Jeruk rasa Jeruk
*sebuah catatan campur aduk
Setelah rebutan tempat minum dengan keponakan, muter-muter dengan gaun lebar warna hijau di hadapan keponakan seraya dikatain, "Bulik kayak putri daun singkong" (Glek!!!), akhirnya saya berangkat ke Solo. Sekelumit rencana berputar di otak saya, rasanya horor karena seperti ada gasing yang sedang manggung di dalam kepala.
Naik bis seperti biasa. Duduk bersama seorang nenek dan cucunya. Hawa mulai panas, udara khas pukul sebelas siang serta udara khas kawasan menuju kota Solo. Oh ya, saya baru ngeh beberapa tahun belakangan ini kalau hawa Solo itu didominasi panas. Kok bisa ya? Tetapi saya sering mengalami semacam jetlag (gak tau bahasa lain yang lebih keren) ketika melakukan perpindahan dari Jogja menuju kota Solo. Padahal Jogja bagian Prambanan bukan termasuk kawasan bersuhu dingin.
Maka, berkeringat-keringatlah saya di dalam bis. Ingatlah kemudian kalau saya belum minum kopi tadi pagi. Jadilah saya terkantuk-kantuk di dalam bis, pengen banget pindah ke deket jendela, naruh kepala di sana, tetapi nggak ada bangku nganggur. Kemudian datanglah hal yang bikin saya rada-rada stressun dengan perjalanan ini.
Saya ngantuk karena habis begadang, kepala udah sering tergeragap tiba-tiba kalau bis goyang sedikit. Keringetan dimana-mana. Gerah. Haus. Laper. Dan ini yang terpenting, macet!
Bayangkan, macet di kawasan menuju Solo. Di daerah Penggung menuju Delanggu. Bis
merayap-rayap, berhenti beberapa saat karena sedang ada perbaikan jalan. Perjalanan yang biasanya saya tempuh dalam waktu satu setengah jam, molor menjadi dua setengah jam.
Kepala saya cenut-cenut. Karena stres mikirin saya yang bawaannya pengen merem melulu, ditambah gerah, keringetan, lama nggak nyampe-nyampe tujuan, belum makan, belum minum, belum sholat, kangen suami, mikirin detlen. Lho, kok jadi mikirin yang lain-lain juga? Maklumlah, kalau lagi labil, biasanya pikiran jadi beranakpinak. Mikirin hal-hal lain yang bikin sedih, padahal nggak ada sangkut pautnya dengan kondisi sekarang yang sedang dihadapi.
Sampai di Solo, langsung teler di kosan teman. Jadi nggak konek. Masa beli makan siang, saya asal ceplos aja beli babat goreng? Padahal saya nggak doyan babat karena geli ngeliat bentuknya yang mirip handuk. Padahal aslinya saya pengen beli paru atau ati, tapi yang keluar di mulut malah babat. Eh setelah dibeli, ternyata penampakan babat goreng lebih manusiawi eh hewani ding ketimbang babat yang belum dimasak. Dan ternyata sodara-sodara, babat goreng enak lhooo....
hayyahh.
Jadi, intinya saya cuma mau bilang, sekarang saya tahu kenapa banyak temen di Jekardah sana yang menderita stres kerja gara-gara macet. Ternyata, begini toh rasanya terjebak macet ketika tengah dikejar detlen, lelah, udara panas menyala-nyala. Padahal macetnya cuma beberapa saat. Gimana kalo macetnya berjam-jam?
Wew...
Jeruk, memang baru ketauan rasa jeruknya kalau sudah dicicipin sendiri. Tidak sekedar
dikatakan atau dikeluhkan sebagai jeruk yang asem. Kalau ada tomat rasa kurma, mungkin itu lain lagi.
*apa sih?
udah menikah masiiih aja labil *eh?
BalasHapuspernikahan tidak akan menghilangkan kebiasaan labil :-p.
BalasHapusthemesnya serem banget sih, mbak...
BalasHapusijo2 lumut
dimana seremnya Dek?
BalasHapusKan keren warnanya, ada motif brokatnya lagi :-D