Benar dan Salah
Sebuah kamar di lantai dua, empat gadis, empat gelas, seteko sirup, empat susu yogurt, keripik singkong, pop corn dan roti.
Cuaca mendung.
Obrolan ringan ala kawan lama yang lama tak bersua pula. Kemudian...
"Sebenarnya, perasaan kami berdua biasa saja, santai dalam menghadapi hal tersebut. tetapi entah kenapa, justeru disikapi tidak biasa oleh orang-orang yang melihat kami berdua. Kenapa mereka justeru kasihan melihat kami? Padahal kami jauh lebih santai menghadapinya. Tetapi ketika melihat orang-orang yang melihat kami seperti itu, aku jadi berpikir ulang... apa iya kami memang seperti itu kelihatannya?"
Lalu hening.
"Iya, ternyata benar ya, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja pandangan orang lain kepada kita meskipun kita sendiri sekuat tenaga berusaha untuk menerima pikiran kita sendiri," timpal yang lain.
"Karena ketika kita tidak berpikir seperti kebanyakan orang, maka kita akan berpikir, kenapa kita tidak berpikir seperti mereka? Apakah pikiran kita yang salah?'
Benar dan salah, atau sebuah identitas seringkali diukur berdasarkan pandangan orang lain terhadap seseorang. Realitanya, memang sebuah ejekan lebih sering terngiang dibandingkan seribu pujian dan sayangnya, jarang sebuah pujian akan menjadi lebih diingat di antara seribu ejekan. Dan yang mematahkan realita tersebut, justeru sebenarnya adalah idealisme itu sendiri. Idealisme kita sendiri. Keyakinan kita sendiri untuk terus berpikir bahwa kita benar meskipun kita berbeda dari yang lain, keyakinan bahwa segalanya akan baik-baik saja, meskipun tetap tidak bisa dipungkiri, pengaruh pandangan orang lain itu akan tetap terasa.
*Inti dari obrolan ringan yang membuat kembali berpikir, bahwa perasaan orang lain tidak selalu sesuai seperti yang kita persepsikan
Solo, antara hujan dan cahaya.
Kek luqmanul hakim :)
BalasHapuseh iya ya, baru inget cerita itu :-)
BalasHapus