saja dengan kondisi sudah tergigit?
Atau dia meninggalkan serabinya untuk diambil lagi nanti? Entahlah, tapi sampai saya meninggalkan lapak itu, potongan serabi itu masih tetap berada di sana. Di luar apapun alasannya, sejujurnya, saya gemes melihat seseorang yang meninggalkan makanannya yang tidak habis di tempat terbuka padahal dia masih bisa membuangnya.
Pertama, tentu itu menyakiti orang lain. Orang yang membuat serabi, orang yang menjual serabi tersebut. Jika dia ingin memberitahu si penjual serabi jika serabinya tidak enak misalnya, maka tentu ada cara lain yang lebih berkelas untuk memberitahukannya. Saya pernah membaca sebuah cerita, bahwa para pencuci piring di warung makan sering merasa sedih jika mendapati makanan sisa banyak di piring-piring yang mereka cuci. Dengan kata lain, makanan yang tidak habis akan menyakiti orang yang mencuci piringnya. Lalu apakah kita harus memakan habis makanan yang tidak enak tersebut?
Sekali lagi, ada cara yang menurut saya lebih terhormat untuk memberitahukan ketidakenakan suatu makanan. JIka kita memutuskan suatu makanan kurang kita sukai, tentu akan lebih bijak jika kita memutuskan untuk tidak membelinya lagi. Toh enak tidak enak itu masalah selera. Jika kondisi masih memungkinkan bagi kita untuk membuang makanan yang tidak kita sukai tersebut, maka lebih baik menyingkirkannya daripada harus menyisakan di piring.
Kedua, perilaku seperti itu menyakiti calon pembeli lain. Dengan kata lain, menyakiti 'mata' calon pembeli lain. Bagaimana perasaan kalian jika kalian akan membeli makanan namun melihat ada makanan sisa yang sudah digigit nangkring di atas wadah makanan yang akan kalian beli?
Pada detik-detik setelah kejadian tersebut berlangsung, satu hal yang hinggap dalam pikiran saya, "itu benar perilaku anak psikologi?"
Saya tahu, kita semua memang harus banyak belajar. Ya, seperti itu. Tapi bahkan kini saya mengharapkan bahwa seharusnya anak psikologi tidak berperilaku seperti itu. Ah, saya pun mulai overestimate tentang bagaimana seharusnya anak psikologi berperilaku. Saya pun mulai berharap, seharusnya anak psikologi tidak begitu... Saya pun mulai berharap, seharusnya....
Semoga memang kelak ada penjelasan yang lebih lanjut sehingga saya dan orang lain pun akan selalu terkesan dengan perilaku anak psikologi :-).
Salam trisula.
*tanpa bermaksud menjelek-jelekkan.
Maka, akan menjadi nyengir tralala, ketika bertemu dengan orang baru, kemudian seseorang tersebut akan mengucapkan kalimat pertama seperti, "eh anak psikologi ya? berarti bisa baca kepribadianku dong? menurutmu aku ini orangnya gimana?" atau seperti ini , "wah bisa baca pikiran dong?"
*Dong. Kalau yang dimaksud dengan membaca pikiran adalah menebak angka apa yang sedang dia pikirkan, maka saya pikir, anak psikologi harus merebut kemampuan Edward Cullen.
Kembali lagi tentang anggapan orang lain yang mengesankan terhadap mahasiswa psikologi. Saya tipe rada galau-an. Ujung-ujungnya kalau lagi galau, saya curhat ke seseorang. Tapi badala dangdut bener kalau mood curhat saya langsung dipatahkan dengan kata-kata, "anak psikologi masak galau sih? anak psikologi masa stres sih? anak psikologi masa gak bisa memotivasi diri sendiri?"
Dan yang lebih nyesek lagi kalau sampai mendengar, 'mahasiswa psikologi yang gagal adalah mahasiswa psikologi yang stres ketika ngerjain skripsi." -leher mana leher-
Kembali lagi ke anggapan orang lain yang mengesankan tentang mahasiswa psikologi. Suatu hari di kampus, saya pernah mendapati dua orang dosen yang sedang kebingungan mencari ponsel mereka yang tiba-tiba raib. Entah beliau-beliau yang lupa meletakkannya atau bagaimana, tetapi beliau-beliau ini tampak wara wiri mencari di seputar kampus. Saya sempat mendengar mas-mas penjaga berkata yang intinya, "kemungkinan besar hape-nya cuma keselip dimana gitu. saya yakin gak mungkin ada anak psikologi sini yang mau ngambil hape."
Tentu saja saya terkesan dengan pendapat mas-mas tersebut. Memang selama saya kuliah di sini, saya belum pernah mendengar kabar kehebohan tentang barang yang hilang. Bicara tentang kejujuran, di kampus saya kini ada beberapa warung kejujuran. Misalnya warung kejujuran yang digelar di ruang himpunan mahasiswa jurusan dimana ada aneka makanan kering yang dijual, silahkan ambil dan silahkan bayar sendiri di tempatnya. Juga ada yang menyediakan alat tulis dengan metode sama. Mau print pun juga bisa, print sendiri dan bayar sendiri.
Baru-baru ini, warung kejujuran berkembang menjadi lebih maju dimana ada satu lapak lagi di dekat tempat parkir yang menjual aneka makanan basah seperti sosis, serabi, dadar gulung dan tahu bakso. Semuanya ditempatkan dalam wadah makanan, diberi label harga, diberi tempat uang sendiri-sendiri (karena yang nitip makanan orangnya beda-beda) dan semuanya diletakkan di meja panjang dekat tempat parkir. Yang mau makan tinggal ambil sambil cemplungin uang ke kotak uang sesuai dengan makanan yang diambil. Si empunya penitip makanan, yang juga anak-anak psikologi dari berbagai angkatan, meninggalkan kotak jualannya di sana lalu kuliah seperti biasa.
Hingga suatu hari....
Saya duduk di dekat lapak makanan basah tersebut. Dua anak psikologi duduk, satu ambil serabi, digigit separuh, dikunyah, bla-bla-bla, dan yang separuhnya lagi diletakkan di atas tutup wadah serabi lain yang masih utuh. Temannya menegur, kenapa tidak dihabiskan? anak itu hanya mengangkat bahu, berucap sesuatu, lalu segera berlalu meninggalkan sepotong sisa serabi yang telah digigitnya, di atas wadah berisi serabi lain yang masih utuh.
Saya bengong melihat perilaku semacam itu. Pertanyaannya adalah, kenapa dia meninggalkan serabi tersebut di sana? Tidak enakkah? Bukankah lebih sopan jika serabi tersebut dibuang tanpa diketahui pemilik serabinya dan bukan diletakkan begitu saja dengan kondisi sudah tergigit?
Atau dia meninggalkan serabinya untuk diambil lagi nanti? Entahlah, tapi sampai saya meninggalkan lapak itu, potongan serabi itu masih tetap berada di sana. Di luar apapun alasannya, sejujurnya, saya gemes melihat seseorang yang meninggalkan makanannya yang tidak habis di tempat terbuka padahal dia masih bisa membuangnya.
Pertama, tentu itu menyakiti orang lain. Orang yang membuat serabi, orang yang menjual serabi tersebut. Jika dia ingin memberitahu si penjual serabi jika serabinya tidak enak misalnya, maka tentu ada cara lain yang lebih berkelas untuk memberitahukannya. Saya pernah membaca sebuah cerita, bahwa para pencuci piring di warung makan sering merasa sedih jika mendapati makanan sisa banyak di piring-piring yang mereka cuci. Dengan kata lain, makanan yang tidak habis akan menyakiti orang yang mencuci piringnya. Lalu apakah kita harus memakan habis makanan yang tidak enak tersebut?
Sekali lagi, ada cara yang menurut saya lebih terhormat untuk memberitahukan ketidakenakan suatu makanan. JIka kita memutuskan suatu makanan kurang kita sukai, tentu akan lebih bijak jika kita memutuskan untuk tidak membelinya lagi. Toh enak tidak enak itu masalah selera. Jika kondisi masih memungkinkan bagi kita untuk membuang makanan yang tidak kita sukai tersebut, maka lebih baik menyingkirkannya daripada harus menyisakan di piring.
Kedua, perilaku seperti itu menyakiti calon pembeli lain. Dengan kata lain, menyakiti 'mata' calon pembeli lain. Bagaimana perasaan kalian jika kalian akan membeli makanan namun melihat ada makanan sisa yang sudah digigit nangkring di atas wadah makanan yang akan kalian beli?
Pada detik-detik setelah kejadian tersebut berlangsung, satu hal yang hinggap dalam pikiran saya, "itu benar perilaku anak psikologi?"
Saya tahu, kita semua memang harus banyak belajar. Ya, seperti itu. Tapi bahkan kini saya mengharapkan bahwa seharusnya anak psikologi tidak berperilaku seperti itu. Ah, saya pun mulai overestimate tentang bagaimana seharusnya anak psikologi berperilaku. Saya pun mulai berharap, seharusnya anak psikologi tidak begitu... Saya pun mulai berharap, seharusnya....
Semoga memang kelak ada penjelasan yang lebih lanjut sehingga saya dan orang lain pun akan selalu terkesan dengan perilaku anak psikologi :-).
Salam trisula.
*tanpa bermaksud menjelek-jelekkan.
Komentar
Posting Komentar