Bapak-Bapak
Malam-malam, seorang lelaki setengah baya berdiri di hadapan kasir sebuah minimarket bersama putranya yang masih kecil. Di meja kasir teronggok dua buah barang yaitu paket peralatan tulis berwarna pink dan sebuah multivitamin khusus anak. Raut wajahnya tampak cemas bercampur was-was kala sang kasir menyebutkan total nominal barang yang dibeli.
"Uangnya nggak cukup le, multivitaminnya aja ya?" bujuknya kepada sang putra.
Putranya merengek-rengek tak mau dan nyaris menangis. Mereka bergerak menjauhi kasir, belum membayar barang karena antrian di kasir sedang banyak. Di dekat etalase obat-obatan, sang ayah masih mencoba membujuk putranya.
"Yang ini aja ya le?" bujuknya kepada sang putra, memperlihatkan benda lain yang diharapkan mampu mengganti keinginan putranya pada peralatan tulis berwarna pink tersebut.
Putranya tetap tidak mau, bahkan mulai menangis. Sang ayah mulai putus asa, memperlihatkan selembar uang kepada putranya.
"Uang bapak cuma segini. Nggak cukup kalau buat beli ini," Raut wajah lelaki itu mulai memprihatinkan. Campuran antara malu, cemas, was-was serta kemauan untuk menuruti keinginan putranya.
****
Suatu pagi di sudut rumah sakit jiwa Yogyakarta.
Seorang lelaki setengah baya duduk di depan loket pendaftaran rawat inap bersama dengan beberapa orang yang tengah kontrol rutin. Lelaki itu terdiam, dengan kemeja warna putih campur kekuningan yang semakin mempertegas raut kesedihannya. Lelaki itu mulai bereaksi ketika putrinya, seorang gadis manis berusia dua puluh tahun, bergerak mendekati beberapa mahasiswa magang yang tengah duduk di dekat poliklinik jiwa.
Gadis itu tertawa, mengajak bicara para mahasiswa magang yang segera saja tahu bahwa gadis ini tengah dipersiapkan untuk masuk ke salah satu bangsal psikiatri level pertama di Rumah sakit jiwa tersebut. Gadis itu menyuruh salah satu mahasiswa magang untuk mengancingkan jas almamaternya, menanyakan ini itu dengan tempo cepat, logore (banyak bicara), topik pembicaraan yang melompat-lompat ke sana kemari.
lelaki setengah baya tersebut mendekat ke arah putrinya dan para mahasiswa magang, berdiri dengan jarak kira-kira tiga meter dari mereka dengan sikap waspada. Raut wajahnya menampakkan kekhawatiran jika putrinya melakukan sesuatu yang akan mencelakakan para mahasiswa magang. Lelaki itu menatap para mahasiswa magang dan dari senyumnya yang dipaksakan, lelaki itu meminta pemakluman dan pengertian atas apa-apa yang dilakukan putrinya.
Putrinya melihat ayahnya berdiri diam dengan jarak tiga meter dari tempat ia tengah bercakap-cakap dengan para mahasiswa magang. Dengan riang, sang putri mengenalkan ayahnya kepada para mahasiswa magang.
Para mahasiswa magang tersenyum seraya menganggukkan kepala kepada sang ayah. Sang ayah balas tersenyum, berat tetapi lebar, masih dengan sorot mata yang sedih bercampur khawatir.
Putrinya menatap ayahnya dan mengatakan sesuatu yang membuat para mahasiswa magang tidak tega untuk memandang lelaki tersebut.
"Bapak mbok ya giginya disikat. Saya malu kalau bapak giginya kuning seperti itu"
****
Bapak...
Jangan nangis, Nduk. Jelek...
BalasHapusmungin ekspresi Bapak akan seperti itu jika melihat anak perempuannya nangis mewekmewek
BalasHapusmoso?
BalasHapusgak percaya.
Bapak keren yak...
BalasHapusnamanya juga Probabilitas
BalasHapus