Ketika Jogja
Ada secuil ingatan yang tiba-tiba menyeruak ketika saya mengunjungi tetangga yang sedang berduka cita. Tidak hanya karena saya melihat airmata para puteri karena sedih ayahnya telah tiada, sang isteri yang jatuh pingsan serta aura-aura khas yang mengingatkan bahwa takdir tersebut akan menimpa siapapun. Juga, karena kali ini saya melihat prosesi pemandian jenazah, ibu-ibu yang mempersiapkan kain kafan, meributkan masalah kursi, meja, air dan sebagai sebagainya.
Dan dengan wajah polos (?), saya duduk di dekat bapak-bapak yang tengah sibuk balut membalut ikat mengikat kain kafan. Sementara puterinya duduk di sebelah saya sambil menangis, sementara saya, masih dengan wajah sedatar nampan, terdiam menatap jenazah yang dibalut kain putih tersebut.
Saya ingat Bapak saya. Waktu itu saya masih kecil dan tidak sedekat ini menyaksikan prosesi perawatan jenazah. Tidak melihat beliau dimandikan, dikafani, disholatkan dan lain-lain. Saya lupa kala itu saya sedang apa dan ingatan tentang prosesi tersebut lebih banyak saya dapatkan dari album foto proses pemakaman yang saya pun juga tidak tahu siapa yang mengabadikan momen-momen tersebut.
Saya pun ingat bahwa dulu ketika saya masih SMP dan Nenek meninggal, saya ketakutan bukan main untuk mendekat ke jenazahnya yang telah dikafani. Bahkan selepas tujuh hari Nenek meninggal, saya masih ketakutan sekali melihat sisa kapas dan kain kafan yang dulu digunakan. Bahkan saya menjerit-jerit ketika sepupu saya menggoda saya dengan cara melemparkan sisa kapas dan kain kafan tersebut ke arah saya.
Tetapi sekarang, saya justru berada dekat sekali dengan jenazah tersebut. Saya melihat wajahnya, menyaksikan prosesinya. Hal yang mungkin tidak berani saya lakukan ketika saya masih kecil. Ah, rasanya sungguh tak bisa saya perkirakan....
Jogja, 13 Mei 2012
Komentar
Posting Komentar