Matahari Selalu Dan Tak Pernah Sendiri
Lama Arlen terdiam, menatap mata coklat ayahnya yang digerus keriput di antara kelopak matanya. Ayahnya memandangnya dengan raut wajah yang baru pertama kali terbayang di benak Arlen. Campuran antara raut menderita, sedih serta perasaan sayang yang meluap-luap.
“Kini ayah hanya punya Arlen. Ayah nyaris tidak punya pekerjaan dan rumah. Ayah sudah kehilangan ibumu. Secara harga diri, ayah nyaris tidak punya apa-apa sebagai lelaki. Dan gadis di hadapan ayah ini adalah pemegang harga diri ayah satu-satunya. Gadis yang membuat ayah masih punya harga diri sebagai laki-laki,” kata ayahnya.
Arlen merasakan tusukan nyeri di hati yang menjalar hingga punggungnya. Punggungnya sakit sekali.
“Apapun yang ayah lakukan, apapun yang ayah raih dengan tangan ini, hampir semuanya untuk putri ayah. Ketika ayah menaiki tapak demi tapak tangga bambu untuk meraih sarang lawet, wajah gadis cantik bermata coklat ini selalu terbayang.”
Panas terasa menghimpit pelupuk mata Arlen. Benar-benar hal yang luar biasa ketika Arlen mengingat ayahnya mencoba membujuknya dengan cara merayu dengan kata-kata. Padahal Arlen tahu, bahwa lelaki ini punya banyak cinta yang lebih banyak dari kata yang mampu diucapkannya.
“Sebagian orang menganggap ayah aneh, bahkan mungkin gila karena keadaan. Sebut saja pohon beban kita, lukisan pasir kita, dandelion kita serta banyak hal yang dianggap orang lain aneh. Bertahun-tahun Arlen selalu bertanya, kenapa ayah melakukan semua ini. Kenapa ayah harus menggantung batu serta kertas di sebuah plastik dan menggantungkannya di pohon jeruk dan ayah akui itu sebagai beban ayah. Kenapa ayah selalu mengajak Arlen melukis di atas pasir setiap kali Arlen atau ayah sedang merasa sedih…”
“Ayah ingin, kita tahu perasaan kita masing-masing. Ayah ingin tahu apa yang Arlen rasakan, ayah ingin Arlen tahu apa yang ayah rasakan. Ayah sedang mengajari Arlen untuk mencoba memaafkan semua orang yang menyakiti hati kita,” bisik Arlen dengan susah payah, berusaha agar airmatanya tidak mendahului ucapannya.
Ayahnya menggeleng, dengan mata seperti danau yang akan meluap. “Sebenarnya, ayah hanya ingin memberikan Arlen kenangan.”
Airmata Arlen tertahan untuk meleleh. Ia memandang ayahnya, menatap lekat rambut keriting ayahnya yang sudah kelabu.
“Ayah tidak kaya. Ayah tidak punya sesuatu yang berlebih yang bias ayah berikan kepada putrid ayah. Ayah tidak punya permata, atau banyak hal yang bias digenggam Arlen sepanjang masa. Ayah hanya bias memberikan kenangan, sesuatu yang akan terus Arlen ingat sepanjang masa. Semakin aneh kenangan itu, maka semakin akan melekat kuat dalam ingatan.”
“karena itukah ayah banyak melakukan hal yang aneh?”
“Mungkin aneh. Tetapi hanya itu yang bisa ayah berikan. Ayah tidak punya apa-apa, nak. Kenangan-kenangan itu yang ayah harapkan kelak akan semakin hidup kala ayah sudah tiada. Karena kenangan itulah yang akan membuat kita selalu yakin bahwa ada orang yang membuat kenangan itu. Mereka nyata. Kenangan itu yang ayah harapkan bisa mengatakan keberadaannya ayah. Bahwa ayah memang pernah benar-benar ada. Bahwa Arlen memang punya ayah.”
Sedetik setelah kalimat ayahnya yang terakhir, Arlen meluncur memeluk ayahnya seraya menangis di bahu ayahnya. Ayahnya diam tanpa suara, hanya lengannya yang merengkuh punggung Arlen. Tiba-tiba saja Arlen merindukan aroma minyak kayu putih yang biasa dipakai ayahnya. Aroma itu sudah tidak terendus, berganti aroma garam laut. Lama ia menangis sampai tenggorokannya sakit hingga ia menyadari bahwa bahunya pun ikut basah.
Ayahnya menangis tanpa suara dan airmatanya membasahi bahu Arlen.
“Kalau Arlen tidak suka, ayah tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi bagi Arlen,”
Arlen melepaskan pelukannya, menatap wajah ayahnya yang basah.
“Tidak, ayah. Lakukan saja, apapun itu, Arlen senang karena Arlen sudah tahu alasannya.”
“Maafkan ayah. Ayah tidak punya sesuatu yang lebih baik untuk diberikan selain itu.”
*****
Matahari bahkan tidak tampak berkilauan di atas langit biru yang disaput selapis mendung. Gerimis baru saja reda, menyisakan titik-titik air pada dedaunan yang masih enggan membebaskannya. Pasir pantai nyaris basah keseluruhan, mendominasi sepanjang bibir pantai dengan warna gelap yang lembab. Sementara laut tidak tampak berkilauan, buram kecoklatan dengan ombak yang menderu-deru dan angin yang menampar-nampar pori-pori.
Arlen masih bertahan duduk memeluk lutut dalam naungan payung yang digenggam Asqi. Asqi pun bertahan dalam posisi yang ia ciptakan sejak setengah jam lalu, berjongkok di sebelah Arlen seraya menggenggam gagang payung yang terbuka.
“Seandainya saja, di depan kita ada tsunami, apakah Arlen tetap akan bertahan di sini?”
Itu tidak lucu, pikir Arlen.“Siapa tahu tsunami membawa jasad ayah.”
Arlen mendengar Asqi menghela nafas.
“Ketidakpastian itu jauh lebih menyakitkan. Aku tidak tahu, apakah harus terus berharap ataukah tidak. Berharap atau tidak berharap dalam hal ini benar-benar menyakitkan, sama-sama menyakitkannya.”
Angin laut terasa begitu tajam mengiris pori-pori kulit Arlen. Aroma garam bercampur amis menusuk hidungnya meskipun gerimis baru saja reda. Seharusnya gerimis mampu menaburkan aroma pasir basah, bukan amis darah.
Sementara ombak di dekat KarangBolong terlihat lebih ganas. Bergulung-gulung membentur karang dengan suara benturan yang tajam. Hanya terlihat satu dua burung walet yang tampak kebingungan. Musim panen memang menyisakan kebingungan sesaat bagi makhluk penghasil liur emas tersebut. Rumah mereka direbut paksa, tanah tempat mereka menghidupkan cinta, tiba-tiba saja hilang.
Ayahku hilang di sana, bisik Arlen.
Hari ini, hari ketiga. Pihak Dipenda masih mencoba mengusahakan pencarian meskipun kelihatannya mustahil. Siapa yang punya harapan untuk berharap bahwa ayahnya masih mampu hidup setelah tergelincir ke dalam gulungan ombak yang ganas seperti buaya mencari mangsa? Siapa pula yang berharap bahwa menemukan jasad ayahnya pun merupakan hal yang menyenangkan?
Arlen bahkan tidak tahu, yang mana yang sebenarnya menyakitkan.
“Lihat matahari di sana?” jemari Asqi menunjuk ke arah langit yang berwarna kelabu.
“Tidak ada matahari yang terlihat Mas. Sudah, jangan memaksa,” cetus Arlen.
Asqi akhirnya berselonjor, melipat payungnya dan meletakkannya di sebelah kakinya.
“Ada berapa matahari, Arlen?”
Arlen menoleh, merasa jengkel dengan pertanyaan Asqi. “Kalau Mas Asqi ingin menghibur, cobalah menghibur dengan cara yang lebih baik.”
“Ada berapa jumlah bintang, Arlen?” Asqi seperti tidak peduli dengan teguran Arlen.
Arlen menatap Asqi. “Mas Asqi tahu jawabannya?”
“Matahari hanya satu, tetapi bintang ada banyak. Matahari selalu sendiri, tetapi bintang-bintang tak pernah sendiri.”
“Lalu?”
“Matahari selalu dan tak pernah sendiri,” jawab Asqi singkat seraya bangkit dari duduknya.
Arlen mendongak memandang kea rah Asqi yang tengah mengibas-ngibaskan pasir di celananya. Jangan-jangan sepupunya ini juga sama gendengnya dengan bapaknya?
Asqi memutar tubuhnya dan Arlen membiarkannya berlalu meskipun ia lebih suka Asqi tetap berada di sebelahnya. Ia hanya memandang langkah tertatih Asqi yang memetakan jejak-jejak kaki di pasir basah sedalam tiga senti. Pemuda itu pasti punya emosi yang dalam, jejak kakinya melesak terlalu dalam.
Aroma laut dan debur ombak membawa Arlen kembali kepada apa yang tengah ia sedihkan.
Hanya karena ia belum melihat jasad Ayahnya. Hanya karena ia belum benar-benar melihat, mengguncang tubuh ayahnya untuk menyakini bahwa ayahnya memang sudah tak bernyawa. Hanya karena ia belum memastikan bahwa jantung ayahnya telah berhenti berdetak. Hanya karena ia belum merasakan dinginnya kulit orang yang sudah tak bernyawa. Hanya karena ia belum merasakan airmata orang-orang meleleh-leleh menangisi kepergian ayahnya.
Apa salahnya berharap?
Meskipun Arlen tidak tahu, mana yang lebih ia harapkan, apakah menemukan ayahnya dalam keadaan hidup ataukah menemukan jasad ayahnya.
Sekali lagi, ketidakpastian terkadang jauh lebih menyakitkan dari kepastian yang paling menyakitkan.
Langit semakin gelap dan air semakin mendekati Arlen. Setiap debur ombak yang menelusup di telinga Arlen seperti hentakan genderang yang menyakitkan hatinya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk dan ketidakmampuannya menangis, membuat hatinya semakin nyeri.
Jemarinya bergerak di atas pasir basah.
Ayah. Ayah. Ayah.
Angin yang menderu tidak mampu menghapus jejak pada pasir basah. Arlen terus memandangi tiga kata tersebut dan ia nyaris gila merasakan kesedihan yang tumpah ruah tanpa diimbangi dengan airmata.
Sekarang ia baru menyadari rasanya. Sekarang ia baru tahu bahwa kenangan yang terlalu kuat ditempelkan pun akan sangat menyakitkan. Setiap ia melihat pantai, laut, pasir, pohon jeruk, dandelion, batu, karang, bahkan kantong plastik hitam, ingatannya akan segera melayang kepada Ayahnya secepat cheetah berlari.
****
“Arlen?” Terdengar jerit Elia ketika Arlen menyebutkan namanya. “Masya Allah, kemana saja selama ini? kenapa tidak pernah mengabari? Aku pikir terjadi sesuatu denganmu karena Budhe Kamti juga tidak selalu mengetahui kabarmu.”
Arlen menghela nafas. Budhe Kamti tidak selalu mengetahui kabarnya? Berarti Asqi tidak bilang apa-apa pada ibunya bahwa Asqi berhasil melacak Arlen...
“Elia, aku baik-baik saja. Sekarang aku berada di Kebumen, bersama dengan dosenku yang akan memotret dan mengambil sampel batuan. Iya, baiklah, aku kuliah di teknik geologi UI. Iya masih sama tidak ada yang berubah. Kamu baik-baik saja kan? Syukurlah. Begini Elia, mungkin aku butuh tempat menginap selama beberapa hari, masalahnya aku hanya datang berdua dengan dosenku dan aku pikir tidak begitu etis jika aku terlalu lama berada satu wisma dengannya.”
“Tidak masalah Arlen. Hanya saja apakah kamu sudah menyiapkan jawaban jika Ibuku bertanya kenapa kamu memilih menginap di tempatku daripada di tempat Budhe Kamti?”
“Aku tidak ingin Budhe Kamti tahu aku berada di Kebumen. Ibumu pasti mengerti dengan kondisiku saat ini.”
“Baiklah Arlen. Silahkan datang kapanpun, tapi kabari dulu jika kamu mau datang. Ngomong-ngomong, apakah kamu ingat kalau sekarang musim pengunduhan walet? Besok ada pagelaran wayang kulit di gua.”
Gagang telpon terasa dingin menempel di kulit pipi Arlen. Ia terlalu sibuk memikirkan bagaimana menghindari Asqi hingga lupa bahwa tanah kelahirannya ini masih punya tradisi pengunduhan walet. Masih jelas dalam ingatannya ketika mereka larut dalam sukacita semalam suntuk mendengarkan Ki Dalang memainkan lakon wayang kulit dan keesokan harinya Arlen nyaris pingsan karena mendengar kabar bahwa ayahnya jatuh tenggelam terbawa gelombang.
Panas mulai menjalari mata Arlen. Ia menghela nafas, mengucapkan salam dan mewanti-wanti lalu menutup telpon. Selepas itu ia bersandar di pintu kamar memandang cermin yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan gurat-gurat kelelahan akibat perjalanan.
Ada apa ini?
Pukul delapan malam, Ryu mengajaknya makan di saung dekat wisma. Lelaki itu sudah berada di sana ketika Arlen muncul. Ia tengah memandangi kameranya.
“Sensei pergi kemana tadi ?”
Ryu tertawa. “Entahlah. Berkeliling menelusuri jalanan di sini, berburu foto sendirian. Hmm menyenangkan. Oh ya Arlen, apakah ada sesuatu yang tidak anda sukai di tempat ini?”
Arlen mengerutkan kening. “Kenapa anda menanyakan hal tersebut?”
“Yahh, saya hanya berpikir, jikalau ada seseorang yang merasa tidak nyaman berada di suatu tempat, maka kemungkinan besar ia punya sesuatu yang tidak ia sukai di tempat tersebut.”
Arlen menghela nafas. Terdiam selama beberapa saat.
“Kalau anda sudah pernah melihat gua Karang Bolong, maka anda mungkin akan tahu.”
Bola mata Ryu melebar. “Anda tidak menyukai Karang Bolong?”
“Ayah saya mungkin meninggal di sana. Tenggelam terbawa gelombang dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Hingga sekarang.”
Roman wajah Ryu langsung berubah. “Oh maafkan saya, Arlen. Saya benar-benar minta maaf.”
Arlen berusaha tampil sewajarnya. Ia hanya mengangguk.
“Saya sebatangkara. Satu-satunya saudara ayah saya, berselisih paham dengan ayah saya dan saya tidak pernah ingin mengusik keluarga itu lagi,” kata Arlen.
Ryu hanya mengangguk-angguk. “Saya mungkin bias memahami ini. Bukan hal yang mudah jika kita kembali ke tempat-tempat yang membekaskan kenangan bagi kita. Apalagi jika kita pernah kehilangan orang yang kita cintai.”
“Saya sebatangkara,” ulang Arlen.
Ryu menaikkan alis. “Tidak ada siapa-siapa lagi?”
“Memangnya kenapa?”
“Karena gesture anda menunjukkan bahwa anda sebenarnya tidak hanya sedih kembali ke sini karena tempat ini punya banyak kenangan untuk anda, tetapi juga karena masih ada entah seseorang atau beberapa orang yang tidak ingin anda temui untuk saat ini.”
Arlen tercekat dan memandang Ryu lekat-lekat. Ia tidak pernah tahu bagaimana Ryu bias menebak hal tersebut. Lelaki itu membenahi kacamatanya seraya menunduk mengutak-atik kameranya seolah olah tidak habis mengatakan sesuatu yang membuat Arlen terkejut.
“Ya,” kata Arlen lirih. “Ada seseorang.”
Ryu mendongak dan meletakkan kameranya. Ia memandang Arlen, siap mendengarkan.
Setelah sekian lama tidak membicarakan Asqi, tiba-tiba saja dada Arlen terasa sesak dan ia sangat-sangat ingin membagi cerita mengenai Asqi. Apa salahnya jika ia sekarang menceritakan mengenai Asqi kepada Ryu? Ryu tidak mengenal Asqi sama sekali dan lelaki itu adalah mantan dosennya, bisa disejajarkan dengan kakak. Ryu juga akan segera meninggalkan negara ini untuk kembali ke negaranya.
Mata Arlen terasa panas ketika memikirkan kemungkinan tersebut. Ryu masih memandangnya dan tiba-tiba saja berkata perlahan.
“Apakah ini tentang seseorang di masa lalu yang pernah anda cintai sampai sekarang?”
“Apakah anda pernah mencintai seseorang selama bertahun-tahun lamanya?”
Ryu menggeleng. “Saya tidak pernah memelihara cinta masa kecil saya hingga sekarang. Apa yang sekarang akan menjadi hak saya yang akan saya cintai.”
“Ehmm bagaimana caranya?”
“Sederhana saja, melapangkan hati atau meluaskan ruang hati untuk mencintai yang lain lagi. Jika seseorang yang lain itu telah mendominasi hati, maka cinta itu akan mendesak cinta yang lain untuk pergi, keluar dari hati,” kata Ryu. “Tapi saya sendiri tidak pernah beranggapan bahwa orang yang mencintai satu orang yang sama selama bertahun-tahun adalah orang yang bodoh. Kadangkala saya pikir bahwa mereka itu justru orang yang hebat dan kuat karena mampu bertahan untuk mencintai seseorang dalam waktu yang lama. Kenapa anda tidak bertahan untuk mendapatkannya?”
Itu pertanyaan yang membuat Arlen terpaku. Roman wajah Ryu sama sekali tidak menunjukkan perubahan.
“Dia sudah menikah,” kata Arlen.
Wajah Ryu langsung menegang dengan garis mata yang semakin tertarik ke belakang. “Apakah itu terjadi sekitar dua tahun lalu, ketika anda menangis di dekat pantai?”
Tiba-tiba saja Arlen tertawa. Ingat ia berderai-derai airmata di pinggir pantai ketika Ryu tengah memotretnya. Ia masih mengenakan rok batik yang digunakan di pernikahan Asqi, menghapus segala macam coreng moreng make up yang melekat di wajahnya, membawa sehelai selendang putih dan melangkah terseret-seret menyusuri panasnya pasir pantai pada pukul satu siang dengan kaki berbalut kaos kaki saja.
“Kenapa anda tertawa?”
“Merasa lucu,” kata Arlen.
****
Mencintai adalah persoalan kemauan dan takdir.
(Surakarta, tanggal lupa bulan lupa tahun 2010)
“Kini ayah hanya punya Arlen. Ayah nyaris tidak punya pekerjaan dan rumah. Ayah sudah kehilangan ibumu. Secara harga diri, ayah nyaris tidak punya apa-apa sebagai lelaki. Dan gadis di hadapan ayah ini adalah pemegang harga diri ayah satu-satunya. Gadis yang membuat ayah masih punya harga diri sebagai laki-laki,” kata ayahnya.
Arlen merasakan tusukan nyeri di hati yang menjalar hingga punggungnya. Punggungnya sakit sekali.
“Apapun yang ayah lakukan, apapun yang ayah raih dengan tangan ini, hampir semuanya untuk putri ayah. Ketika ayah menaiki tapak demi tapak tangga bambu untuk meraih sarang lawet, wajah gadis cantik bermata coklat ini selalu terbayang.”
Panas terasa menghimpit pelupuk mata Arlen. Benar-benar hal yang luar biasa ketika Arlen mengingat ayahnya mencoba membujuknya dengan cara merayu dengan kata-kata. Padahal Arlen tahu, bahwa lelaki ini punya banyak cinta yang lebih banyak dari kata yang mampu diucapkannya.
“Sebagian orang menganggap ayah aneh, bahkan mungkin gila karena keadaan. Sebut saja pohon beban kita, lukisan pasir kita, dandelion kita serta banyak hal yang dianggap orang lain aneh. Bertahun-tahun Arlen selalu bertanya, kenapa ayah melakukan semua ini. Kenapa ayah harus menggantung batu serta kertas di sebuah plastik dan menggantungkannya di pohon jeruk dan ayah akui itu sebagai beban ayah. Kenapa ayah selalu mengajak Arlen melukis di atas pasir setiap kali Arlen atau ayah sedang merasa sedih…”
“Ayah ingin, kita tahu perasaan kita masing-masing. Ayah ingin tahu apa yang Arlen rasakan, ayah ingin Arlen tahu apa yang ayah rasakan. Ayah sedang mengajari Arlen untuk mencoba memaafkan semua orang yang menyakiti hati kita,” bisik Arlen dengan susah payah, berusaha agar airmatanya tidak mendahului ucapannya.
Ayahnya menggeleng, dengan mata seperti danau yang akan meluap. “Sebenarnya, ayah hanya ingin memberikan Arlen kenangan.”
Airmata Arlen tertahan untuk meleleh. Ia memandang ayahnya, menatap lekat rambut keriting ayahnya yang sudah kelabu.
“Ayah tidak kaya. Ayah tidak punya sesuatu yang berlebih yang bias ayah berikan kepada putrid ayah. Ayah tidak punya permata, atau banyak hal yang bias digenggam Arlen sepanjang masa. Ayah hanya bias memberikan kenangan, sesuatu yang akan terus Arlen ingat sepanjang masa. Semakin aneh kenangan itu, maka semakin akan melekat kuat dalam ingatan.”
“karena itukah ayah banyak melakukan hal yang aneh?”
“Mungkin aneh. Tetapi hanya itu yang bisa ayah berikan. Ayah tidak punya apa-apa, nak. Kenangan-kenangan itu yang ayah harapkan kelak akan semakin hidup kala ayah sudah tiada. Karena kenangan itulah yang akan membuat kita selalu yakin bahwa ada orang yang membuat kenangan itu. Mereka nyata. Kenangan itu yang ayah harapkan bisa mengatakan keberadaannya ayah. Bahwa ayah memang pernah benar-benar ada. Bahwa Arlen memang punya ayah.”
Sedetik setelah kalimat ayahnya yang terakhir, Arlen meluncur memeluk ayahnya seraya menangis di bahu ayahnya. Ayahnya diam tanpa suara, hanya lengannya yang merengkuh punggung Arlen. Tiba-tiba saja Arlen merindukan aroma minyak kayu putih yang biasa dipakai ayahnya. Aroma itu sudah tidak terendus, berganti aroma garam laut. Lama ia menangis sampai tenggorokannya sakit hingga ia menyadari bahwa bahunya pun ikut basah.
Ayahnya menangis tanpa suara dan airmatanya membasahi bahu Arlen.
“Kalau Arlen tidak suka, ayah tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi bagi Arlen,”
Arlen melepaskan pelukannya, menatap wajah ayahnya yang basah.
“Tidak, ayah. Lakukan saja, apapun itu, Arlen senang karena Arlen sudah tahu alasannya.”
“Maafkan ayah. Ayah tidak punya sesuatu yang lebih baik untuk diberikan selain itu.”
*****
Matahari bahkan tidak tampak berkilauan di atas langit biru yang disaput selapis mendung. Gerimis baru saja reda, menyisakan titik-titik air pada dedaunan yang masih enggan membebaskannya. Pasir pantai nyaris basah keseluruhan, mendominasi sepanjang bibir pantai dengan warna gelap yang lembab. Sementara laut tidak tampak berkilauan, buram kecoklatan dengan ombak yang menderu-deru dan angin yang menampar-nampar pori-pori.
Arlen masih bertahan duduk memeluk lutut dalam naungan payung yang digenggam Asqi. Asqi pun bertahan dalam posisi yang ia ciptakan sejak setengah jam lalu, berjongkok di sebelah Arlen seraya menggenggam gagang payung yang terbuka.
“Seandainya saja, di depan kita ada tsunami, apakah Arlen tetap akan bertahan di sini?”
Itu tidak lucu, pikir Arlen.“Siapa tahu tsunami membawa jasad ayah.”
Arlen mendengar Asqi menghela nafas.
“Ketidakpastian itu jauh lebih menyakitkan. Aku tidak tahu, apakah harus terus berharap ataukah tidak. Berharap atau tidak berharap dalam hal ini benar-benar menyakitkan, sama-sama menyakitkannya.”
Angin laut terasa begitu tajam mengiris pori-pori kulit Arlen. Aroma garam bercampur amis menusuk hidungnya meskipun gerimis baru saja reda. Seharusnya gerimis mampu menaburkan aroma pasir basah, bukan amis darah.
Sementara ombak di dekat KarangBolong terlihat lebih ganas. Bergulung-gulung membentur karang dengan suara benturan yang tajam. Hanya terlihat satu dua burung walet yang tampak kebingungan. Musim panen memang menyisakan kebingungan sesaat bagi makhluk penghasil liur emas tersebut. Rumah mereka direbut paksa, tanah tempat mereka menghidupkan cinta, tiba-tiba saja hilang.
Ayahku hilang di sana, bisik Arlen.
Hari ini, hari ketiga. Pihak Dipenda masih mencoba mengusahakan pencarian meskipun kelihatannya mustahil. Siapa yang punya harapan untuk berharap bahwa ayahnya masih mampu hidup setelah tergelincir ke dalam gulungan ombak yang ganas seperti buaya mencari mangsa? Siapa pula yang berharap bahwa menemukan jasad ayahnya pun merupakan hal yang menyenangkan?
Arlen bahkan tidak tahu, yang mana yang sebenarnya menyakitkan.
“Lihat matahari di sana?” jemari Asqi menunjuk ke arah langit yang berwarna kelabu.
“Tidak ada matahari yang terlihat Mas. Sudah, jangan memaksa,” cetus Arlen.
Asqi akhirnya berselonjor, melipat payungnya dan meletakkannya di sebelah kakinya.
“Ada berapa matahari, Arlen?”
Arlen menoleh, merasa jengkel dengan pertanyaan Asqi. “Kalau Mas Asqi ingin menghibur, cobalah menghibur dengan cara yang lebih baik.”
“Ada berapa jumlah bintang, Arlen?” Asqi seperti tidak peduli dengan teguran Arlen.
Arlen menatap Asqi. “Mas Asqi tahu jawabannya?”
“Matahari hanya satu, tetapi bintang ada banyak. Matahari selalu sendiri, tetapi bintang-bintang tak pernah sendiri.”
“Lalu?”
“Matahari selalu dan tak pernah sendiri,” jawab Asqi singkat seraya bangkit dari duduknya.
Arlen mendongak memandang kea rah Asqi yang tengah mengibas-ngibaskan pasir di celananya. Jangan-jangan sepupunya ini juga sama gendengnya dengan bapaknya?
Asqi memutar tubuhnya dan Arlen membiarkannya berlalu meskipun ia lebih suka Asqi tetap berada di sebelahnya. Ia hanya memandang langkah tertatih Asqi yang memetakan jejak-jejak kaki di pasir basah sedalam tiga senti. Pemuda itu pasti punya emosi yang dalam, jejak kakinya melesak terlalu dalam.
Aroma laut dan debur ombak membawa Arlen kembali kepada apa yang tengah ia sedihkan.
Hanya karena ia belum melihat jasad Ayahnya. Hanya karena ia belum benar-benar melihat, mengguncang tubuh ayahnya untuk menyakini bahwa ayahnya memang sudah tak bernyawa. Hanya karena ia belum memastikan bahwa jantung ayahnya telah berhenti berdetak. Hanya karena ia belum merasakan dinginnya kulit orang yang sudah tak bernyawa. Hanya karena ia belum merasakan airmata orang-orang meleleh-leleh menangisi kepergian ayahnya.
Apa salahnya berharap?
Meskipun Arlen tidak tahu, mana yang lebih ia harapkan, apakah menemukan ayahnya dalam keadaan hidup ataukah menemukan jasad ayahnya.
Sekali lagi, ketidakpastian terkadang jauh lebih menyakitkan dari kepastian yang paling menyakitkan.
Langit semakin gelap dan air semakin mendekati Arlen. Setiap debur ombak yang menelusup di telinga Arlen seperti hentakan genderang yang menyakitkan hatinya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk dan ketidakmampuannya menangis, membuat hatinya semakin nyeri.
Jemarinya bergerak di atas pasir basah.
Ayah. Ayah. Ayah.
Angin yang menderu tidak mampu menghapus jejak pada pasir basah. Arlen terus memandangi tiga kata tersebut dan ia nyaris gila merasakan kesedihan yang tumpah ruah tanpa diimbangi dengan airmata.
Sekarang ia baru menyadari rasanya. Sekarang ia baru tahu bahwa kenangan yang terlalu kuat ditempelkan pun akan sangat menyakitkan. Setiap ia melihat pantai, laut, pasir, pohon jeruk, dandelion, batu, karang, bahkan kantong plastik hitam, ingatannya akan segera melayang kepada Ayahnya secepat cheetah berlari.
****
“Arlen?” Terdengar jerit Elia ketika Arlen menyebutkan namanya. “Masya Allah, kemana saja selama ini? kenapa tidak pernah mengabari? Aku pikir terjadi sesuatu denganmu karena Budhe Kamti juga tidak selalu mengetahui kabarmu.”
Arlen menghela nafas. Budhe Kamti tidak selalu mengetahui kabarnya? Berarti Asqi tidak bilang apa-apa pada ibunya bahwa Asqi berhasil melacak Arlen...
“Elia, aku baik-baik saja. Sekarang aku berada di Kebumen, bersama dengan dosenku yang akan memotret dan mengambil sampel batuan. Iya, baiklah, aku kuliah di teknik geologi UI. Iya masih sama tidak ada yang berubah. Kamu baik-baik saja kan? Syukurlah. Begini Elia, mungkin aku butuh tempat menginap selama beberapa hari, masalahnya aku hanya datang berdua dengan dosenku dan aku pikir tidak begitu etis jika aku terlalu lama berada satu wisma dengannya.”
“Tidak masalah Arlen. Hanya saja apakah kamu sudah menyiapkan jawaban jika Ibuku bertanya kenapa kamu memilih menginap di tempatku daripada di tempat Budhe Kamti?”
“Aku tidak ingin Budhe Kamti tahu aku berada di Kebumen. Ibumu pasti mengerti dengan kondisiku saat ini.”
“Baiklah Arlen. Silahkan datang kapanpun, tapi kabari dulu jika kamu mau datang. Ngomong-ngomong, apakah kamu ingat kalau sekarang musim pengunduhan walet? Besok ada pagelaran wayang kulit di gua.”
Gagang telpon terasa dingin menempel di kulit pipi Arlen. Ia terlalu sibuk memikirkan bagaimana menghindari Asqi hingga lupa bahwa tanah kelahirannya ini masih punya tradisi pengunduhan walet. Masih jelas dalam ingatannya ketika mereka larut dalam sukacita semalam suntuk mendengarkan Ki Dalang memainkan lakon wayang kulit dan keesokan harinya Arlen nyaris pingsan karena mendengar kabar bahwa ayahnya jatuh tenggelam terbawa gelombang.
Panas mulai menjalari mata Arlen. Ia menghela nafas, mengucapkan salam dan mewanti-wanti lalu menutup telpon. Selepas itu ia bersandar di pintu kamar memandang cermin yang memantulkan wajahnya yang penuh dengan gurat-gurat kelelahan akibat perjalanan.
Ada apa ini?
Pukul delapan malam, Ryu mengajaknya makan di saung dekat wisma. Lelaki itu sudah berada di sana ketika Arlen muncul. Ia tengah memandangi kameranya.
“Sensei pergi kemana tadi ?”
Ryu tertawa. “Entahlah. Berkeliling menelusuri jalanan di sini, berburu foto sendirian. Hmm menyenangkan. Oh ya Arlen, apakah ada sesuatu yang tidak anda sukai di tempat ini?”
Arlen mengerutkan kening. “Kenapa anda menanyakan hal tersebut?”
“Yahh, saya hanya berpikir, jikalau ada seseorang yang merasa tidak nyaman berada di suatu tempat, maka kemungkinan besar ia punya sesuatu yang tidak ia sukai di tempat tersebut.”
Arlen menghela nafas. Terdiam selama beberapa saat.
“Kalau anda sudah pernah melihat gua Karang Bolong, maka anda mungkin akan tahu.”
Bola mata Ryu melebar. “Anda tidak menyukai Karang Bolong?”
“Ayah saya mungkin meninggal di sana. Tenggelam terbawa gelombang dan jasadnya tidak pernah ditemukan. Hingga sekarang.”
Roman wajah Ryu langsung berubah. “Oh maafkan saya, Arlen. Saya benar-benar minta maaf.”
Arlen berusaha tampil sewajarnya. Ia hanya mengangguk.
“Saya sebatangkara. Satu-satunya saudara ayah saya, berselisih paham dengan ayah saya dan saya tidak pernah ingin mengusik keluarga itu lagi,” kata Arlen.
Ryu hanya mengangguk-angguk. “Saya mungkin bias memahami ini. Bukan hal yang mudah jika kita kembali ke tempat-tempat yang membekaskan kenangan bagi kita. Apalagi jika kita pernah kehilangan orang yang kita cintai.”
“Saya sebatangkara,” ulang Arlen.
Ryu menaikkan alis. “Tidak ada siapa-siapa lagi?”
“Memangnya kenapa?”
“Karena gesture anda menunjukkan bahwa anda sebenarnya tidak hanya sedih kembali ke sini karena tempat ini punya banyak kenangan untuk anda, tetapi juga karena masih ada entah seseorang atau beberapa orang yang tidak ingin anda temui untuk saat ini.”
Arlen tercekat dan memandang Ryu lekat-lekat. Ia tidak pernah tahu bagaimana Ryu bias menebak hal tersebut. Lelaki itu membenahi kacamatanya seraya menunduk mengutak-atik kameranya seolah olah tidak habis mengatakan sesuatu yang membuat Arlen terkejut.
“Ya,” kata Arlen lirih. “Ada seseorang.”
Ryu mendongak dan meletakkan kameranya. Ia memandang Arlen, siap mendengarkan.
Setelah sekian lama tidak membicarakan Asqi, tiba-tiba saja dada Arlen terasa sesak dan ia sangat-sangat ingin membagi cerita mengenai Asqi. Apa salahnya jika ia sekarang menceritakan mengenai Asqi kepada Ryu? Ryu tidak mengenal Asqi sama sekali dan lelaki itu adalah mantan dosennya, bisa disejajarkan dengan kakak. Ryu juga akan segera meninggalkan negara ini untuk kembali ke negaranya.
Mata Arlen terasa panas ketika memikirkan kemungkinan tersebut. Ryu masih memandangnya dan tiba-tiba saja berkata perlahan.
“Apakah ini tentang seseorang di masa lalu yang pernah anda cintai sampai sekarang?”
“Apakah anda pernah mencintai seseorang selama bertahun-tahun lamanya?”
Ryu menggeleng. “Saya tidak pernah memelihara cinta masa kecil saya hingga sekarang. Apa yang sekarang akan menjadi hak saya yang akan saya cintai.”
“Ehmm bagaimana caranya?”
“Sederhana saja, melapangkan hati atau meluaskan ruang hati untuk mencintai yang lain lagi. Jika seseorang yang lain itu telah mendominasi hati, maka cinta itu akan mendesak cinta yang lain untuk pergi, keluar dari hati,” kata Ryu. “Tapi saya sendiri tidak pernah beranggapan bahwa orang yang mencintai satu orang yang sama selama bertahun-tahun adalah orang yang bodoh. Kadangkala saya pikir bahwa mereka itu justru orang yang hebat dan kuat karena mampu bertahan untuk mencintai seseorang dalam waktu yang lama. Kenapa anda tidak bertahan untuk mendapatkannya?”
Itu pertanyaan yang membuat Arlen terpaku. Roman wajah Ryu sama sekali tidak menunjukkan perubahan.
“Dia sudah menikah,” kata Arlen.
Wajah Ryu langsung menegang dengan garis mata yang semakin tertarik ke belakang. “Apakah itu terjadi sekitar dua tahun lalu, ketika anda menangis di dekat pantai?”
Tiba-tiba saja Arlen tertawa. Ingat ia berderai-derai airmata di pinggir pantai ketika Ryu tengah memotretnya. Ia masih mengenakan rok batik yang digunakan di pernikahan Asqi, menghapus segala macam coreng moreng make up yang melekat di wajahnya, membawa sehelai selendang putih dan melangkah terseret-seret menyusuri panasnya pasir pantai pada pukul satu siang dengan kaki berbalut kaos kaki saja.
“Kenapa anda tertawa?”
“Merasa lucu,” kata Arlen.
****
Mencintai adalah persoalan kemauan dan takdir.
(Surakarta, tanggal lupa bulan lupa tahun 2010)
wah... bagus, mbak
BalasHapus(apanya?)
iya Dek, apanya yg bagus?
BalasHapus