APA SUSAHNYA BILANG CINTA?
KASUS 1
A : Jadi, bukan karena cinta?
B : Aku menikah karena Allah dan aku yakin (….) bisa menguatkanku di jalanNya. Aku benar-benar membangun cinta setelah menikah.
KASUS 2
B : Aku akan bilang tentang perasaanku kalau aku udah yakin dia sudah ada yang memiliki. Aku tidak tahu posisi dia sekarang seperti apa, tetapi yang jelas justru ketika aku yakin dia sudah akan menikah dengan orang lain, aku akan bilang tentang perasaanku. Tetapi tidak sekarang.
A (marah2) : apa maksudnya itu?
KASUS 3
B : kamu nggak nyadar dengan segala bentuk perhatian dia ke kamu?
A : emang kenapa?
B : dia itu suka sama kamu.
A : dia nggak bilang kok.
B : (jedukk..!)
KASUS 4
B : sebenarnya secara hati, aku lebih condong ke beliaunya, tapi ternyata suamiku yang sekarang udah ngelamar duluan.
A : memang beliaunya mau ngelamar mbak juga?
B : setelah aku nikah, aku baru tahu itu, ada orang lain yang bercerita.
A : berarti keduluan Mbak?
B : iya...
A : yah..
Cinta yang tak berujung. Cinta yang belum jelas mau dibawa kemana arahnya. Cinta yang coba diikat tetapi tidak bisa digenggam. Dan seringkali hal tersebut terjadi hanya karena ketiadaan pernyataan. Apa susahnya bilang cinta?
Kasus 1 hanya mampu membenarkan bahwa cinta itu terkadang lebih tersirat daripada tersurat (Om Zigaz, pinjem syairnya yaaaa....). Ketersiratan yang awalnya dibantah oleh diri A, dibantah lagi oleh orang lain, sebut saja C.
“Kalau laki-laki nembak perempuan, itu didasari atas apa? Terkadang udah ke cinta. Lha ini apalagi, kalau ada ikhwan yang ‘nembak’ akhwat, apa juga karena tidak didasari oleh itu ?”
Ya entahlah. Mungkin cinta itu sendiri memang sederhana, tetapi manajemennya rumit. Ekspresinya, pengungkapannya, pengaturannya, pembagiannya dan segenap dan lain-lainnya yang aneh. Yang jelas, aku tidak membela ABC, tetapi ada semacam keyakinan diri, bahwa ketika ada suatu perkara yang meragukan (apalagi yang berkaitan dengan perasaan), lebih baik berpikir tidak daripada mengiyakan. Apalagi jika tidak ada deklarasi atau pernyataan. Ketika diri ini terjebak dalam prasangka, lebih baik berpikir ‘tidak, itu tidak didasari oleh cinta’. Aman. Nyaman. Bikin gemuk. Kecuali kalau rasa penasaran sudah naik pitam.
Kasus 2, ada semacam ketidakmengertian yang ditujukan untuk kaum yang lebih gentle dalam urusan tembak menembak (bukan sniper ! Enak aja !). Kenapa cinta itu justru akan dinyatakan ketika yang dicintai sudah akan digenggam orang lain ? ‘biar lega’. Omong kosong, itu tidak akan membawa kelegaan pada kedua belah pihak. Justru akan menimbulkan banyak hal, prasangka yang parah berdarah-darah. Untuk apa coba? Ini memang pendapat subyektif, tapi sepertinya sebagian besar akhwat se-Indonesia raya akan bingung ketika sudah seneng-seneng mau nikah, eh tiba-tiba ada orang lain yang menyatakan perasaannya. Untuk apa dinyatakan sekarang? Ketika pernyataan itu dilanjutkan dengan keikhlasan kedua belah pihak untuk segera melupakannya, mungkin tidak ada masalah. Tapi untuk apa dinyatakan jika selanjutnya untuk dilupakan? ‘hanya ingin kau tahu’. Lalu? Pengetahuan itu selalu menuntut tanggungjawab dan konsekuensi yang besar pula. Ada beberapa hal yang terkadang memang lebih baik tidak kita ketahui.
Ketika pernyataan itu mampu membawa perubahan yang lebih baik, mungkin hanya sedikit masalah yang ditimbulkan (tapi nggak yakin deh...^_^). Ketika pernyatan itu tidak pernah membawa perubahan yang lebih baik, jangan coba-coba deh... Apalagi selama masih ada tukang bikin pisau, bikin bedil, bikin racun tikus, bikin bom dan tukang bikin onar.
Kasus 3 berkaitan dengan tingkat sensitivitas seseorang yang menerima sinyal dari orang lain. Kalau parabola orang itu lagi rusak, atau hanya mengandalkan antena dalam, atau malah tanpa antena sama sekali, sampai gaji keempatbelas turun juga tidak akan menerimanya. Justru terkadang sinyal itu nyasar ke orang lain, orang lain yang bisa merasakannya. Kan bener apa kata peribahasa, ‘gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara semut di seberang pulau justru tampak’ (kenapa susunan kalimatnya jadi hancur gini?).
Tetapi, maaf saja, kesalahan tidak hanya ditumpahkan pada orang yang sedang kacau radarnya, tetapi pada pengirim pesan yang sama-sama nggak jelasnya. Bukannkah sudah menjadi syarat salah satu komunikasi yang efektif adalah pesan yang jelas? Kata abangku, semakin seseorang itu sayang ke orang lain, maka semakin susah buat mengungkapkannya dengan kata-kata. Padahal salah satu dari dua kaum di muka bumi ini adalah pembenci ketidakpastian sekaligus produser geer yang gede-gedean.
Kasus 4 adalah cerita yang aku yakin seperti fenomena gunung es. Banyak yang mengalaminya, tetapi yang berkesempatan muncul di permukaan hanyalah sebagian kecil saja. Untuk kasus ini, no komentlah. Belum tahu rasanya kok. Takut kualat juga...^_^. Jadi cukup segini saja. Maaf ya.
Jadi, apa susahnya bilang cinta? Apa susahnya menyatakan perasaan itu ? Pertanyaan itu bukan suatu penegasan dan dukungan untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaan. Karena, apa mudahnya juga bilang cinta? Karena cinta terkadang tak butuh aksara. Aksara cinta terkadang hanya menguap menjadi kata-kata semu yang tak bermakna. Kasarnya, rayuan gombalgombil. Kasihan para don juan. Ladangnya direbut.
Jadi, apa mudahnya bilang cinta? Cinta tidak selalu butuh aksara. Lagipula, atas dasar apa kita berani berkata cinta.
(Bang Thufail, pinjem syairnya yaaaa….)
(Untuk para A dan para B, tidak usah menunggu lebaran untuk minta maaf. Maaf ya…)
A : Jadi, bukan karena cinta?
B : Aku menikah karena Allah dan aku yakin (….) bisa menguatkanku di jalanNya. Aku benar-benar membangun cinta setelah menikah.
KASUS 2
B : Aku akan bilang tentang perasaanku kalau aku udah yakin dia sudah ada yang memiliki. Aku tidak tahu posisi dia sekarang seperti apa, tetapi yang jelas justru ketika aku yakin dia sudah akan menikah dengan orang lain, aku akan bilang tentang perasaanku. Tetapi tidak sekarang.
A (marah2) : apa maksudnya itu?
KASUS 3
B : kamu nggak nyadar dengan segala bentuk perhatian dia ke kamu?
A : emang kenapa?
B : dia itu suka sama kamu.
A : dia nggak bilang kok.
B : (jedukk..!)
KASUS 4
B : sebenarnya secara hati, aku lebih condong ke beliaunya, tapi ternyata suamiku yang sekarang udah ngelamar duluan.
A : memang beliaunya mau ngelamar mbak juga?
B : setelah aku nikah, aku baru tahu itu, ada orang lain yang bercerita.
A : berarti keduluan Mbak?
B : iya...
A : yah..
Cinta yang tak berujung. Cinta yang belum jelas mau dibawa kemana arahnya. Cinta yang coba diikat tetapi tidak bisa digenggam. Dan seringkali hal tersebut terjadi hanya karena ketiadaan pernyataan. Apa susahnya bilang cinta?
Kasus 1 hanya mampu membenarkan bahwa cinta itu terkadang lebih tersirat daripada tersurat (Om Zigaz, pinjem syairnya yaaaa....). Ketersiratan yang awalnya dibantah oleh diri A, dibantah lagi oleh orang lain, sebut saja C.
“Kalau laki-laki nembak perempuan, itu didasari atas apa? Terkadang udah ke cinta. Lha ini apalagi, kalau ada ikhwan yang ‘nembak’ akhwat, apa juga karena tidak didasari oleh itu ?”
Ya entahlah. Mungkin cinta itu sendiri memang sederhana, tetapi manajemennya rumit. Ekspresinya, pengungkapannya, pengaturannya, pembagiannya dan segenap dan lain-lainnya yang aneh. Yang jelas, aku tidak membela ABC, tetapi ada semacam keyakinan diri, bahwa ketika ada suatu perkara yang meragukan (apalagi yang berkaitan dengan perasaan), lebih baik berpikir tidak daripada mengiyakan. Apalagi jika tidak ada deklarasi atau pernyataan. Ketika diri ini terjebak dalam prasangka, lebih baik berpikir ‘tidak, itu tidak didasari oleh cinta’. Aman. Nyaman. Bikin gemuk. Kecuali kalau rasa penasaran sudah naik pitam.
Kasus 2, ada semacam ketidakmengertian yang ditujukan untuk kaum yang lebih gentle dalam urusan tembak menembak (bukan sniper ! Enak aja !). Kenapa cinta itu justru akan dinyatakan ketika yang dicintai sudah akan digenggam orang lain ? ‘biar lega’. Omong kosong, itu tidak akan membawa kelegaan pada kedua belah pihak. Justru akan menimbulkan banyak hal, prasangka yang parah berdarah-darah. Untuk apa coba? Ini memang pendapat subyektif, tapi sepertinya sebagian besar akhwat se-Indonesia raya akan bingung ketika sudah seneng-seneng mau nikah, eh tiba-tiba ada orang lain yang menyatakan perasaannya. Untuk apa dinyatakan sekarang? Ketika pernyataan itu dilanjutkan dengan keikhlasan kedua belah pihak untuk segera melupakannya, mungkin tidak ada masalah. Tapi untuk apa dinyatakan jika selanjutnya untuk dilupakan? ‘hanya ingin kau tahu’. Lalu? Pengetahuan itu selalu menuntut tanggungjawab dan konsekuensi yang besar pula. Ada beberapa hal yang terkadang memang lebih baik tidak kita ketahui.
Ketika pernyataan itu mampu membawa perubahan yang lebih baik, mungkin hanya sedikit masalah yang ditimbulkan (tapi nggak yakin deh...^_^). Ketika pernyatan itu tidak pernah membawa perubahan yang lebih baik, jangan coba-coba deh... Apalagi selama masih ada tukang bikin pisau, bikin bedil, bikin racun tikus, bikin bom dan tukang bikin onar.
Kasus 3 berkaitan dengan tingkat sensitivitas seseorang yang menerima sinyal dari orang lain. Kalau parabola orang itu lagi rusak, atau hanya mengandalkan antena dalam, atau malah tanpa antena sama sekali, sampai gaji keempatbelas turun juga tidak akan menerimanya. Justru terkadang sinyal itu nyasar ke orang lain, orang lain yang bisa merasakannya. Kan bener apa kata peribahasa, ‘gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara semut di seberang pulau justru tampak’ (kenapa susunan kalimatnya jadi hancur gini?).
Tetapi, maaf saja, kesalahan tidak hanya ditumpahkan pada orang yang sedang kacau radarnya, tetapi pada pengirim pesan yang sama-sama nggak jelasnya. Bukannkah sudah menjadi syarat salah satu komunikasi yang efektif adalah pesan yang jelas? Kata abangku, semakin seseorang itu sayang ke orang lain, maka semakin susah buat mengungkapkannya dengan kata-kata. Padahal salah satu dari dua kaum di muka bumi ini adalah pembenci ketidakpastian sekaligus produser geer yang gede-gedean.
Kasus 4 adalah cerita yang aku yakin seperti fenomena gunung es. Banyak yang mengalaminya, tetapi yang berkesempatan muncul di permukaan hanyalah sebagian kecil saja. Untuk kasus ini, no komentlah. Belum tahu rasanya kok. Takut kualat juga...^_^. Jadi cukup segini saja. Maaf ya.
Jadi, apa susahnya bilang cinta? Apa susahnya menyatakan perasaan itu ? Pertanyaan itu bukan suatu penegasan dan dukungan untuk memberanikan diri mengungkapkan perasaan. Karena, apa mudahnya juga bilang cinta? Karena cinta terkadang tak butuh aksara. Aksara cinta terkadang hanya menguap menjadi kata-kata semu yang tak bermakna. Kasarnya, rayuan gombalgombil. Kasihan para don juan. Ladangnya direbut.
Jadi, apa mudahnya bilang cinta? Cinta tidak selalu butuh aksara. Lagipula, atas dasar apa kita berani berkata cinta.
(Bang Thufail, pinjem syairnya yaaaa….)
(Untuk para A dan para B, tidak usah menunggu lebaran untuk minta maaf. Maaf ya…)
susah.krn.ada.konsekuensi.stlh.deklarasi...nice.posting..;)
BalasHapusInilah romantisme cinta yang mengatasnamakan Cinta..
BalasHapus*sy ngomong apa ya ini?hegheg..
betul-betul-betul....tidak semuanya mampu menghadapi konsekuensi...
BalasHapushwa? maksudnya?
BalasHapuskarena mengatasnamakan cinta atas CintaNya..maka begitulah romantismenya..
BalasHapus*highig..sy aja ga ngerti ngomong apa..doeng..
karena mengatasnamakan cinta atas CintaNya..maka begitulah romantismenya..
BalasHapus*highig..sy aja ga ngerti ngomong apa..doeng..
hmmmkeknya dulu pernah ana bikin poling ya? hahaha
BalasHapusduh meh kasih komen apa kie,, setelah tak baca baca.. ternyataaa
BalasHapus